Minggu, 07 Juni 2015

PENERAPAN PRODUK LIABILITY



A.      PENDAHULUAN

I.          Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya fungsi hukum sebagai sarana perwujudan tujuan masyarakat yang secara teoritis  tujuan ini terkristalisasi dengan yang disebut ide des recht yaitu keadilan kemanfaatan dan kepastian hukum. Dalam konteks hukum perlindungan Konsumen dimana masyarakat/konsumen, produsen/penjual berinteraksi dengan sendirinya menimbulkan hak dan kewajiban antara mereka. Hubungan timbal balik ini membutuhkan pengaturan yang disatu sisi mendorong pertumbuhan dunia usaha dan pada sisi yang lain melindungi dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada konsumen.
  Secara sederhana Perlindungan Konsumen  dapat diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kata ‘konsumen’ yang menjadi pengertian umum berasal dari bahasa Inggris “to consume” artinya memakan atau menggunakan suatu barang atau jasa. Sedangkan orang yang memakan atau menggunakannya disebut konsumen. Mengacu pada pengertian ini maka kita semua adalah konsumen. Itulah kenapa membicarakan konsumen adalah seperti membicarakan diri kita dan juga masalah kita bersama. Pemikiran tentang perlunya perlindungan terhadap konsumen menjadi hal yang mutlak untuk diakomodir dalam peraturan perundang-undangan. Begitupun dengan semakin menguatnya kesadaran konsumen di luar negeri yang memunculkan gerakan perlindungan konsumen yang perhatian utamanya adalah pada perjuangan hak-hak konsumen.
Guidelines for consumer protection of 1985 yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) menyatakan : “konsumen dimanapun mereka berada, dari segala bangsa mempunyai hak-hak dasar sosialnya”. Maksud dari hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur. Hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia (cukup pangan dan papan), hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk mendapatkan pendidikan dasar.
Sementara itu, permasalahan yang dihadapi oleh konsumen di Indonesia pada umumnya, seperti juga dialami oleh konsumen di negara negara berkembang lainnya, tidak hanya sekedar bagaimana memilih barang tetapi jauh lebih kompleks yaitu menyangkut pada kultur dan pemahaman semua pihak baik pengusaha, pemerintah, maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen, yang tentunya untuk merealisasikan pelaksanaan kepastian hukum terhadap konsumen.
Sebagaimana tercatat dalam  evaluasi yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menjelaskan bahwa terjadi peningkatan pengaduan sampai tahun 2012, bidang pengaduan YLKI menerima 624 pengaduan kasus oleh konsumen (melalui surat dan kontrol langsung). Dari banyaknya kasus tersebut,  kasus yang diadukan  ke YLKI adalah masing-masing bidang  perbankan 115 kasus pengaduan (18%),  perumahan 74 pengaduan (12%) telekomunikasi/multimedia 71 kasus pengaduan (17%)  Transportasi 50 pengaduan (8%), ketenaga listrikan 48 pengaduan (8%),  pengaduan lain  yang  juga cukup signifikan adalah leasing sepeda motor yaitu sebesar 35 pengaduan (6%), pelayanan PDAM  26 pengaduan (4%) asuransi 23 pengaduan (4%), makanan/minuman 24 kasus (4%) (www.ylki.or.id/16-01/2012). Dengan mencermati data tersebut diatas, maka masyarakat sebagai konsumen harus sadar akan hak-hak yang dipunyainya, yaitu dapat melakukan sosial control terhadap perbuatan dan prilaku pengusaha dan pemerintah.
Peraturan perlindungan konsumen dilakukan dengan :
a.       Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses informasi serta menjamin kepastian hukum.
b.      Melindungi kepentingan konsumen.
c.       Meningkatkan kualitas barang
d.      Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan.
e.       Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya (Imran, 2003:2)
Secara sederhana permasalahan pokok terhadap masalah perlindungan konsumen adalah bahwa konsumen dan produsen (pengedar produk atau pengusaha) saling membutuhkan. Produksi tidak akan ada artinya kalau tidak ada yang akan mengkonsumsikannya, dan produk yang dikonsumsi secara aman dan memuaskan  dengan sendirinya dapat berfungsi sebagai pendorong majunya perusahaan dengan mendapatkan promosi dari konsumen dan pada gilirannya mendorong peningkatan kemajuan perusahaan.
Namun masih banyak hal yang dapat merugikan konsumen sebagaimana yang dapat kita lihat sehari-hari di kota Ternate,  antara lain masih banyaknya produsen dalam berbagai skalitasnya seperti, pengecer, pertokoan, ritel, grosir baik barang yang berkategori sembako ataupun barang-barang yang bersifat kebutuhan sekunder, elektronik maupun produk-produk jasa yang membatasi hak-hak konsumen. Contohnya klausul “bahwa konsumen tidak dapat mengembalikan, menukar dan atau membatalkan barang atau jasa yang telah dibeli atau adanya ketidak puasan terhadap pelayanan jasanya.
Hal ini tentunya meletakkan posisi konsumen sebagai subordinasi dari produsen.  Bentuk komitmen produsen secara sepihak ini tentunya bertantangan dengan ketentuan UUPK yang meletakkan kesejajaran antara penjual/ produsen dan pembeli/konsumen dalam posisi dan nilai tawar yang seimbang dalam pemenuhan hak dan kewajibannya sebagai penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli antara mereka. Pembeli berkewajiban untuk membayar sejumlah uang sesuai dengan jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang disepakati dan sebaliknya penjual yang menerima insentif tersebut yang merupakan haknya  berkewajiban untuk memyerahkan barang dan/atau jasa dalam jumlah dan kualitas yang sesuai dengan kesepakatan.
Kedudukan seimbang seperti ini adalah bentuk ideal dalam perjanjian jual beli karena terpenuhi dan unsur dan hak keperdataan serta aspek kepatutan antara subjek-subjek hukum tersebut. Upaya ini dapat kita identifikasi dalam sasaran yang ingin dicapai oleh UUPK sebagai sarana pencapaian keseimbangan kedudukan konsumen dan produsen yang tidak saling mensubordinasikan salah satu pihak, yang dalam praktiknya masih ketidak seimbangan tersebut masih didominasi oleh produsen sehingga tanpa disadari produsen telah mengeksploitasi hak-hak keperdataan konsumen dan dalam hukum hal ini disebut “perbuatan melawan hukum”.
 Contoh yang dapat kita lihat pada umumnya, adalah Masalah yang menyangkut mutu barang, harga barang, persaingan curang, pemalsuan, penipuan, periklanan yang menyesatkan, hal-hal yang telah merugikan harta atau kesehatan, bahkan dapat menimbulkan kematian, disamping dapat menimbulkan pola konsumtif yang tinggi yang tidak sesuai dengan pendapatan dan pendidikan masyarakat yang relative masih rendah merupakan masalah lainnya yang cukup kompleks. Hal ini tentunya dibutuhkan instrument hukum dan konsitensi penerapan, pengawasan yang intensif dari pemerintah yang dapat melindungi hak-hak normative konsumen secara keseluruhan.
Berdasarkan hipotesis di atas penulis menganggap perlu untuk mengkaji lebih jauh tentang perlindungan konsumen ini dalam proposal kajian Karya ilmiah yang diberi judul  Penerapan Prinsip Product Liability  Sebagai Salah Satu Instrumen Perlindungan Terhadap Konsumen (Studi kasus di Kota Ternate)
II.       Rumusan Masalah
Bedasarkan uraian latar belakang dan hipotesis diatas, penulis mengkristalkan permasalahan tersebut secara sederhana dalam dua permasalahan pokok yaitu :
1.      Bagaimana aspek hukum perlindungan konsumen di Kota Ternate terhadap “pertanggung jawaban produk” yang dibeli tetapi cacat produknya?
2.      Sejauhmanakah kebijakan-kebijakan pemerintah kota dalam melaksanakan amanat UU dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap konsumen di Kota Ternate?

III.    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.       Untuk mengetahui aspek hukum perlindungan terhadap konsumen di Kota Ternate   terhadap pertanggungjawaban produk yang dibeli tetapi cacat produk tersebut? yang kedua ;
2.      Untuk mengetahui sejauh mana peran pemerintah kota dalam mengimplementasikan dan mengawasi berjalannya  mekanisme perlindungan terhadap konsumen
IV.    Manfaat Penelitian
1.      Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan disiplin keilmuan dibidang ilmu hukum utamanya umumnya dan hukum perlindungan konsumen dalam pelaksanaan prinsip produk liability khususnya.
2.      Manfaat praktis
Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi konsumen di Kota Ternate
















B.  KAJIAN PUSTAKA

I.       Hukum Perlindungan Konsumen
1.         Pengertian
Secara yuridis formal istilah konsumen dinyatakan dalam pasal 1 ayat (2) UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (selanjutnya disingkat (UUPK) yaitu “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Hal yang sama juga ditentukan dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat istilah konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk orang lain.
Posisi konsumen dipandang masih lemah, maka harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalam memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Bentuk pengayoman tersebut denga perlindungan hukum (Nasution, 2001:5) perlindungan konsumen diatur pada pasal 1  ayat (1) UUPK yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Menurut Purwodarminto (1989:458) yang dimaksud dengan Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para pengusaha penyedia bang da/atau jasa konsumen. Pengusaha yang dimaksud diatas adalah “pelaku usaha”. Pelaku usaha dinyatakan pada pasal 1 ayat (3) UUPK adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Repoblik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pendapat lain yang berkaitan dengan hal tersebut diatas, dikemukakan oleh Az Nasution dalam Sidharta (2006:11) bahwa hukum perlindungan Konsumen adalah bagian dari Hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaida-kaida yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup.
2.         Hak-hak Konsumen
Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Dengan kata lain perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen (Sidharta: 2006:19) yaitu hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety); hak untuk mendapatkan informasi (the right to informed); hak untuk memilih (the right to choose) dan hak untuk didenganr (the right to heard).
Selain empat hak tersebut ada beberapa hak untuk melengkapi hak-hak yang telah ada yaitu hak yang secara eksplisit diatur dalam Pasal 4 UUPK, sementara satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka. Hak-hak konsumen itu sebagai berikut:
a.       Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam  mengkonsumsi barang dan/atau jasa:
b.      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang da/atau jasa sersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.       Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
d.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.       Hak utnuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
f.       Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.      Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
h.      Hak untuk mendapatkan dispensasi ganti rugi dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.        Hak-lhak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.
Disamping hak-hak dalam Pasal 4 UUPK juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khusnya Pasal 7 UUPK yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomy dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai konsumen.

3.         Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen
a.         Prinsip Tanggung Jawab Terhadap Konsumen
Prinsip tanggung jawab merupakan hal yang sentral dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Dalam kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab yang dapat dibebankan kepada pihak-pihak yang terkait.
Secara umum prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut
a)      Kesalahan (liability based on fault)
Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kessalahannya yang dilakukannya. Ketentuan pada Pasal 1365 KUHPerdata mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok yaitu: adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita serta adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Makna kesalahan adalah unsur yang bertantangan dengan hukum, yang tidak hanya secara legal juridis tapi juga meliputi kepatutan dan kesusilaan masyarakat.  Jadi dalam penerapan prinsip ini, seandainya konsumen mengalami mendapatkan produk cacat atau rusak yang dibeli atau yang diberikan oleh produsen maka produsen bertanggungjawab  untuk memulihkan kerugian yang dialami oleh konsumen tersebut
b)      Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability)
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentunya bertantangan dengan prinsip praduga tidak bersalah ( presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun jika diterapkan dalam hukum perlindungan Konsumen akan tampak asas tersebut cukup relefan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban membuktikan kesalahan itu ada pada pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti yang menyatakan bahwa dia tidak bersalah.

c)      Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability)
Penerapanpan prinsip ini hanya diterapkan pada transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh penerapan prinsip ini yaitu pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh konsumen adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini produsen tidak dapat dimintakan pertanggung jawabannya.
d)     Tanggung jawab mutlak (absolute liability)
Prinsip ini adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Prinsip ini dalam Hukum perlindungan Konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku yang merugikan konsumennya. Asas ini dikenal dengan prinsip product liability. Menurut asas ini, produsen harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu: pertama, melanggar jaminan, misalnya khasiat atau manfaat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk, kedua, adanya unsur kelalaian, yaitu produsen lalai dalam memenuhi standar yang ditetapkan pada produknya, dan yang ketiga, menerapkan prinsip strict liability
e)      Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability)
Pelaksanaan prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan dalam klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip ini sangat merugikan konsumen bila diterapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Sebagaimana yang diatur dalam UUPK bahwa seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.


b.        Kedudukan Konsumen
Ada beberapa doktrin dan teori yang dikenal dalam hukum perlindungan konsumen, termasuk dalam kelompok ini adalah :
a)      Let the buyer  bawere
Asas ini berasumsi, bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang memiliki kedudukan yang seimbang sehingga tidak perlu adanya proteksi bagi konsumen. Artinya seimbang antara konsumen dan pelaku usaha dalam melakukan transaksi keperdataan (jual beli) untuk wajib berhati-hati (prudential principle).
b)      The due care theory
Teori ini menyatakan, bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya maka sipelaku usaha tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempersalahkan pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan, bahwa pelaku usaha itu melanggar prinsip-prinsip kehati-hatian.
Hukum pembuktian di Indonesia pada umumnya  menganut pembagian beban pembuktian kepada penggugat. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1865 KUHPer yang mengatur “barang siapa yang mendalilkan  mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan hak nya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
c)      The Privacy of Contract
Prinsip ini menyatakan, bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, terapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin hubungan kontraktual
Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal diluar yang diperjanjikan. Artinya, konsumen dapat menggugat berdasarkan wanprestasi (Contractual Liability)
d)     Kontrak bukan syarat
Seiring dengan bertambahnya kompleksnya transaksi consumen, (Mariam, 1994:50) maka prinsip the privacy of contract tidak lagi dipertahankan secara Mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Hal ini dikarenakan kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.

4.      Proses Beracara
Sengketa konsumen adalah sengketa yang berkenan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata usaha Negara.
Proses beracara dalam sengketa konsummen itu diatur dalam UUPK, walaupun UUPK hanya mengatur beberapa pasal ketentuan beracara, maka secara umum ketentuan beracara seperti herziene indoneshiche reghlement (HIR) dan Kitab Undang-undang hukum acara Pidana tetap berlaku.
Pasal 45 ayat  (1) UUPK menyatakan “setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaiakan sengketa antara konsumen pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan Peradilan Umum” ayat (2) menyatakan “penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”.
Dalam kaitan dengan karakteristik ini, maka proses beracara dalam hukum perlindungan konsumen mengenal adanya:
a)        Small Claim
Small claim adalah jenis gugatan yang dapat diajukan oleh konsumen, sekalipun dilihat secara ekonomis, nilai gugatannya sangat kecil. Ada alasan jenis gugatan ini diizinkan dalam perkara konsumen, yaitu pertama, kepentingan dari pihak penggugat (konsumen) tidak dapat diukur semata-mata dari nilai uang kerugiannya, kedua, ada keyakinan bahwa pintu keadaan seharusnya terbuka bagi siapa saja, termasuk para konsumen kecil dan miskin, dan ketiga, untuk menjaga integritas badan-badan peradilan.
b)        Class action
UUPK mengakomudasikan gugatan kelompok (class action) ini dalam Pasal 46 ayat (1) huruf (b) yang menyatakan “gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama”. Hal ini dimaksudkan, bahwa gugatan kelompok tersebut harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satunya dengan adanya bukti transaksi.
Class action secara umum wajib memenuhi empat syarat. Keempat syarat itu (sidharta, 2006: 67) sebagai berikut :
1)        Numerousity, maksudnya jumlah penggugat harus cukup banyak, yang jika diajukan secara sendiri-sendiri tidak lagi mencerminkan proses beracara yang efisien
2)        Communality,  ada kesaman soal hukum dan fakta antara pihak yang diwakilkaan (class members) dan pihakyang mewakilinya (class representative)
3)        Tipicality yaitu adanya kesamaan jenis tuyaitu ketentutan hukum dan dasar pembelaan yang digunakan antara class members dan class representative
4)        Adequacy of representative, yaitu kelayakan class class representative dalam mewakili kepentingan class members. Ukuran kelayakan ini diserahkan kepada kelayakan hakim
c)      Legal Standing menurut Yusuf Sofie (2003: 33), untuk lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan pada Pasal 46 ayat (1) huruf (c) : “lembaga perlindungan Konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran menyebutkan dengan tegas tujuan didirikannya organisasi tersebut untuk kepentingan perlindungan konsumen melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya”.

II.       Perlindungan Konsumen dengan Product Liability
1.      Product liability
Menurut Natalie O’Connor dalam Imran (2003:3): “Product Liability, these were design to protect the consumer from faulty or devective goods by imposing strict liability upon manufactures” dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan tanggung jawab produk adalah  suatu konsepsi huku,m yang intinya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
Product liability diartikan sebagai tanggung jawab atas kerugian yang diakibaatkan oleh pemakaian atau penggunaan suatu produk, atau yang berkaitan dengan barang konsumsi (Sabarrudin, 2003:3) tanggung jawab produk , barang dan jasa meletakkan beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk/produsen itu (strict liability) hal ini dapat dilihat pada ketentuan pasal 22 UUPK yang menjyatakan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam perkara ini, menmjadi beband an tanggung jawab pelaku usaha.
Kerugian yang diderita oleh seorang pemakai produk yang cacat atau membahayakan, bahkan juga pemakai  yang turut menjadi korban, merupakan tanggung jawab mutlak pelaku usaha pelaku usaha pembuat produk itu (Pasal 19 UUPK). Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku usaha pembuat produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali pelaku usaha tersebut dapat membuktikan keadaan sebaliknya, bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat dipersalahkan kepadanya.
Ketentuan yang mengatur hal tersebut, yaitu perbuatan-perbuatan pelaku usaha yang berakibat menimbulkan kerugian dan/atau membahayakan konsumen diatur pada Pasal 4,5,7-17, 19-21 dan pasal 24 sampai dengan pasal 28 UUPK.
a.       Pelanggaran jaminan (breach of n warranty) pelanggaran ini berkaitan dengan jaminan pelaku usaha (khususnya produsen) bahwa barang-barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat. Pengertian cacat  bisa terjadinya dalam konstruksi (construction defect) desain (design defect) dan atau pelabelan (lebeling defect). Maksud jaminan (warranty) atas kualitas produk ini adalah suatu jaminan atau garansi bahwa barang-barang yang dibeli akan sesuai dengan standar kualitas produk tertentu. Jika standar itu tidak dipenuhi, maka pembeli/konsumen dapat memperoleh ganti rugi dari pihak produsen/penjual. Menurut Sabarrudin (2003:4) jaminan atas kualitas produk dapat dibedakan atas dua  macam, yaitu : pertama express warranty  (jaminan secara tegas) adalah suatu jaminan atas kualitas produk, baik dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dengan expres warranty ini maka produsen/penjual yang telah menyalurkan barang atau produk bertanggung jawab jika kekurangan atau kerusakan dalam produk yang dipasarkannya. Kedua implied warranty adalah suatu jaminan yang dipaksakan oleh undang-undang atau hukum, sebagai akikbat otomatis dari penjualan barang-barang dalam keadaan tertentu. Dengan implied warranty,  dianggap bahwa jaminan ini selalu mengikuti barang yang dijual, kecuali dinyatakan lain. Misal, kewajiban penjual untuk menanggung  adanya cacat tersebut, kecuali ia dalam keadaan demikian telah minta diperjanjikan bahwa dia diwajibkan menanggung suatu apapun (Pasal 1506 KUHPer)
b.      Kelalaian (negligence) adalah apabila sipelaku usaha yang digugar itu gagal menunjukkan, ia cukup berhati-hati (reasonable care) dalam membuat, menyimpan mengawasi, memperbaiki, memasang label atau mendistribukan suatu barang.
c.       Strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai factor yang  menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, yaitu force majeure.
Pada Pasal 19 ayat (1) UUPK secara tegas merumuskan tanggung Jawab Produk ini dengan menyatakan “pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan /atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Maka, pihak korban/konsumen (Emmy Saragih, 2009:35) yang akan menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal :
a)      Produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen;
b)      Cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian/kecelakaan:
c)      Adanya kerugian. Namun juga diakui secara umum bahwa pihak korban/konsumen harus menunjukkan pada waktu terjadinya kerugian, produk tersebut prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen (tidak ada modifikasi-modifikasi)



2.      Penerapan Prinsip Strict Liability
Dalam prinsip ini adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai factor yang menentukan, namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majure Dengan diterapkannya tanggung jawab mutlak (strict liability) ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang cacat atau tidak dengan sendirinya dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Menurut Imran (2003:9) alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah : Pertama, Diatara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/ mengeluarkan barang-barang cacat tersebut dipasaran. Kedua, Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab; ketiga dengan atau tanpa menerapkan strict liability, produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, agen kepada produsen. Penerapan strict liability ini dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang.
3.      Kewenangan Meminta Pertanggung Jawaban Pelaku Usaha
Pada Pasal 46 butir (a) UUPK mentukan bahwa seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya dapat meminta pertanggung jawaban dari pelaku usaha. Pasal 46 butir (b) menyatakan bahwa sekelompok konsumen yang memiliki kepentingan yang sama dapat meminta pertanggung jawaban dari pelaku usaha, Pasal 46 butir (d) menentukan bahwa pemerintah da/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi dan atau dimanfaatkan  mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/korban yang tidak sedikit dapat meminta pertanggung jawaban dari pelaku usaha.
Pada Pasal 46 ayat (2) menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huru b, c dan d diajukan kepada peradilan umum. Dari pernyatan dalam ketentuan tersebut UUPK mengakui gugatan kelompok atau class action. pada penjelasannya class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adanya bukti transaksi.
Dengan demikian, kewenangan dalam miminta pertanggung jawaban produsen dapat dilakukan oelh empat subjek hukum yaitu : pertama, konsumen itu sendiri atau ahli warisnya secara pribadi, kedua, sekelompok konsumen yang memiliki kepentingan yang sama, ketiga, lembaga perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan keempat, pemerintah atau instansi terkait, apabila akibat dari pemanfaatan/konsumsi produk tersebut mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit.











C.      METODE PENELITIAN

       I.            Tipe Penelitian.
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian yuridis empiris, yaitu penelitian dengan cara menganalisa ketentuan perundang-undangan kemudian membandingkan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
    II.            Lokasi Penelitian.
Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Kota Ternate, yang sasarannya untuk menjawab permasalahan pertama penulis menetapkan responden dan atau nara sumbernya adalah produsen barang dan atau jasa di kota Ternate, sementara untuk menjawab permasalahan yang kedua penulis tetapkan pada instansi-instansi yang terkait secara langsung dengan objek yang diteliti

 III.             Populasi dan Sampel
 Penelitian hukum empiris yang menggunakan data lapangan penulis menggunakan pendekatan random sampling,  dengan tujuan untuk mendapatkan informasi, data yang objektif dari pelaku serta memudahkan penulis dalam menkonstatitir permasalahan yang dihadapi konsumen dan mensistimatisirnya sehingga dapat menulis deskripsikan dan mendapatkan kongklusi yang benar.


 IV.            Tehnik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi:
1.      Studi Kepustakaan
Dalam studi kepustakaan alat pengumpulan data digunakan adalah studi documenter meliputi:
a.       Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer);
b.      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen;
c.       Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD);
d.      Undang-Undang Otonomi Daerah;
e.       Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, serta
f.       Ketentuan-ketentuan yang berlaku secara sektoral mengenai hukum konsumen.
2.      Studi Lapangan
Dalam studi lapangan alat penggunaan data dipergunakan adalah quisioner dan wawancara terhadap narasumber dan responden yang merupakan representatif dari populasi secara menyeluruh, secara sederhana kongklusi apapun yang didapatkan penulis diharapkan dapat mewakili penyimpulan terhadap populasi secara menyeluruh.
Sedangkan, wawancara dilakukan terhadap sumber informasi yang telah ditentukan sebelumnya dengan berdasarkan kepada pedoman wawancara, sehingga wawancara yang dilakukan dapat diarahkan pada tujuan penelitian ini.
Responden yang diwawancarai mempunyai pengalaman tertentu pada objek tertentu yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Dari wawancara ini diharapkan dapat memberikan gambaran dari realitas yang sebenarnya.

    V.            Tehnik Analisis Data
 Data yang telah disusun secara sistematik dengan menggunakan metode analisis normatife kualitatif. Analisis normatif maksudnya adalah melakukan analisis kualitatif. Analisis  normatife ialah melakukan analisis terhadap peraturan perlindungan hukum bagi konsumen PDAM. Norma hukum itu akan dihubungkan dalam praktek perlindungan hukum bagi konsumen PDAM. Sedangkan analisis kualitatif adalah melakukan analisis secara deskriptif dari informasi yang disampaikan oleh narasumber maupun informan, artinya analisis digunakan tidak menggunakan data yang bersifat perhitungan angka, atau secara kuantitatif. Penggunaan metode kualitatif tidak terlepas dari sifat penelitian hukuum yang holistic. Dengan metode ini juga dapat menjangkau analisis terhadap kasus-kasus yang ada (case study) secara menyeluruh terhadap factor-factor yang mempengaruhi di dalamnya. Hal tersebut juga tidak terlepas dari arah penelitian hukum yang bersifat kualitatif deskriptif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar