Rabu, 06 Maret 2013

STATUS HUKUM ANAK LUAR KAWIN SERTA HAK MEWARISINYA BERDASARKAN HUKUM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Dari kehidupan suami istri di dalam suatu ikatan perkawinan tersebut akan berakibat penting dalam masyarakat yaitu apabila mereka dianugerahi keturunan, dengan keturunannya mereka bisa membentuk suatu keluarga sendiri. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab, si istri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psykologis yang berat yaitu kehamilan dan melahirkan yang membutuhkan  pengorbanan.
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan banyak disinggung perihal masalahkekeluargaan yang berhubungan erat dengan suatu dasar perkawinan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1, bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut di atas, tersimpul suatu rumusan arti dan tujuan dariperkawinan. Arti “Perkawinan” dimaksud adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan “tujuan” perkawinan dimaksud adalah : membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kehadiran seorang anak merupakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seorang ibu maupun keluarganya karena anak merupakan buah perkawinan dan sebagai landasan keturunan. Anak sebagai fitrah Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapatkan perawatan sebaik-baiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa yang akan meneruskan cita-cita bangsa yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Setiap anak dapat atau mampu memikul tanggung jawabnya di masa depan, maka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara normal baik jasmani, rohani maupun sosial.
Didalam Pasal 25 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights ( Pernyataan Semesta Hak-hak Asasi Manusia ) yang dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 disebutkan bahwa : 1 Motherhood and childhood are entitled to special care and assistance. All children, whether born in or out of wedlock, shall enjoy the same social protection. yang artinya : Ibu-ibu dan anak-anak berhak untuk memperoleh perawatan dan bantuan khusus. Semua anak baik yang dilahirkan didalam maupun di luar perkawinan, harus memperoleh perlindungan sosial yang sama[1].
Perlindungan sosial terhadap anak yang lahir dalam perkawinan tidak menjadi sumber perdebatan di kalangan para fuqaha Islam, karena sudah jelas hak, kewajiban dan kedudukannya dalam keluarga termasuk dalam hal warisannya. Namun terhadap anak yang lahir di luar perkawinan masih merupakan perdebatan di kalangan fuqaha Islam.
Menurut pendapat kebanyakan fuqaha ( jumhur ) : anak zina/anak yang lahir diluar perkawinan tidak bernasab kepada laki-laki yang menyebabkan kehamilan ibunya. Hubungan waris mewaris hanya terjadi dengan ibunya, tidak dengan laki-laki yang menyebabkan terjadinya, apalagi dengan laki-laki yang menjadi suami ibunya sebelum ia dilahirkan[2].
Sedangkan ulama mazhab Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa : anak zina tidak berhak waris dari ibunya juga. Dilain pihak, sebagian ulama mazhab Hambali termasuk Ibnu Taimiyah berpendapat : anak zina apabila diakui oleh ayahnya, meskipun dengan jelas diakuinya pula berasal dari hubungan zina, tetapi ibunya tidak dalam ikatan perkawinan dengan suami lain atau tidak dalam 'iddah dari suami lain, adalah anak sah bagi ayahnya, dan terjadi hubungan waris mewaris juga. Kompilasi Hukum Islam mengadakan solusi untuk menjembatani seluruh pendapat-pendapat tersebut dengan menegaskan mengenaihubungan waris anak yang lahir di luar perkawinan dengan Ibu kandung dan keluarga Ibu kandungnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 186 : Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan sebagai ahli waris dari ibu dan keluarga dari pihak ibu mengakibatkan anak yang lahir di luar perkawinan berhak menerima warisan dari ibu dan seluruh keluarga ibu, namun Kompilasi Hukum Islam khususnya Buku II yang mengatur Hukum Kewarisan tidak mengatur bagaimana cara melaksanakan pembagian warisan anak yang lahir di luar perkawinan.  
Anak yang lahir di luar perkawinan di Indonesia kini sudah bukan menjadi fenomena yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia seiring dengan semakin tingginya tingkat hubungan seksual bebas, hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah yang mengakibatkan lahirnya anak-anak di luar perkawinan.
Mengingat anak yang lahir adalah fitrah, maka hak mereka untuk mewaris berdasarkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah sesuai dengan hak asasi anak baik yang dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun oleh ajaran Islam[3].
Berdasarkan uraian berbagai permasalahan diatas maka kelompok kami bermaksud untuk mengkaji dan menyusun makalah ini dengan judul :
“STATUS HUKUM ANAK LUAR PERKAWINAN SERTA HAK MEWARISINYA DITINJAU BERDASARKAN HUKUM ISLAM”      

B.    Rumusan Masalah :
1.     Bagaimana Status Hukum Anak Luar Perkawinan Dalam Prespektif Hukum Islam?
2.     Bagaimana Hak Mewarisi Anak Luar Perkawinan Dalam Prespektif Hukum Islam?
C.   Tujuan Penulisan :
1.        Untuk Mengetahui Status Hukum Anak Luar Perkawinan Dalam Prepektif Hukum Islam.
2.        Untuk Mengetahui Hak Mewarisi Anak Luar Perkawinan Dalam Prespektif Hukum Islam


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1    Pengertian Anak
Kompilasi Hukum Islam tidak secara tegas memberikan definisi atau batasan tentang anak, namun hanya memberikan pengertian 'anak' secara negatif sebagaimana disebutkan dalam Pasal 98 ayat (1) yaitu :Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacad fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yaitu dalam Pasal 1 ayat 2 bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah menikah. Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut.
Batas umur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku. Anak kandung adalah anak yang lahir dari kandungan ibu dan ayah kandungnya sedangkan anak sah adalah anak kandung yang lahir dari perkawinan orang tuanya yang sah menurut ajaran agama. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Apabila suatu perkawinan yang menurut hukum sah, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan itu akan merupakan anak yang sah pula[4].
2.2  Macam-Macam Anak
1.  Anak sah
Ialah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
2.      Anak kandung
Ialah anak yang dilahirkan dari kandungan ibu dan ayah biologisnya.
3.      Anak angkat
Ialah seorang anak yang bukan keturunan dari suami istri, namun ia diambil, dipelihara dan diperlakukan seperti halnya anak keturunannya sendiri, sehingga antara anak yang diangkat dan orang yang mengangkat anak timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dan anak kandung sendiri.
4.      Anak Tiri
Ialah anak kandung istri janda atau dari suami duda yang mengikuti tali perkawinan.
5.      Anak yang lahir di luar perkawinan
Ialah anak yang lahir dari seorang wanita yang tidak mempunyai suami atau anak yang mempunyai bapak dan ibu yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah.
Tentang anak diluar kawin itu ada 2 jenis yaitu :
A.    Anak yang lahir dari ayah dan ibu antara orang-orang mana tidak terdapat larangan untuk kawin.
B.     Anak yang lahir dari ayah dan ibu yang dilarang untuk kawin karena sebab-sebab yang ditentukan oleh undang-undang atau jika salah satu dari ayah ibu di dalam perkawinan dengan orang lain.
C.     Anak yang lahir dari seorang ayah dan ibu akan tetapi ayah biologisnya tidak mau bertanggung jawab atau tidak menikahi ibunya.

2.3    Pemeliharaan Anak
Sebelum anak berusia 21 tahun atau melangsungkan perkawinan, maka orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan ( Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam ). Apabila orang tua tidak mampu, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu untuk menunaikan kewajiban orang tua ( Pasal 98 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam ).
Sedangkan apabila orang tua bercerai, maka pemeliharaan anak yang belum berumur 12 tahun ( mumayyiz ) merupakan hak ibu, sedangkan apabila anak sudah berumur 12 tahun diserahkan kepada anak untuk memilih untuk dipelihara oleh ayah atau ibunya ( Pasal 105 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam ).
2.4   Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan.
A.    Dasar Hukum
Tentang anak yang lahir diatur dalam Pasal 100 dan Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam.
B.     Pengertian
Menurut Penjelasan Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam, anak yang lahir di luar perkawinan adalah : anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah.
C.     Hak Warisan
Mengenai hak atas warisan anak yang lahir di luar perkawinan menurut Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam : hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Proses terjadinya anak luar kawin dapat dikategorikan sebagai berikut :
1.      Anak dari hubungan ibu sebelum terjadinya pernikahan.
Jika dua orang dari 2 jenis kelamin yang berbeda, kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain mengadakan hubungan badan dan mengakibatkan seorang perempuan hamil, kemudian melahirkan seorang anak dan ada sebagian darah dari seorang anak laki-laki dan seorang perempuan yang menghasilkan anak tersebut yang tercampur dalam diri anak yang bersangkutan. Padahal antara Keduanya belum terikat tali perkawinan yang sah,maka anak tersebut adalah anak luar kawin.
2. Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dari suaminya.
Apabila seorang wanita mengadakan hubungan badan dengan bekas suaminya atau seorang laki-laki lain dan mengakibatkan wanita itu hamil kemudian melahirkan
seorang anak, maka :
Ø  Kelahiran anak itu apabila terjadi belum lama dari masa perceraian dengan suaminya maka anak tersebut masih dianggap anak dari bekas suaminya itu, dan
Ø  Apabila Kelahiran anak tersebut lama setelah masa perceraian ibunya dengan ayahnya, maka anak tersebut dapat dinamakan anak luar kawin
3. Anak dari kandungan ibu karena berbuat zina dengan orang lain.
Apabila seorang istri melahirkan seorang anak karena mengadakan hubungan badan dengan seorang laki-laki lain bukan suaminya, maka suaminya itu menjadi bapak dari anak yang dilahirkan tersebut. Kecuali apabila sang suami ini berdasarkan alasan yang dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak, anak yang dilahirkan oleh istrinya karena berbuat zina. Adapun alasannya ialah :
1). Suami tidak bisa menjalankan kewajibannya memenuhi kebutuhan biologis istrinya, misalnya impotensi.
2). Dapat dibuktikan oleh suaminya baik karena pengakuan pria yang melakukan zina dengan istrinya ataupun oleh istrinya sendiri atau oleh masyarakat.
4. Anak dari kandungan ibu yang tidak diketahui siapaa ayahnya.
Apabila seorang perempuan mengadakan hubungan badan dengan lebih dari seorang laki-laki atau mengadakan hubungan badan dengan berganti-ganti pasangan dan mengakibatkan seorang perempuan itu hamil, kemudian melahirkan seorang anak, dan jelaslah di sini bahwa anak tersebut tidak diketahui siapa ayahnya, karena ibunya telah mengadakan hubungan badan dengan berganti-ganti pasangan yang tidak terlibat tali perkawinan yang sah.
5.      Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan sah.
            Jika dua orang dari 2 (dua) jenis kelamin yang berbeda, kedua-duanya tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain mengadakan hubungan badan dan mengakibatkan seorang perempuan hamil kemudian melahirkan seorang anak dan ada sebagian darah dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang hubungannya menghasilkan anak tersebut, yang tercampur dalam diri anak yang bersangkutan. Padahal antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang kedua-duanya tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain dan kedua pasangan tersebut telah hidup didalam kehidupan rumah tangga. Padahal antara keduanya belum terikat tali perkawinan yang sah[5].
2.5  Harta Warisan menurut Kompilasi Hukum Islam
1. Pengertian
Yang disebut Harta Warisan adalah : Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meningalnya, biaya pengurusan jenazah ( tajhiz ),pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.
2. Wujud
Dari pengertian tersebut diatas, maka harta warisan dapat terdiri dari :

Ø  Harta Bawaan
Yang dimaksud dengan harta bawaan dalam Buku I  tentang Perkawinan Bab XIII Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam Indonesia :
Harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Yang termasuk dalam kategori harta bawaan ini adalah :
- Harta yang diperoleh selama perkawinan
- Hadiah khusus
- Warisan
Ø  Harta Bersama
Yang dimaksud harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.
Harta Bersama menurut Buku I Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam :
- Dapat berupa benda berwujud dan tidak berwujud.
- Dapat meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak dan surat berharga.
- Dapat berupa benda tidak berwujud dalam bentuk hak dan kewajiban.
- Dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya[6].
2.6  Rukun Waris Islam
Dalam hukum Waris Islam berlaku ketentuan mengenai rukun yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, rukun tersebut meliputi :
a. Muwarits ( Pewaris )
Adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda. Harta warisan dapat dibagi setelah pewaris dinyatakan meninggal dunia baik secara fisik maupun secara hukum, peristiwa kematian itu harus diketahui secara pasti atau bisa juga berdasarkan keputusan hakim seperti orang hilang yang tidak diketahui keberadaannya apakah ia sudah mati atau masih hidup. Jadi syarat pembagian waris itu adalah pewaris secara pasti
telah meninggal dunia atau atas putusan hakim.
b. Warits ( Ahli Waris )
Seorang atau beberapa orang yang berhak menerima harta warisan. Orang yang berhak mendapat warisan tersebut dikarenakan adanya hubungan darah atau nasab, hubungan
perkawinan, karena memerdekakan si mayat dan karena sesama Islam.
c. Mauruts ( Harta Warisan )
Sebelum menguraikan apa yang dimaksud dengan harta warisan, terlebih dahulu diketahui apa yang disebut dengan "harta peninggalan" atau dalam bahasa Arab disebut dengan "tirkah atau tarikah" yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia, baik yang berbentuk benda dan hak-hak kebendaan, serta hak-hak yang bukan hak kebendaan.
Dari definisi tersebut diatas dapat diuraikan bahwa harta peninggalan itu terdiri dari : 1. Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah benda bergerak, benda tidak bergerak, dan piutang-piutang.
2. Hak-hak kebendaan. Yang termasuk dalam kategori hak-hak kebendaan ini seperti sumber air minum, irigasi pertanian dan perkebunan.
3. Hak-hak yang bukan kebendaan. Yang termasuk dalam kategori hak-hak yang bukan kebendaan ini seperti hak khiyar, hak syuf'ah ( hak beli diutamakan bagi salah seorang anggota syarikat atau hak tetangga atas tanah pekarangan).
Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan si mayat, yang terdiri dari :
a. Zakat atas harta peninggalan
Yang dimaksud dengan zakat atas harta peninggalan yaitu zakat yang semestinya harus dibayarkan oleh si mayat, akan tetapi zakat tersebut belum dapat direalisasikan, lantas ia meninggal, maka untuk ini zakat tersebut harus dibayar dari harta peninggalannya, seperti zakat pertanian dan zakat harta.
b. Biaya pemeliharaan mayat.
Yang dimaksud dengan biaya pemeliharaan mayat adalah biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan jenazah, seperti kafan dan penguburan.
c. Biaya utang-utang yang masih ditagih oleh kreditor ( pemberi pinjaman ).
Hal ini sejalan dengan Hadist yang yang diriwayatkan oleh ahmad yang artinya berbunyi sebagai berikut : "Jiwa orang mukmin disangkutkan dengan utangnya, sehingga utangnya itu dilunasi"
d. Wasiat
Yang dimaksud dengan wasiat disini adalah wasiat yang bukan untuk kepentingan ahli waris, dan jumlah keseluruhan wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) dari jumlah keseluruhan harta peninggalan. Hal ini sejalan dengan Hadist yang diriwayatkan oleh
Muslim yang artinya berbunyi sebagai berikut : "Kamu wasiatkan sepertiga ) dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, mengemis
kepada orang lain".
2.7  Sebab-Sebab Mewaris
Menurut ketentuan hukum Waris Islam, yang menjadi sebab seseorang itu mendapatkan warisan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Karena hubungan perkawinan Seseorang dapat memperoleh harta warisan ( menjadi ahli waris ) disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayat dengan seseorang tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah : suami atau istri dari si mayat.
b. Karena adanya hubungan darah Seseorang dapat memperoleh harta warisan ( menjadi ahli waris ) disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan darah / kekeluargaan dengan si mayat, yang termasuk dalam klasifikasi ini seperti : ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara dan lain-lain.
c. Karena memerdekakan si mayat. Seseorang dapat memperoleh harta warisan ( menjadi ahli waris ) dari si mayat disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayat dari perbudakan, dalam hal ini dapat saja seorang laki-laki atau seorang perempuan.
d. Karena sesama Islam. Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, maka harta warisannya diserahkan kepada Baitul Maal dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin[7].
2.8  Penggolongan Ahli Waris dan Bagiannya
A). Ditinjau Dari Jenis Kelamin
Jika ditinjau dari jenis kelamin, maka ahli waris dibagi menjadi 2 ( dua ) macam yaitu :
a. Ahli waris laki-laki yang kesemuanya berjumlah empat belas
(14), terdiri dari : 1. Anak laki-laki; 2. Cucu laki-laki ( anak laki-laki dari anak laki-laki ); 3. Bapak; 4. Kakek dari bapak dan seterusnya ke atas; 5. Saudara laki-laki sekandung.; 6. Saudara laki-laki sebapak; 7. Saudara laki-laki seibu; 8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung; 9. Anak laki-laki dari saudara sebapak; 10. Paman ( saudara laki-laki bapak yang sekandung ); 11. Paman ( saudara laki-laki bapak yang sebapak ); 12. Anak laki-laki dari paman sebapak dengan ayah; 13. Anak laki-laki dari paman sebapak dengan ayah; 14. Suami
Apabila ahli waris tersebut diatas seluruhnya ada, maka yang berhak memperoleh bagian dari harta peninggalan hanya tiga (3) saja yaitu : 1. Anak laki-laki; 2. Suami; 3. Bapak.
b. Ahli waris perempuan yang kesemuanya berjumlah sembilan (9), terdiri dari :
1. Anak perempuan; 2. Cucu perempuan ( anak perempuan dari anak laki-laki ); 3. Ibu; 4. Nenek ( Ibu dari bapak ); 5. Nenek ( Ibu dari ibu dan seterusnya keatas ); 6.. Saudara perempuan sekandung; 7.. Saudara perempuan sebapak; 8. Saudara perempuan seibu; 9. Istri.
Apabila ahli waris tersebut diatas seluruhnya ada, maka yang berhak memperoleh bagian dari harta peninggalan hanya lima (5) saja yaitu :
1. Istri ; 2. Anak perempuan; 3. Cucu Perempuan dari anak laki-laki; 4. Ibu; 5. Saudara perempuan sekandung.
Apabila semua ahli waris yang tersebut diatas semua ada, baik laki-laki maupun perempuan, maka yang berhak meperoleh bagian dari harta peninggalan hanya 5 ( lima )
yaitu :
1. suami atau istri ; 2. Ibu ; 3. Bapak ;  4. Anak laki-laki ; 5. Anak perempuan[8].
B. Ditinjau Dari Hak Dan Bagiannya
Jika ditinjau dari jumlah bagiannya, maka ahli waris dibagi menjadi 3 ( tiga ) bagian macam yaitu :
a. Dzawil Furudl
Dzawil Furudl adalah ahli waris yang berhak mendapat bagian tertentu dari harta peninggalan. Bagian tertentu atau Faridho yaitu :
1. Seperdua (1/2) bagian ; 2. Seperempat (1/4) bagian; 3. Seperdelapan (1/8) bagian ; 4. Dua pertiga (2/3) bagian; 5. Sepertiga (1/3) bagian; 6. Seperenam (1/6) bagian
Ahli waris yang mendapat bagian-bagian tersebut terdiri-dari :
1. Ahli waris yang mendapat bagian seperdua (1/2) :
a. Anak perempuan tunggal; b. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki; c. Saudara perempuan tunggal yang sekandung dan sebapak; d. Suami jika istri tidak meninggalkan anak.
2. Ahli waris yang mendapat bagian seperempat (1/4) :
a. Suami jika istri meninggalkan anak; b. Istri (seorang atau lebih) jika suami tidak meninggalkan anak.
3. Ahli Waris yang mendapat bagian seperdelapan (1/8)
a. Istri (seorang atau lebih) jika suaminya meninggalkan anak.
4. Ahli Waris yang mendapat bagian dua pertiga (2/3) :
a. Dua orang anak perempuan atau lebih; b. Dua orang cucu perempuan atau lebih; c. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seibu bapak atau sekandung; d. Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih.
5. Ahli waris yang mendapat bagian dua pertiga ( 2/3 ) :
a). Dua orang anak perempuan atau lebih ; b). Dua orang cucu perempuan atau lebih ; c). Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seibu bapak atau sekandung ; d). Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih.
6. Ahli waris yang mendapat bagian sepertiga ( 1/3 ) :
a). Ibu jika anak yang meninggal tidak mempunyai anak ; b). Dua orang saudara seibu atau lebih.
7. Ahli waris yang mendapat bagian seperenam ( 1/6 ) :
a). Ibu jika anaknya yang meningal dunia mempunyai anak ; b). Bapak jika anaknya yang meninggal mempunyai anak ; c). Nenek jika ibu tidak ada ; d). Cucu perempuan seorang atau lebih jika yang meninggal mempunyai anak tunggal. e). Kakek jika ayah tidak ada dan ada anak dari yang meninggal ; f). Seorang saudara yang seibu laki-laki atau perempuan.
b. Ashobah
Ashobah adalah ahli waris yang tidak memperoleh bagian tertentu tetapi mereka berhak mendapat seluruh harta peninggalan jika tidak ada ahli waris dzawil furudl dan berhak mendapatkan seluruh sisa harta peninggalan setelah dibagikan kepada ahli waris dzawil furudl, atau tidak menerima sama sekali. Karena harta peninggalan sudah habis dibagikan kepada ahli waris dzawil furudl. Ahli waris Ashobah ini ada tiga ( 3 ) macam yaitu :
1). Ashobah Binafsi
Yaitu ahli waris yang berhak mendapat semua sisa harta secara langsung dengan sendirinya bukan karena bersama ahli waris yang lain, seperti :
- anak laki-laki ; - cucu laki-laki ( dari anak laki-laki ) ; - saudara laki-laki kandung atau seayah ; - paman dan sebagainya.
2). Ashobah Bilghairi
Yaitu ahli waris yang berhak mendapatkan semua sisa hanya karena bersama ahli waris yang lain, seperti :
- anak perempuan ditarik menjadi ahli waris ashobah oleh anak laki-laki ; - cucu perempuan ditarik menjadi ahli waris ashobah oleh cucu laki-laki ; - saudara perempuan kandung atau seayah ditarik menjadi ahli waris ashobah oleh saudara.
3). Ashobah Ma’alghairi
Yaitu ahli waris yang berhak menjadi ashobah bersama-sama ahli waris yang lain seperti saudara perempuan kandung atau seayah menjadi ahli waris ashobah bersama-sama dengan anak perempuan.


c. Dzawil Arham
Dzawil Arham adalah ahli waris yang tidak berhak mendapat bagian tertentu (faroidh) juga tidak mendapat Ashobah karena pertalian dan hubungan kekeluargaannya telah jauh.laki-laki kandung atau seayah. Sebagian ulama dan sahabat nabi berpendapat bahwa apabila ahli waris yang mendapat bagian tertentu tidak ada, demikian juga ashobah atau warisan itu masih tersisa setelah dibagikan kepada ahli waris yang ada, maka warisan tersebut dibagikan kepada rahim yang lebih dekat hubungannya dengan muwaris. Untuk lebih memudahkan dalam menetapkan bagian masing-masing maka ditetapkan rahim itu memperoleh bagian disamakan dengan ahli waris tertentu yang telah disamakan kedudukannya sebagai berikut :
a). Anak dari cucu perempuan ( laki-laki atau perempuan ), disamakan kedudukannya dengan cucu perempuan; b). Cucu dari anak perempuan, disamakan kedudukannya dengan anak perempuan; c). Kakek ( bapaknya ibu ), disamakan kedudukannya dengan ibu; d). Nenek ( ibunya ibu ), disamakan kedudukannya dengan ibu; e). Anak perempuan dari saudara laki-laki ( sekadung, sebapak, atau seibu ) disamakan kedudukannya dengan saudara lakilaki; f).  Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, disamakan kedudukannya dengan saudara laki-laki seibu; g). Anak perempuan dari saudara perempuan ( sekandung, sebapak, atau seibu ), disamakan kedudukannya dengan saudara perempuan; h). Bibi ( saudara perempuan bapak ) disamakan kedudukannya dengan bapak; i). Paman ( saudara bapak yang seibu ) disamakan
kedudukannya dengan bapak; j). Saudara ibu ( laki-laki atau perempuan ) kedudukannya
disamakan dengan ibu[9].



BAB III
PEMBAHASAN

3.1         Status Hukum Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan
Anak yang lahir diluar pernikahan seringkali dalam masyarakat disebut atau dikenal dengan istilah anak haram, anak jadah, ataupun anak zina dan lain sebagainya. Para pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hukum tersendiri, apakah mereka belum pernah kawin atau sudah kawin, sebab dijatuhkannya hukum tersebut dikarenakan melanggar kesopanan dan merampas hak orang lain yang sah menurut hukum islam dan adat istiadat yang berlaku. Sang anak yang lahir dari perbuatan zina tidak bersalah dan tidak bertanggung jawab atas kesalahan orang tuanya. Anak yang lahir dianggap sebagai anak yang suci bukan dianggap sebagai anak zina, anak haram dan lain sebagainya. Karena yang haram adalah perbuatan orang tuanya.
Oleh karena itu anak yang lahir diluar pernikahan harus dilakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya kelak di masyarakat nanti. Menurut hukum islam demi kepentingan hukum maka untuk mengatur dan menjaga hubungan darah (nasab), keturunan atau anak secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu :
1.      Anak syar’i adalah anak yang mempunyai hubungan nasab (secara hukum) dengan orang tua laki-lakinya.
2.      Anak tabi’i adalah anak yang tidak mempunyai hubungan nasab dengan orang tua laki-lakinya.
Jika anak tersebut tidak dipandang sebagai anak dari ayah biologisnya maka ia tidak
memiliki hubungan saling mewarisi dengan laki-laki tersebut, anak ini dusebut sebagai anak tabi’i yang tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua laki-lakinya.  
Permasalahan selanjutnya muncul ketika ketentuan mengenai pembagian warisan anak luar nikah ini muncul di indonesia. Meskipun secara umum hukum warisa yang berlaku di indonesia untuk orang islam adalah hukum kewarisan islam yakni hukum waris yang diformulasikan oleh jumhur ulama khususnya mazhab syafi’i, yang tercermin dalam KHI pasal 186 yang menyatakan “anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”. Namun status hukum bahwa anak yang lahir di luar pernikahan adalah sah atau tidak sangat terkait erat dengan hukum perdata yang berlaku di indonesia.
Dalam hukum islam, dinyatakan ada dua hubungan yang menyebabkan seseorang menerima harta warisan dari seseorang yang telah meninggal yaitu, karena adanya hubungan darah (nasab), kekerabatan dan hubungan perkawinan. Hubungan nasab ini di tentukan karena adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran, seorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu mempunyai hubungan darah dengan ibu yang melahirkannya. Begitu pula dengan laki-laki yang menyebabkan anak dari ibu itu hamil dan melahirkan. Bila dipastikan bahwa laki-laki yang menyebabkan ibunya hamil dan melahirkan kemudian menikahi ibunya. Sehingga dalam islam anak yang lahir diluar pernikahan namun setelah itu dinikahi oleh laki-laki yang menghamili ibunya maka anak tersebut dapat mewarisi harta peninggalan dari ayahnya. Sedangkan anak yang lahir diluar pernikahan akan tetapi tidak diakui oleh laki-laki yang menyebabkan ibunya hamil maka anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan laki-laki yang menghamili ibunya dan tidak memiliki hak atas harta warisan laki-laki yang menghamili ibunya[10].



3.2  Hak Mewarisi Oleh Anak Yang Lahir di Luar Perkawinan
Dilangsungkan atau tidaknya perkawinan dalam kurun kelahiran seorang anak merupakan tolak ukur untuk menentukan apakah seorang anak adalah anak sah ( lahir dalam perkawinan yang sah ) atau anak yang lahir diluar perkawinan, walaupun setelah perkawinan dilangsungkan, orang tua anak bercerai kembali.
Penekanan utama dalam hal ini adalah anak lahir dalam perkawinan sebelum orangtua bercerai. Contoh dalam kasus ini misalnya A ( pria ) dan B ( wanita ) mengadakan hubungan layaknya suami istri sebelum melangsungkan perkawinan namun sebelum anak lahir mereka melangsungkan perkawinan dan beberapa saat kemudian bercerai kembali sebelum anak lahir. Maka dalam hal ini, anak yang lahir adalah anak sah karena kedua orang tua telah menikah, walaupun sebelum anak lahir mereka telah bercerai. Dalam kasus diatas, B ( wanita ) menikah dengan A ( pria ) yang mengakibatkan kelahiran anak. Namun apabila B ( wanita ) menikah dengan C ( pria ) yang bukan mengakibatkan kelahiran anak, maka anak yang lahir tetap anak sah karena B ( wanita ) telah melangsungkan perkawinan walaupun bukan dengan A ( pria ) yang mengakibatkan kelahiran anak.
Menurut Dra. Hj. Andy Muliany Hasim, SH, MH, pada prinsipnya Islam tidak mengakui anak yang lahir diluar perkawinan dalam segala aspeknya, karena mengakui anak yang lahir di luar perkawinan akan mengakibatkan Islam seolah-olah membenarkan/memperbolehkan hubungan suami istri yang dilakukan sebelum perkawinan untuk selanjutnya akan melahirkan anak-anak yang lahir diluar perkawinan. Pengaturan tentang anak yang lahir diluar perkawinan pada Kompilasi Hukum Islam sebenarnya bertujuan untuk memberikan jalan keluar bagi anak yang lahir di luar perkawinan dalam hal harta warisan sebagai wujud hak asasi manusia yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam.
Mengenai kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan sebagai ahli waris ibu dan keluarga dari pihak ibu, telah dijelaskan secara tegas dalam Pasal 186 Kompilasi Humum Islam yang berlaku secara nasional di Indonesia yang menyebutkan : anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Sebagai ahli waris dari ibu, maka besarnya bagian waris anak yang lahir di luar perkawinan diatur oleh Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam yang merupakan ketentuan bagian warisan bagi anak sah, disebabkan bagi ibu, anak yang lahir di luar perkawinan adalah anaksah. Anak yang lahir di luar perkawinan mendapat bagian waris dari Ibu kandungnya apabila dalam pembagian warisan Ibu tersebut tidak ada sengketa mengenai hal tersebut atau tidak ada penghalang yang mengakibatkan anak yang lahir di luar perkawinan tidak mendapat
bagian warisan. Sengketa mengenai pembagian warisan antara lain terjadi apabila ada ahli waris lainnya yang mengaku sebagai ahli waris dari pewaris sehingga mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama mengenai hal tersebut. Adanya sengketa mengakibatkan anak yang lahir di luar perkawinan akan tertunda menerima warisan disebabkan sengketa tentang siapa ahli waris dari pewaris harus diselesaikan terlebih dahulu berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka berdasarkan putusan
tersebut pembagian warisan dapat dilaksanakan.
Ada atau tidak penghalang dalam hal mewaris dapat pula mengakibatkan seorang anak yang lahir di luar perkawinan tidak mendapat bagian waris. Dikategorikan sebagai penghalang misalnyaahli waris yang dalam hal ini adalah anak yang lahir di luar perkawinan
terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap telah membunuh pewaris.
Apabila tidak ada sengketa dan tidak ada penghalang, maka anak yang lahir di luar perkawinan menjadi ahli waris dari pewaris / ibu kandung dan besarnya bagian waris anak yang lahir diluar perkawinan tergantung dengan siapa ia ( anak yang lahir diluar perkawinan )
mewaris. Dalam hal anak perempuan yang lahir diluar perkawinan mewaris bersama-sama dengan saudara laki-laki maka bagiannya berdasarkan Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam adalah dua banding satu ( 2 : 1 ). Sedangkan apabila mewaris bersama-sama anak-anak perempuan seorang maka bagiannya 1/2 ( setengah ) bagian dan bila anak perempuan lebih dari 2 ( dua ) orang maka bagian mereka seluruhnya adalah 2/3 ( dua pertiga bagian ).
Anak yang lahir di luar perkawinan akan mendapat seluruh harta Ibu kandungnya apabila ia mewaris seorang diri, namun apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama dengan anak sah maka bagian warisnya adalah sama terhadap harta warisan dari Ibu tanpa memandang / membedakan siapa ayah dari anak-anak tersebut. \
Misalnya : C ( anak perempuan yang lahir di luar perkawinan antara B dan A ) mewaris harta warisan B ( Ibu kandung C ) bersama saudara-saudaranya yaitu D ( wanita ) dan E ( wanita ) yang merupakan anak-anak sah dari perkawinan B dan G maka bagian
masing-masing adalah sama yaitu 1/3 ( sepertiga ) bagian. Namun apabila C mewaris bersama-sama dengan D ( wanita ) dan E ( pria ) maka bagian E ( pria ) adalah 1/2 ( setengah ) bagian dan C dan D masing-masing 1/4 ( seperempat ) bagian. Demikian pula apabila C ( anak laki-laki yang lahir diluar perkawinan ) mewaris bersama-samadengan D ( pria ) dan E ( pria ) maka bagian masing-masing adalah sama-sama 1/3 ( sepertiga ) bagian, namun apabila C mewaris bersama-sama D ( pria ) dan E ( wanita ) maka bagian C dan D masing-masing adalah 2/5 ( dua perlima ) bagian dan bagian E adalah 1/5 ( seperlima ) bagian.12
Berdasarkan contoh tersebut maka bagian waris anak yang lahir di luar perkawinan terhadap warisan Ibu kandungnya adalah sama dengan anak sah Ibu kandungnya. Hal yang berpengaruh langsung terhadap hal tersebut adalah jenis kelamin anak yang lahir di luar
perkawinan tersebut, apakah pria atau wanita. Karena akan mempengaruhi besarnya bagian yang akan diperoleh berdasarkan ketentuan 2 : 1 ( dua banding satu ) dimana anak laki-laki mendapat bagian dua kali anak perempuan.
Anak yang lahir diluar perkawinan akan mendapatkan warisan dari Ibunya secara langsung apabila Ibu meninggalkan wasiat yang menyebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tersebut adalah ahli waris sah Ibu dan mendapat warisan sebesar bagian tertentu dari warisan Ibu yang seluruhnya disebutkan secara tegas dalam suatu akta otentik atau surat dibawah tangan dengan dihadiri beberapa orang saksi. Wasiat yang ditinggalkan Ibu tentang kedudukan anak yang lahir diluar perkawinan dalam Islam tidak ditentukan apakah wajib menggunakan akta otentik atau cukup surat dibawah tangan. Namun agar tidak meninbulkan masalah di kemudian hari, khususnya timbul gugatan dari ahli waris lainnya maka sebaiknya wasiat dibuat dalam bentuk otentik dihadapan Notaris.
Surat wasiat yang menyebutkan tentang kedudukan anak yang lahir diluar perkawinan sebagai ahli waris Ibu dapat hanya memuat anak yang lahir diluar perkawinan saja sebagai ahli waris, dapat juga wasiat menyebut seluruh ahli waris dari Ibu sebagai pewasiat. Apabila
wasiat hanya menyebut anak yang lahir diluar perkawinan sebagai ahli waris tanpa menyebut bagian dari harta warisan yang akan menjadi bagiannya maka bagian anak yang lahir diluar perkawinan akan dihitung berdasarkan Hukum Islam dan tergantung pada ada atau tidaknya ahli waris ahli waris yang lainnya yang turut mewaris bersama-sama anak yang lahir diluar perkawinan, sedangkan apabila tidak ada ahli waris lainnya maka anak yang lahir diluar perkawinan dapat mewaris seluruh warisan Ibunya. Sedangkan apabila dalam wasiat sudah menyebutkan besarnya bagian anak yang lahir di luar perkawinan maka bagian anak yang lahir di luar perkawinan adalah sesuai dengan bagian yang disebutkan dalam wasiat[11].

BAB IV
PENUTUP
4.1    Kesimpulan :
 Dari pembahasan makalah diatas dapat dibuat suatu kesimpulan bahwa :
1.      Status Hukum anak yang lahir diluar hubungan perkawinan tidak dapat di nasabkan kepada laki-laki yang telah menghamili ibu dari anak tersebut dengan alasan bahwa anak yang dilahirkan berasal dari suatu hubungan yang tidak sah, sekalipun anak itu benar ada yang menjadi ayah biologisnya.
2.      Anak yang lahir diluar perkawinan tidak ada hubungan nasab dengan ayah biologisnya, yang berimplikasi kepada tidak ada hak mewarisi untuk keduanya. Akan tetapi anak diluar pernikahan yang tidak diakui oleh ayah biologisnya tetap mendapatkan biaya hidupnya sehari-hari hingga berumur 21 tahun dari harta warisan yang ditinggalkan oleh ayahnya.
3.      Anak yang lahir diluar perkawinan merupakan ahli waris dari Ibu kandung, orangtua dan saudara Ibu Kandung namun bukan merupakan ahli waris dari Bapak kandung apabila Ibu kandung dan Bapak kandung tidak melangsungkan perkawinan baik sebelum anak lahir maupun setelah anak lahir.
4.      Besarnya bagian waris yang diterima oleh anak yang lahir diluar perkawinan tergantung dengan siapa anak yang lahir diluar perkawinan mewaris. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya bagian waris anak yang lahir diluar perkawinan adalah jenis kelamin ahli waris lainnya tersebut ( pria atau wanita ) serta jumlah ahli waris lainnya.
5.      Warisan dapat diperoleh oleh anak yang lahir diluar perkawinan secara langsung apabila Ibu kandung meninggalkan wasiat.

4.2  Saran :
1.  Karena rendahnya kesadaran hukum anak yang lahir diluar perkawinan akan hak waris mereka terhadap harta warisan Ibu kandung maka Pemerintah dan Pengadilan Agama perlu melakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat khususnya anak yang lahir diluar perkawinan terhadap hak waris mereka terhadap harta warisan Ibu kandung yang dapat diperoleh melalui gugatan / tuntutan ke Pengadilan Agama.
2.  Pengadilan Agama perlu membentuk suatu kelompok yang dapat bertindak sebagai fasilitator / penengah guna mencari solusi / jalan keluar yang terdiri dari Pengadilan Agama, Pemerintah Daerah setempat dan pihak yang menaruh perhatian terhadap hak anak yang lahir diluar perkawinan untuk menuntut hak waris anak yang lahirdiluar perkawinan terhadap hak waris dari bapak kandungnya terutamadalam hal kedudukan Ibu kandung tidak sederajat dengan Bapak kandung.
3. Anak yang lahir diluar perkawinan perlu membentuk suatu organisasi untuk membahas hak-hak mereka dalam bidang hukum terutama hak waris mereka atas harta warisan Bapak kandung sehingga di masa yang akan datang hak mereka dapat diakomodasi oleh pemerintah dalam suatu bentuk undang-undang yang mengakui hak mereka atas harta warisan Bapak kandung.


 

DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Tamakiran, 1992, Asas-asas Hukum Waris, Pionir Jaya, Bandung.
Akses internet :
Sri wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat.  http://sriyunlike.blog.pessgul.com/
Emariani, Tesis Kedudukan Anak Diluar Perkawinan (Studi Kasus Semarang). http://Emariani.blog.esaunggul.ac,id/sample-page/.
Ahmad Fuad, Skripsi Kewarisan Anak Hasil Incest Dalam Prespektif Hukum Islam. http://Fuad.wordpress.com/2012/04/20 .




[1] Sri wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris
Adat. http://sriyunlike.blog.pessgul.com/halaman 10-12.   Akses Internet 26 Februari 2012.
[2] Emariani, Tesis Kedudukan Anak Diluar Perkawinan (Studi Kasus Semarang). http://Emariani.blog.esaunggul.ac,id/sample-page/.halaman 16-17  Akses Internet 26 Februari 2012.
[3] Ahmad Fuad, Skripsi Kewarisan Anak Hasil Incest Dalam Prespektif Hukum Islam. http://Fuad.wordpress.com/2012/04/20  halaman  11.Akses Internet 26 Februari 2013.
[4] Emariani, Tesis Kedudukan Anak Diluar Perkawinan (Studi Kasus Semarang). http://Emariani.blog.esaunggul.ac,id/sample-page/.halaman 15-16   Akses Internet 26 Februari 2012.
[5] Emariana. Lo. Cit. Halaman 27-35
[6] Ibid. Halaman 37
[7] Tamakiran. S.SH Asas-asas Hukum Waris. Halaman  84-86
[8] Ibid . halaman  88
[9] Lo. Cit. Halaman 102-104
[10] Ahmad Fuad, Skripsi Kewarisan Anak Hasil Incest Dalam Prespektif Hukum Islam. http://Fuad.wordpress.com/2012/04/20  halaman  28 – 31 Akses Internet 26 Februari 2013.
[11] Emariani, Tesis Kedudukan Anak Diluar Perkawinan (Studi Kasus Semarang). http://Emariani.blog.esaunggul.ac,id/sample-page/.halaman 57- 64   Akses Internet 26 Februari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar