PERTANIAN
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
INDUSTRIALISASI
DAN PERDAGANGAN BEBAS
(analisis Pendekatan Teoretik Empirik)
-Arif Luqman Hakim-
Pendahuluan
Arus
utama pembangunan menunjukkan adanya transformasi struktur perekonomian dari
pertanian ke industri. Hal ini dapat dibuktikan oleh indikator ekonomi yang
menunjukkan menurunnya pangsa pertanian serta meningkatnya pangsa industri
dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Pangsa relatif sektor pertanian dalam PDB
yang pada tahun 1967 sekitar 67% menurun menjadi hanya 17,2% pada tahun 1995.
Sementara untuk kurun waktu yang sama pangsa industri meningkat dari 5% menjadi
24,3%. Inilah yang seringkali disebut-sebut sebagai keberhasilan transformasi.
Namun demikian, pangsa tenaga kerja sektor pertanian belum menurun secara
berarti, bahkan sampai dengan tahun 1995 masih sebesar 48% dari total tenaga
kerja. Cepatnya penurunan pangsa pertanian terhadap PDB dibandingkan dengan
penurunannya terhadap total tenaga kerja, dapat menunjukkan semakin besarnya
tenaga kerja yang terperangkap di bidang pertanian sehingga semakin tidak
produktif dan tidak efisien. Dari data tersebut bisa terlihat semakin
menurunnya pendapatan perkapita tenaga kerja sektor pertanian.
Proses
industrialisasi yang cukup gencar, cepat, dan berhasil tersebut ternyata belum
mengkait ke belakang (backward linkage), yakni ke sektor pertanian.
Inilah yang mengakibatkan tertinggalnya sektor pertanian dari Industri. Tidak
saja dalam struktur PDB, tetapi juga dalam struktur masyarakat dimana sampai
saat ini masyarakat pertanian (baca: petani) tak kunjung sejahtera dibandingkan
masyarakat yang bergerak di bidang industri. Nilai tukar petani yang belum juga
membaik, produktivitas dan efisiensi yang rendah, serta sikap mental dan budaya
yang masih tradisional membawa mereka pada ketertinggalan. Fenomena
transformasi di atas menjadi tantangan tersendiri bagi pertanian. Apalagi bila
dikaitkan dengan situasi internasional yang mengarah pada perdagangan bebas,
semakin memperbanyak jumlah pertanyaan tentang prospek pembangunan pertanian
Indonesia.
Tantangan
kedua adalah perdagangan bebas. Sejak terinstitusionalisasinya perdagangan
bebas melalui WTO serta kesepakatan-kesepakatan perdagangan kawasan, seperti
APEC, AFTA, NAFTA, serta Uni Eropa, dunia akan semakin mengalami perubahan.
Tahun 2003 bagi AFTA dan 2010 serta 2020 bagi APEC sudah menjadi hardfact
yang sulit terelakkan bagi Indonesia. Ini juga sebagai konsekuensi dari upaya
Indonesia mengubah haluan dalam strategi ekspornya pada tahun 1980-an, dimana
sebelumnya pada tahun 1970-an ekonomi Indonesia lebih bercorak inward
looking dengan mengandalkan subtitusi impor. Sikap optimistik Indonesia
terhadap perubahan dunia tersebut, yang setidaknya diwakili pemerintah dan elit
perkotaan, masih dihadapkan pada realitas yang amat kompleks. Misalnya, tentang
dampak perdagangan bebas bagi mereka yang berkompetisi di pusat metropolis
dunia serta bagi mereka yang saat ini masih termarjinalisasi oleh arus
pem-bangunan yang mayoritas masih bergerak di sektor pertanian. Kemungkinan
ketidakseragaman respon dari berbagai struktur masyarakat terhadap perdagangan
bebas pada gilirannya nanti akan membawa sejumlah pertanyaan baru: mungkinkah
keadilan dan kemakmuran yang merata bisa terwujud, ataukah justru sebaliknya?
Respon
pertanian Indonesia yang masih didominasi petani tradisional
terhadap perdagangan bebas semakin penting dipahami. Adanya perdagangan bebas
tersebut akan memperluas arus perdagangan internasional yang lebih terbuka,
transparan, dan kompetitif. Bagi Indonesia, kenyataan ini akan menjadi peluang (opportunity)
bila Indonesia telah siap bersaing, tetapi juga dapat menjadi ancaman (threat)
bila tidak siap. Kesiapan bersaing ini ditentukan oleh tingkat produktivitas
dan efisiensi yang diakselerasi oleh penguasaan teknologi, sikap mental modern,
serta pemahaman yang dalam tentang standar mutu internasional dan politik
pemasaran yang handal. Kesiapan bersaing dapat ditunjang dengan dipenuhinya
standar internasional dalam mutu. Jaminan mutu (quality assurance) suatu
produk khususnya dalam kesehatan dan lingkungan serta persaingan harga
akan menjadi kecenderungan pasar. Apa yang dikenal dengan SPS (sanitary and
phytosanitary measures) dan TBT (technical barrier to trade)
terhadap suatu produk telah disepakati dan selaras dengan aturan-aturan
perdagangan internasional.[1]
Kedua
tantangan di atas dapat menjadi agenda penting untuk pembangunan sektor
pertanian. Oleh karena itu menarik untuk dikaji: bagaimana posisi pertanian
Indonesia di tengah industrialisasi dan perdagangan bebas, serta bagaimana
landasan teoritik untuk implikasi kebijakan yang harus dirumuskan dalam
menemukan model pembangunan pertanian masa depan tersebut? Untuk itu fenomena
tersebut akan dianalisis secara teoritik dan empirik.
Industrialisasi
Negara Berkembang dan Perdagangan Bebas Dalam Teori
Dalam
teori-teori pembangunan, industrialisasi di negara-negara berkembang mempunyai
latar belakang yang berbeda dengan negara maju. Gagasan industrialisasi di
negara berkembang tersebut dapat ditelusuri dari teori tentang pembagian kerja
secara internasional dimana teori ini pula yang mendasari pentingnya
perdagangan bebas yang merupakan produk pemikiran para ekonom klasik,[2]
sehingga sebenarnya antara industrialisasi dan perdagangan bebas merupakan dua
hal yang sangat terkait secara teoritis. Dalam teori ini dinyatakan tentang
pentingnya spesialisasi produksi setiap negara berdasarkan keunggulan
komparatif yang dimilikinya. Negara-negara berkembang yang memiliki tanah subur
sebaiknya melakukan spesialisasi dalam produksi pertanian. Sementara itu
negara-negara Utara yang iklimnya tidak cocok untuk pertanian sebaiknya
melakukan kegiatan produksi di industri. Bila kedua kelompok negara tersebut
mengabaikan prinsip keunggulan komparatif tersebut, maka yang terjadi adalah
inefisiensi produksi.
Dengan
spesialisasi ini akan terjadi perdagangan internasional yang saling
menguntungkan kedua kelompok negara tersebut. Negara-negara pertanian dapat
membeli barang-barang industri dengan harga lebih murah. Begitu pula
negara-negara industri membeli hasil-hasil pertaniannya secara lebih murah juga
dibandingkan bila memproduksi sendiri. Teori ini pula yang juga dapat menjadi
landasan bagi pentingnya perdagangan bebas. Setidaknya, Todaro dalam
Arif Budiman (1995) menegaskan pentingnya setiap negara untuk melebur dalam
perdagangan internasional atas prinsip keunggulan komparatif, karena pada
dasarnya setiap negara adalah saling tergantung, dan akan lebih menguntungkan
bila negara-negara saling mengisi kelemahan yang ada. Namun demikian dalam
perkembangannya hubungan saling ketergantungan tersebut membawa hasil yang
berbeda. Negara industri semakin maju, sedangkan negara berkembang semakin
tertinggal. Dalam perdagangan internasional, negara maju lebih beruntung dari
pada negara berkembang.
Fenomena
keuntungan yang bias ke negara industri disoroti oleh Raul Prebisch yang
tertuang dalam karyanya: The Economic Development of Latin America and Its
Principal Problems pada tahun 1950. Ketidakseimbangan perdagangan
internasional antara negara maju dan negara berkembang, menurut Prebisch, lebih
disebabkan oleh adanya penurunan nilai tukar komoditi pertanian terhadap
barang-barang industri. Barang-barang industri lebih mahal dari barang
pertanian, sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan negara-negara
berkembang yang mengandalkan pertanian.
Dalam
teori ekonomi sering dinyatakan bahwa komoditi pertanian bersifat inelastis,
khususnya bila dilihat dari kecenderungan adanya penurunan konsumsi bahan
makanan karena meningkatnya pendapatan. Sebaliknya, meningkatnya pendapatan
justru akan meningkatkan konsumsi terhadap barang-barang industri. Akibatnya,
anggaran negara pertanian yang digunakan untuk mengimpor barang-barang industri
dari negara-negara industri akan semakin meningkat, sedangkan pendapatan dari
hasil ekspornya relatif tetap atau bahkan menurun. Inilah yang menimbulkan
defisit neraca perdagangan. Adanya
proteksi negara industri atas hasil pertaniannya semakin mempersulit negara
berkembang untuk mengekspor hasil pertaniannya, sebagaimana sampai saat ini
masih terus berlangsung. Terakhir, negara industri semakin mampu menemukan
teknologi baru pembuat barang-barang sintetik sehingga memperkecil impor bahan
mentah pertanian dari negara berkembang.
Selain
itu, meningkatnya kekuatan politik kaum buruh di negara industri juga
berpengaruh pada meningkatnya upah. Ini berimplikasi pada meningkatnya biaya
produksi sehingga menyebabkan harga jual meningkat pula. Sementara harga barang
hasil pertanian relatif tetap. Akibatnya, nilai uang yang diperoleh negara
industri dari hasil ekspornya akan meningkat. Kenyataan itulah yang membuat
Raul Prebisch salah seorang peletak dasar teori ketergantungan
mengeluarkan gagasan pentingnya negara-negara berkembang untuk melakukan
industrialisasi sebagaimana negara maju. Upaya perintisan Industrialisasi ini
dilakukan dengan model industri subtitusi impor (ISI) sebagai "industri
bayi" (infant industry). Diharapkan industri ini dapat memproduksi
barang-barang yang semula diimpor. Sebagai langkah awal, untuk mengamankan
eksistensi industri bayi dari industri besar di negara maju diperlukan campur
tangan pemerintah melalui proteksi sampai dengan mendewasanya industri bayi
tersebut.
Pemikiran
Prebisch tentang ISI "selaras" dengan industrialisasi di
negara-negara ASEAN yang rata-rata dilakukan mulai tahun 1960-an. Akan tetapi
ternyata alasan utama industrialisasi ala Prebisch belum terbukti secara
empirik, setidaknya untuk negara-negara ASEAN. Dalam pandangan Arif dan Hill
(1988) terdapat 2 (dua) alasan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,
mempercepat proses Industrialisasinya. Pertama, adalah pandangan umum
bahwa prospek pasar internasional di masa depan bagi produk primer adalah
sangat suram sebagaimana pemikiran Prebisch. Ini, dilatarbelakangi oleh
pengalaman pada tahun 1950-an dimana terjadi kemerosotan harga-harga produk
pertanian setelah mengalami booming pada Perang Korea 1950-1951. Namun
demikian alasan ini tidaklah cukup empirik untuk membuktikan merosotnya nilai
tukar produk pertanian (term of trade) sebagai faktor utama adanya industrialisasi
dalam kerangka menepis ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju.
Hal ini karena diangap kemerosotan tersebut hanyalah bagian dari dinamika
perdagangan saja. Karena itu industrialisasi lebih didorong oleh keinginan
untuk penganekaragaman struktur ekspor, dimana komoditi pertanian tetap
dipertahankan seperti sekarang ini.
Kedua,
adanya pandangan bahwa negara-negara maju yang pendapatannya tinggi memiliki
sektor industri yang sangat besar. Jadi, industrialisasi dipandang sebagai jalan
ke arah perkembangan ekonomi yang lebih maju. Kalau diamati, pandangan seperti
ini merupakan bagian dari paradigma modernisasi yang mengarahkan model
pembangunan Barat sebagai "kiblat" bagi negara berkembang. Pandangan
kedua ini lebih empirik bila dilihat setting politik ekonomi
internasional waktu itu, dimana negara Barat pasca Marshall Plan giat
memasarkan gagasan modernisasi negara kalah perang serta negara berkembang
sebagai upaya pemulihan akibat Perang Dunia II sekaligus untuk menangkal
komunisme di negara-negara berkembang tersebut. Dalam perkembangannya, setiap
negara ASEAN berbeda-beda dalam menerapkan ISI, setidaknya ditunjukkan dari
aspek waktu. Filipina tergolong paling lama dalam mempertahankan model ISI yang
dimulai pada tahun 1940-an. Sebaliknya Singapura adalah negara tercepat dalam
mengganti model ISI, karena cepat pula menyadari kelemahan model ISI tersebut.
ISI
memang umumnya menghasilkan pertumbuhan industri yang sangat cepat, namun tidak
dapat menjadi landasan bagi babak industrialisasi yang berkesinambungan. Arif
dan Hill (1988) mengatakan : Setelah "tahap yang mudah" proses
industrialisasi tersebut diselesaikan, yaitu ketika keluaran (out put) barang
manufaktur tumbuh dengan batas-batas pasar dalam negeri yang kecil dan diproteksi,
maka kurun waktu kejenuhan pasar akan cepat tercapai. Dengan demikian , tidak
akan ada "perembesan" (spill over) otomatis ke pasar ekspor
sebagaimana sebelumnya diperkirakan oleh para pembuat kebijakan. Untuk
memudahkan, pemeliharaan pertumbuhan industri yang cepat dan berkesinambungan
di Malaysia, Filipina dan Muangthai sekitar tahun 1970-an dan di Indonesia
sekitar tahun 1980 memerlukan usaha promosi ekspor yang sungguh-sungguh
maupun putaran kedua substitusi impor dalam kegiatan-kegiatan yang lebih padat
modal dan padat ketrampilan.
Bagi
Indonesia strategi promosi ekspor yang dimulai tahun 1980-an lebih banyak
dilatarbelakangi adanya kemorosotan harga minyak yang semula menjadi andalan
utama ekspor. Kelangsungan ISI yang lama tersebut merupakan kajian ekonomi
politik, dimana diduga terkait dengan kuatnya hubungan birokrasi (pemberi
fasilitas proteksi) dengan swasta sebagai penerima fasilitas sekaligus pemberi
rente, sehingga memunculkan kolusi dan korupsi yang masih menggejala hingga
sekarang. Lambatnya kesadaran untuk mengganti strategi industrialisasi
tersebut, jelas mempengaruhi kinerja industrialisasi dewasa ini yang bila
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainya, khususnya Malaysia, Singapura,
dan Thailand, posisi Indonesia masih relatif berada di bawah mereka.
Dampak
industrialisasi terhadap perkembangan ekonomi tampak semakin signifikan, namun
inipun tidak terlepas dari masalah-masalah yang bersifat struktural. Misalnya,
ketergantungan teknologi (technological dependency) negara berkembang
terhadap negara maju yang akan mempersulit negara berkembang mengejar
ketertinggalan, sebagaimana sering disuarakan Dos Santos penganut teori
ketergantungan. Begitu pula dalam bantuan modal asing yang dapat mengganggu
proses kemandirian negara berkembang. Yang terakhir ini bantuan
modal belum terbukti mengganggu kemandirian, setidaknya bila diperhatikan
keberanian Indonesia untuk membubarkan IGGI.
Target Industrialisasi dan "Optimisme
Pertanian"
Target
industrialisasi perlu ditetapkan agar kelangsungan industrialisasi berjalan
secara sistematis dan membawa manfaat bagi berbagai struktur masyarakat. Ini
tentunya sebagai hasil pelajaran dari pengalaman negara-negara seperti India
dan Brazil, dimana industrialisasi yang gencar dikembangkan berbasis pada
teknologi tinggi (industri strategis/berat). Meskipun Brazil memiliki National
System of Scientific & Technological Development serta Fund for
Scientific and Technological Development, masing-masing sebagai lembaga
pengkaji dan pengembang teknologi serta lembaga penyokong dananya, ternyata
belum membawa Brazil sebagai negara Industri yang tangguh. Industri berat di
Brazil dianggap memboroskan uang negara, karena jumlah dana yang disuntikkan
jauh lebih besar dari yang diperoleh dari hasil penjualan. Hal ini tidak lain
karena ketidaksiapan seluruh perangkat, khususnya laboratorium (Basri, 1995),
dimana : (1) know how yang ada di laboratorium sudah usang karena
mengabaikan unsur waktu, (2) laboratorium mebuat prototipe yang mengabaikan
biaya dan kandungan impor, dan (3) laboratorium tidak memiliki pengalaman
manufakturing dan tidak dapat membantu para industrialis dalam mengatasi
masalah-masalah seperti yang diberikan pemasok-pemasok teknologi luar negeri
untuk mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan proses, start up,
adaptasi, dan lain sebagainya.[3]
Akibatnya,
industrialisasi berbasis teknologi tinggi di Brazil berjalan tidak sebagaimana
terjadi di negara-negara maju. Ini tidak lain, karena industrialiasi tidak
dipahami sebagai suatu entitas dalam pembangunan ekonomi. Industrialisasi tidak
mengkait pada sektor-sektor lain yang masih didominasi mayoritas masyarakatnya,
yakni pertanian. Sehingga, kesenjangan antara sektor industri dan pertanian
makin melebar, dan kemiskinan menjadi kenyataan yang terabaikan.[4]
Target
industrialisasi juga akan mempengaruhi perkembangan teknologi, karena
bagaimanapun juga keduanya saling terkait. Sebagai pendukung industrialisasi,
teknologi akan berkembang sesuai dengan kebutuhan industri. Bila industri
strategik yang akan dikembangkan, maka teknologi baja dan teknologi tinggi
lainnya yang akan dipilih. Bila industri bidang pertanian yang akan
dikembangkan, maka teknologi pertanian akan menjadi prioritas.
Kendati
secara normatif telah tertuang dalam GBHN, pada tingkat pelaksanaannya belum
juga terwujud target industrialisasi Indonesia yang jelas. Hal tersebut bisa
dilihat pada Gambar 1. yang menunjukkan statisnya kinerja industrialisasi di
Indonesia yang masih terus bertengger pada tahap 1 untuk kurun waktu 45 tahun.
Padahal negara-negara lain sudah melaju pada tahap yang lebih tinggi. Hal ini
disebabkan karena tergiurnya Indonesia oleh kekayaan minyak sehingga merasa
terdesak untuk membangun industri berat dan padat modal untuk memanfaatkan
kekayaan tersebut, meskipun belum memiliki landasan yang kuat.[5]
Selain itu juga karena konsentrasi pembangunan pertanian masih bertumpu pada
swasembada beras, sehingga industri alat berat pertanian serta pupuk menjadi
prioritas. Proses swasembada yang dicapai dalam waktu sekitar 19 tahun,
menyebabkan "terabaikannya" pembangunan industri, khususnya industri
pengolahan. Sementara itu untuk kurun waktu yang sama, negara-negara lain sudah
mulai mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) untuk
berbagai komoditi, khususnya hortikultura.
Tahap
|
1950-1965
|
1965-1980
|
1980-1995
|
Tahap
1
|
·
Taiwan
·
Singapura
·
Filipina
·
Korea
·
Malayisa
·
Indonesia
·
Cina
|
·
Thailand
·
Filipina
·
Malaysia
·
Cina
·
Inodonesia
|
·
Indonesia
·
Filipina
|
Tahap
2
|
·
Jepang
·
Hongkong
|
·
Taiwan
·
Singapura
·
Hongkong
·
Korea
·
Jepang
|
·
Thailand
·
Malaysia
·
Cina
|
Tahap
3
|
·
Taiwan
·
Singapura
·
Hongkong
·
Korea
·
Jepang
|
Gambar 1. Proses Siklus produk
Tahap 1 menggambarkan tahapan paling
awal yang ditandai oleh peranan manufaktur pertanian dan padat karya yang
masih dominan dan mendominasi ekspor
|
Tahap 2 dicirikan oleh perkembangan
pesat dari output dan ekspor produk industri seperti consumer electronics,
baja, dan suku cadang kendaraan bermotor.
|
Tahap 3 beralih ke produk-produk
teknologi tinggi dan padat modal seperti barang-barang modal atau jasa-jasa
finansial, komunikasi dan perdagangan
|
Sumber
: Adam dalam Basri (1995)
Baru
mulai Pelita VI disadari pentingnya agroindustri untuk menopang industrialisasi
di Indonesia. Namun, pada saat yang sama gencar pula industrialisasi berbasis high
tech dengan promotor Habibie melalui industri strategisnya, misalnya IPTN.
Gagasan Habibie bertolak dari kenyataan pola industrialisasi sebelumnya yang
menyebabkan ketergantungan terhadap teknologi negara penemunya, sebagaimana
dikhawatirkan Dos Santos dalam teori ketergantungannya. Kerangka Habibie dalam
membangun kemandirian IPTEK tersebut sangatlah signifikan bagi Indonesia dalam
mengejar ketertinggalan. Namun demikian kalau pilihan jatuh kepada industri
strategis sebagai leading sector dalam industrialisasi, yang menjadi
pertanyaan, apakah "jalan pintas" yang diambil ini efektif bagi
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Pengalaman industrialisasi Brazil dan India
dapat menjadi pelajaran yang berharga, dan kedua negara tersebut sangat comparable
dengan Indonesia setidaknya dilihat ciri-ciri aspek populasi dimana mereka
tergolong negara-negara yang jumlah penduduknya besar dengan struktur
masyarakat yang heterogen, serta latar belakang historis yang tidak jauh
berbeda.[6]
Konsentrasi
atau target industrialisasi yang selalu menyebar (diffused)
karena menggunakan broad based spectrum strategy tersebut
menyebabkan sulitnya industri Indonesia untuk bergerak secara sistematis
sebagaimana negara industri baru lainnya. Akibatnya, pertanian yang seharusnya industrialized
pada tahap awal pembangunan dan menjadi landasan bagi tumbuhnya industri
manufaktur lainnya terus "tersungkur" hingga kini, karena secara
empiris "terabaikan" dalam skenario industrialisasi. Bila selama ini pertanian Indonesia
tertinggal dari negara lain, khususnya Thailand, Korea, dan Taiwan, tidak lain
karena starting point yang berbeda. Juga, faktor lain adalah belum
kuatnya kemauan politik, khususnya dari pengambil kebijakan makroekonomi, untuk
memprioritaskan pertanian sebagai target industrialisasi. Bila pertanian
dijadikan sebagai target industrialisasi berarti akan berimplikasi pada semakin
penuhnya dukungan bagi pengembangan IPTEK pertanian, sehingga pertanian
Indonesia akan semakin terdukung oleh IPTEK yang mandiri dan berdaya saing.
Keterkaitan
sektor industri dengan pertanian mendapat tempat khusus dalam wacana
pembangunan ekonomi. Block mengungkapkan bahwa pertumbuhan sektor non pertanian
(termasuk industri) hanya dapat dipicu bila pengambilan keputusan dalam
perusahaan-perusahaan yang bermukim di pedesaan semakin efisien, produktivitas
tenaga kerja makin baik akibat meningkatnya standar nutrisi pekerja serta
meningkatnya profitabilitas pertanian. Dengan kata lain, sektor industri hanya
akan bisa tumbuh bila diperkuat pertanian yang tangguh.[7]
Pengalaman
di negara manapun yang sukses dalam industrialisasi selalu
mengembangkan industrialisasi dengan landasan pertanian yang kuat, seperti
Eropa, Australia, AS, Korea, Jepang, dan Taiwan. Perdagangan internasional dari
negara-negara maju juga didorong oleh hasil pertaniannya (daging, serealia,
hortikultur). Sebaliknya kegagalan ekonomi suatu negara banyak disebabkan
kegagalan dalam pembangunan pertanian. Sebut saja, Rusia yang hancur ekonominya
karena gagal dalam menyediakan pangan sehingga harus hutang gandum ke AS
senilai US$ 5 Milyar.[8]
Sebaliknya
kisah Korea Selatan dapat menjadi representasi model industrialisasi dengan
kekuatan sektor pertanian (lihat Budiman, 1991). Pada awal kemerdekaannya
Pemerintah Korea Selatan melaksanakan Land Reform dengan pembagian tanah secara
besar-besaran kepada petani penggarap. Petani hanya diperkenankan memiliki
tanah maksimum tiga hektar. Sebagai hasilnya, antara tahun 1945-1965 presentase
pemilik tanah dari semua keluarga di desa meningkat dari 14% menjadi 70%. Sementara
Jumlah buruh tani menurun dari 49% menjadi 7%.[9]
UU Land Reform yang mengalihkan pemilikan tanah kepada para petani miskin pada
gilirannya meningkatkan daya beli di pedesaan. Dan, ini merupakan prasarana
bagi berhasilnya proses industrialisasi.
Bagi
Indonesia pengalaman industrialisasi negara-negara tersebut dapat menjadi
pelajaran berharga. Bagaimana pun juga mayoritas masyarakat yang masih bergerak
di pertanian tetap menjadi kepentingan utama dalam pembangunan ekonomi, bila
disadari penuh bahwa pembangunan pada hakekatnya adalah pembangunan umat
manusia yang harus memenuhi kepentingan mayoritas umat manusia tersebut.
Keterkaitan pertanian dengan industri hanya bisa dilakukan melalui
agroindustri. Ini pun harus didukung oleh upaya konsolidasi pertanian yang kuat
di tingkat on farm, sehingga agroindustri akan terjaga kesinambungan
usahanya karena adanya input (bahan baku yang berasal dari on farm) yang
terjamin mutu dan kontinuitasnya.
Aspek
penting dari agroindustri tersebut adalah terpecahkannya diskursus tentang
nilai tukar komoditi pertanian yang relatif rendah dibandingkan komoditi
industri sebagaimana dimasalahkan Prebisch. Produk agroindustri mempunyai nilai
tambah (added value) yang lebih besar dari produk pertanian non-processed.
Rapuhnya sektor pertanian Indonesia kini, disebabkan rendahnya keterkaitan ke
depan (forward linkage) atau keterkaitan ke industri pengolahan sehingga
memiliki nilai tambah yang tak kunjung naik. Menurut Nasoetion, indeks retensi
sektor pertanian masih cukup tinggi, yakni 0,75. Artinya, hanya sekitar 25%
dari nilai produk komoditas pertanian yang memasuki pasar setelah melalui
proses agroindustri. Implikasi selanjutnya adalah bahwa pendapatan petani tidak
semakin naik karena tidak naiknya nilai tambah dari hasil produksinya.[10]
Peran
strategis agroindustri dalam perekonomian nasional sebenarnya telah terbukti
secara empirik. Yang pertama terlihat adalah peranan penting agroindustri
(dalam bentuk sumbangan atau pangsa relatif terhadap nilai tambah industri non
migas dan ekspor non migas) yang cukup tinggi. Selain itu perlu dilihat juga
pangsa impor agroindustri yang rata-rata hanya 27%. Rendahnya pangsa impor ini
menunjukkan bahwa agroindustri kurang membebani neraca perdagangan dan
pembayaran luar negeri. Pembenaran empirik tersebut selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 1. Kenyataan bahwa
agroindustri tetap menjadi subsektor yang strategis sangat disadari oleh
beberapa pengusaha yang terhimpun dalam Kadin. Dalam identifikasi sembilan produk
unggul 1991-1995 yang dilakukan Kadin, agroindustri masih tampak mendominasi
sebagaimana terlihat pada Tabel 2.
Upaya
mengkaitkan pertanian dengan industri melalui agroindustri tidak lepas dari
campur tangan pemerintah. Tanpa adanya campur tangan pemerintah, sulit bagi
keterkaitan tersebut untuk dapat berlangsung dalam mekanisme pasar. Oleh karena
itu kemauan politik pemerintah masih sangat diperlukan dalam memperkuat sektor
pertanian. Oleh karena itu, target industrialisasi perlu diarahkan pada
tercapainya posisi Indonesia sebagai NAIC (Newly Agroindustrializing
Country) sebelum menjadi NIC (Newly Industrializing Country). Ini,
akan membawa kuatnya industri yang didukung kuatnya sektor pertanian, sehingga
keberlanjutan industrialisasi akan lebih terjaga, mengingat seluruh lapisan
masyarakat akan dapat menikmati industrialisasi.
Pertanian dalam Era Perdagangan Bebas
Apakah
perdagangan bebas merupakan peluang atau ancaman bagi pertanian negara
berkembang? Melihat perkembangan pertemuan WTO di Singapura bulan Desember
1996, terlihat liberalisasi perdagangan komoditi pertanian masih merupakan
"momok" baik bagi negara maju maupun negara berkembang. Akan tetapi,
dengan diundurkannya kesepakatan tentang pertanian dalam forum WTO hingga tahun
1999 menunjukkan ketidaksiapan semua anggota terhadap liberalisasi pertanian,
kecuali Australia. Hal ini mengingat pertanian di negara maju maupun negara
berkembang masih mendapat proteksi tertinggi. Meskipun, bagi Indonesia,
ternyata proteksi tertinggi bukan pada sektor pertanian tetapi diberikan kepada
sektor industri, khususnya industri hulu.
Tabel
1.
Beberapa Ciri Keunggulan Penting
Agroindustri di Indonesia, 1970 -1995
Uraian
|
1971
|
1975
|
1980
|
1985
|
1990
|
1995
|
–
Pangsa terhadap
nilai industri non migas (%)
–
Pangsa terhadap
ekspor industri non migas (%)
–
Pangsa terhadap
impor industri non migas (%)
–
Pangsa terhadap
kesempatan kerja non migas (%)
–
Multiplier nilai
tambah
–
Multiplier
kesempatan kerja
–
Sumber
pertumbuhan utama
|
62,7
79,2
26,4 75,6
0,87
6,87
KS
|
64,3
45,5
26,3 62,1
0,83
2,98
KS
|
65,5
47,4
28,2
70,7
2,24
0,35
KS
|
66,6
75,4
28,6 79,4
2,31
0,57
KS
|
62,13
80,74
32,12
75,04
2,91
0,39
KS
|
68,70
80,74
31,63 74,95
3,23
0,35
KS
|
Dikutip dari Saragih (1995)
Sumber : 1. Tahun 1971-1985 : Dasril, 1993, dan 2. Tahun 1990-1995; Hasil Perhitungan PSP IPB, 1995 adalah estimasi
Sumber : 1. Tahun 1971-1985 : Dasril, 1993, dan 2. Tahun 1990-1995; Hasil Perhitungan PSP IPB, 1995 adalah estimasi
Tabel
2.
Sembilan
Produk Unggul (1991 - 1995) Versi Kadin KS
= konsumsi swasta
No
|
Produk
|
SITC |
Niali Export
(US$ X juta) |
Pertumbuhan
rata-rata (%) |
1
|
Barang-barang karet
|
23
|
1.965,43
|
21,32
|
2
|
Alat telekomunikasi dan elektronika
|
76
|
1.634,24
|
82,91
|
3
|
Minyak dan lemak nabati
|
42
|
1.040,83
|
25,13
|
4
|
Minyak dan lemak nabati dan
olahannya
|
42
|
termasuk
|
termasuk
|
5
|
Kertas dan olahannya
|
64
|
931,65
|
37,55
|
6
|
Mebel dan perabotan
|
82
|
864,39
|
22,86
|
7
|
Logam bukan besi
|
68
|
710,10
|
22,74
|
8
|
Pulp
|
251
|
512,31
|
115,85
|
9
|
Logam-logam lainnya
|
69
|
419,54
|
82,26
|
Sumber:
Bunasor (1996)
Bila
diamati secara seksama, ketidaksiapan justru lebih dominan datang dari negara
maju, khususnya Jepang, Perancis, dan AS, yang terus mendapat tekanan dari para
petaninya. Bagi negara berkembang yang mengandalkan ekspor komoditi pertanian,
relatif lebih siap untuk memasuki liberalisasi perdagangan. Hal ini mengingat
liberalisasi perdagangan berarti peluang bagi masuknya barang ekspor negara
berkembang ke pasar negara maju yang selama ini terus terproteksi. Masalah peluang ini semakin terasa dengan
adanya standarisasi mutu produk pertanian, dimana semula negara maju sering
mengusulkan standar yang terlalu tinggi yang sulit dipenuhi negara berkembang.
Misalnya, dicontohkan dalam kasus standar tentang kadar aflatoksin pada kacang
tanah atau jagung. Amerika mengusulkan ambang maksimum 15 ppb (part per
billion), Eropa mengusulkan 5 ppb, dan Indonesia lebih dari 20 ppb. Dalam
perdagangan internasional sebelum standarisasi tersebut jelaslah perdagangan
kacang tanah dan jagung hanya akan menguntungkan negara-negara maju, karena
negara maju menetapkan standar yang lebih tinggi. Sehingga, negara maju lebih
memungkinkan melakukan ekspor ke negara berkembang, sementara sulit bagi negara
berkembang untuk mengekspor produknya.[11]
Bagi
negara yang tergabung dalam kelompok Cairns (Cairns Group) kelompok
negara pengekspor hasil pertanian, seperti Indonesia, Thailand, Argentina,
Filipina, Selandia Baru, Australia, Hongaria, Cile, uruguay Kolombia, Fiji,
Brazil, dan Kanada, berusaha megimbangi supremasi AS dan Eropa. Hal ini karena
AS dan Eropa yang getol memaksakan perdagangan bebas, ternyata seringkali masih
belum konsisten, dan cenderung "bermain" dalam retorika perdagangan
bebas. Bahkan dapat dikatakan masih melakukan proteksi terselubung. Hal ini
bisa dilihat dari kesepakatan WTO tentang SPS dan TBT untuk produk pangan yang
digunakan oleh negara-negara maju tersebut sebagai hambatan teknis terselubung
dalam perdagangannya. Misalnya, dengan semakin ketatnya penerapan sertifikat
sanitasi dan fito sanitasi produk pangan yang diekspor ke negara maju, begitu
pula dengan persyaratan yang berkaitan dengan mutu. Sebagai contoh, negara
Eropa mensyaratkan agar seluruh ekspor minyak kelapa sawit harus diangkut oleh
kontainer khusus dan tidak diperbolehkan menggunakan thermal heating oil
dalam penanganan dan transportasinya. Importir Jepang mensyaratkan agar semua
produk perikanan diekspor harus disertai dengan sertifikat bebas vibrio
cholera. Amerika Serikat mensyaratkan semua produk pangan yang diekspor
memiliki sertifikat sanitasi dan fitosanitasi, serta mulai tahun 1996 harus
disertasi dengan keterangan HACCP bagi produk perikanan. Di lain pihak, karena
di dalam negeri persyaratan seperti ini belum dikembangkan, maka Indonesia bisa
menjadi tempat dumping membanjirnya produk pangan impor. Hal tersebut tidak
saja berbahaya bagi kesehatan konsumen Indonesia, tetapi secara ekonomi juga
merugikan perdagangan internasional.[12]
Di
samping sejumlah peluang perdagangan bebas serta "politik" negara
maju sebagai satu masalah yang harus dihadapi seperti diuraikan di atas, aspek
tantangan perlu diperhatikan. Aspek tantangan ini menuntut adanya peningkatan
kualitas produk pertanian untuk siap bersaing. Apalagi setelah melihat kasus
penolakan impor produk pangan oleh Amerika Serikat sebanyak 763 kasus dan
merugikan senilai US$ 100 juta, yang disebabkan belum terpenuhinya standar
mutu, sebagaimana pada Tabel 3.
Tabel3.
Daftar
Penolakan Impor Produk Pangan Indonesia oleh Amerika Serikat,
Tahun 1995
No
|
Jenis
Komoditi Pangan
|
Kasus
|
Nilai
|
1
|
whole grains, milled products |
1
|
1.780,00
|
2
|
bakery products |
2
|
2.180,00
|
3
|
macaroni and noodle products |
2
|
125.408,00
|
4
|
snack food items |
2
|
10.954,00
|
5
|
fishery seafood products |
192
|
17.580.738
|
6
|
fruits and fruit products |
3
|
6.122,00
|
7
|
nuts and edible seeds |
1
|
2.047,00
|
8
|
vegetables and vegetable product |
3
|
198.086,00
|
9
|
vegetables and vegetable product |
5
|
110.910,00
|
10
|
spices, flavors, and salts |
2
|
342.291,00
|
11
|
coffee and tea |
22
|
945.462,00
|
12
|
candy w/o chocolate |
2
|
30.308,00
|
13
|
chocolate and cocoa products |
514
|
86.642.747,00
|
14
|
gelatin, rennet, pudding mixes |
1
|
7.728,00
|
15
|
mult food dinners |
2
|
3.668,00
|
16
|
Soups |
4
|
752,00
|
17
|
misc food related items |
5
|
9.616,00
|
TOTAL
|
763
|
100.020.797,00
|
|
Namun
demikian meskipun perdagangan bebas membawa sejumlah ancaman bagi kelangsungan
pertanian di Indonesia, seperti memungkinkannya produk pertanian Indonesia
tidak menjadi tuan rumah di pasarnya sendiri, tetapi karena sudah menjadi
"hardfact", maka kenyataan baru tersebut harus dianggap sebagai
peluang. Oleh karena itu orientasi pada penguatan daya saing sudah menjadi
tuntutan. Penguatan daya saing dapat dilakukan dengan pemenuhan standar mutu
internasional serta standar lainnya yang berkaitan dengan lingkungan dan kesehatan.
Semua itu membutuhkan penguasaan teknologi serta kesadaran terhadap tuntutan
konsumen.
Transformasi Ke Arah Pertanian Industrial:
Mencari Model Pembangunan Pertanian Era Industrialisasi dan Perdagangan Bebas
Tantangan
industrialisasi dan perdagangan bebas membutuhkan corak pertanian yang efisien,
produktif, dan berdaya saing. Corak pertanian yang demikian adalah padat
teknologi dan berorientasi pasar. Pertanian seperti ini tidak lain merupakan
pertanian yang berbudaya industri. Sehingga, proses transformasi struktural
melalui industrialisasi tidak saja akan ditujukan pada meningkatnya pangsa
industri pada perekonomian nasional, tetapi juga pada meningkatnya budaya
industrial dalam kehidupan perekonomian untuk semua sektor, termasuk sektor
pertanian. Sehingga, pertanian dan industri tidak lagi sebagai dikotomi sektor
tradisional-modern, tetapi lebih merupakan perbedaan occupational status
saja bagi masyarakat. Hal ini karena keduanya telah industrialized yang
dicirikan dengan karakteristik budaya kerjanya yang sama. Proses transformasi
ke arah masyarakat industrial tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 dengan
berbagai pencirinya.
Yang
menjadi pertanyaan, model pertanian industrial yang bagaimana yang akan
dikembangkan di Indonesia; apakah akan tercipta masyarakat pertanian yang
rasional-total sebagaimana yang diharapkan model Barat? Pertanian industrial
sudah merupakan tuntutan untuk dikembangkan, karena dengan corak pertanian yang
sekarang ini masih dominan yakni corak pertanian post-traditional
tampaknya sulit bagi pertanian Indonesia untuk mengejar ketertinggalan
dari pertanian negara lain yang lebih maju. Model transformasi ke arah
pertanian industrial tidak mungkin dilakukan dengan model revolusioner yang
akan merubah total tatanan tradisional dalam organisasi pertanian. Dan, proses
transformasi yang lebih tepat adalah model evolusi yang dipercepat (accelerated
evolution) dengan laju pergerakan yang dipercepat melalui penerapan
teknologi baru disertai penyiapan masyarakat untuk menggunakan teknologi
tersebut.
Namun accelerated
evolution tersebut tidak semata-mata berupa inovasi teknologi atau variabel
lain yang bersifat material, tetapi juga variabel non-material, khususnya sikap
mental dan budaya. Rasionalitas atau modernitas sikap petani dibangun dari indegenous
budaya yang sebenarnya potensial untuk menjadi budaya "modern" yang
cocok dalam iklim industrial. Oleh karena itu pemahaman terhadap produk budaya
lokal tersebut sangat penting artinya dalam kontekstualisasi nilai budaya lokal
tersebut. Dalam kerangka accelerated evolution ini, catatan penting
adalah bukan berarti pembangunan pertanian tersebut serba anti Barat dan secara
total berasal dari dalam. Akan tetapi, justru yang terpenting adalah bagaimana
mensintesis produk indegenous budaya dan struktur sosial
lokal-tradisional tersebut dengan produk rasionalitas Barat.
Arah Transformasi
Arah Transformasi
Gambar2.
Arah
Transformasi Dari Budaya Ekonomi Pertanian Traditional ke Budaya Ekonomi
Pasar dan Faktor Pencirinya
Pertanian Traditional
|
Penciri |
Pertanian Modern
|
–
Lokal
–
subsistensi
–
sederhana
–
karbohidrat
–
unskilled labour
–
keluarga
(askripsi)
–
labor intensive
–
kredit informal
–
safety first
–
musiman
–
personal/komunal
–
mekanik
–
feodalistik/sentralistik
–
asimetris
(ekstrem)
–
longgar/lemah
–
rendah
|
–
Kaitan Pasar
–
orientasi ekonomi
–
teknologi
–
sumber energi
utama
–
tenaga kerja
–
manajemen
–
penggerak ekonomi
–
sumber kapital
–
spirit usaha
–
ciri produk
pertanian
–
pola hubungan
sosial
–
tipe solidaritas
–
sistem politik
–
interdependensi
–
kompetisi
–
ketegangan sosial
|
–
Global
–
komersial
–
tinggi
–
fosil dan nuklir
–
skilled labor
–
professional
achievement
–
capital intensive
–
kredit formal
–
achievement
motivation
–
mutu baku
–
impersonal/kontrak
–
organik
–
demokratik/desentralistik
–
asimetris
(moderat)
–
kuat
–
tinggi
|
Sumber:Pranadji (1995)
Hal
tersebut adalah memungkinkan bila melihat pengalaman Jepang dalam pembangunan
ekonominya. Jepang telah mampu mensintesis kerangka struktur sosial dan kultur
tradisional dari warisan Restorasi Meiji dengan produk kemajuan Barat.
Sehingga, kemajuan yang dicapai tidak bersifat trade-off bagi budaya
lokal yang masih kental di kalangan petani tersebut. Dalam pandangan Naisbitt,
inilah yang tergolong pembangunan dengan "cara Asia" (Asia ways).
Pembangunan "cara Asia" telah menjadi alternatif sebagai model
pembangunan di negara-negara Asia, dan siap bersanding dengan paham mainstream economy.
Harus diakui bahwa arus utama pembangunan ekonomi dunia telah didominasi paham mainstream
economy, yang menekankan rasionalitas total dalam setiap aktivitas ekonomi,
termasuk pertanian. Paham inilah yang seringkali diinjeksikan dalam
kebijaksanaan pembangunan pertanian di negara berkembang sehingga seringkali
gagal diterapkan di lapangan.[13]
Bagi
Indonesia, pembangunan sebagaimana "cara Asia" itu telah dikembangkan
dalam dunia pertanian dan pedesaan. Misalnya, pengalaman dalam pengembangan
program Inpres, IDT, serta Pembangunan Pedesaan lainnya, yang mangasumsikan
kepercayaan terhadap kaum miskin bahwa mereka mampu mengorganisasi diri dalam
pembangunan. Meskipun secara material miskin, tetapi tidak dalam mental-spiritual.
Program-program seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu penjelas sukses
Indonesia mengurangi jumlah orang miskin dari 60% tahun 1970 menjadi 13,7%
tahun 1993. Dan, kenyataan seperti ini sulit diterima oleh teori-teori ekonomi mainstream
pada umumnya.[14]
Pembangunan
pertanian dengan model yang demikian perlu dikembangkan lebih jauh dengan
muatan-muatan kesadaran akan internasionalisasi pertanian yang menuntut
ciri-ciri pertanian modern sebagaimana Gambar 2 di atas. Jika model pembangunan
pertanian "cara Indonesia" itu telah dikembangkan pada PJP I
dimana perekonomian masih bersifat inward looking, maka pada PJP II ini
menjadi agenda penting untuk merumuskan model pembangunan pertanian "cara
Indonesia" dalam iklim perekonomian yang outward looking. Inilah
tantangan bagi kalangan intelektual untuk dapat merumuskan secara sistematis
model pertanian yang antisipatif terhadap industrialisasi dan perdagangan bebas
ala Indonesia. Rumusan model ini penting bagi efektivitas kebijaksanaan
pembangunan pertanian mendatang.
Kesimpulan
Tantangan
pertanian di era industrialisasi dan perdagangan bebas menuntut penguatan
pertanian melalui model-model baru. Model pembangunan pertanian dengan
paradigma modernisasi yang secara praksis terlihat melalui revolusi hijau
ternyata hanya mampu mendongkrak tingkat produksi. Sementara kesenjangan sosial
ekonomi di pedesaan masih tampak besar. Paradigma pertanian industrial yang
dikembangkan dengan secara jeli mempertimbangkan aspek budaya dan struktur
sosial dapat menjadi alternatif bagi model pertanian masa depan.
Paradigma
pertanian industrial berusaha mengesankan pertanian sebagai
"unit-industri" yang jauh dari kesan gurem. Masalah citra inilah yang
seringkali besar pengaruhnya bagi perhatian pengambil kebijakan nasional. Citra
pertanian yang hanya seolah padi-sawah yang gurem seringkali membuat pengambil
kebijakan dan masyarakat luas menjadi pesimis terhadap prospek pertanian.
Padahal, negara-negara maju pun dapat mencapai tingkat ekonomi yang tinggi
karena citra pertanian yang terkesan "industrial" serta kekuatan
pertaniannya secara riil.
Dalam
menemukan model-model baru tersebut maka diperlukan pendekatan yang bersifat
heterodoks yang tidak apriori terhadap teori-teori besar manapun serta tidak
fanatik terhadap satu mazhab teori tertentu. Teori modernisasi sebagai turunan
paham liberal maupun teori radikal dan turunannya (marxis dan neo
marxis) ternyata hanya bisa menjelaskan fenomena negara berkembang kasus
per kasus, dan belum mampu menjelaskannya dalam suatu generalisasi yang
komprehensif. Karena itulah, menjadi "pekerjaan rumah " bagi ilmuwan
Indonesia untuk secara teoritik menemukan model pembangunan dimana
pertanian termasuk didalamnya yang "ala Indonesia".
[1]
B. Amang, Prospektif Persoalan Pangan Dunia Memasuki Abad Ke 21 dan Kesiapan
Indonesia untuk Kemandirian Pangan (Makalah disampaikan pada Seminar dan
Musyawarah Keluarga KAHMI Bogor, November 1996)
[2]
A., Budiman, Negara dan Pembangunan : Studi tentang Indonesia dan Korea
Selatan, (Jakarta: Yayasan Padi dan Kapas, 1991), hlm. 6-8
[3]
Saragih, B. (1995). Peran Agribisnis dalam Pertanian Abad 21. (Orasi
Ilmiah Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Bogor, Desember 1995).
[4] Tom Hewitt, et.al. (ed.), Industriaization and Development, (Oxford: The Open University, 1992), hlm. 137-8
[5]
F. Basri, Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI, (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1996), hlm. 12-14
[6]
M.L., Jinghan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. (Jakarta: Rajawali
Pers, 1990), hlm. 3-5
[7]
Bedu Amang, Prospektif., hlm. 6-7
[8]
Bunasor, dan , A. Satria, Agribusiness and Agroindustry Approach in
Supporting Sustainable in Regional Development in Transmigration Settlements in
Indonesia, (Makalah disampaikan pada International Seminar on Population
Resettlement for Poverty Alleviation oleh Departemen Transmigrasi dan PPH,
Desember 1995 di Jakarta)
[9]
Arif Budiman, Negara., hlm. 35-7
[11]
Wirakartakusumah, M. A. (1996). Pembangunan Pertanian Tangguh dalam Era
Globalisasi, Perdagangan Bebas, dan Industrialisasi Dilihat Dari Segi Tantangan
dan Peluang Agribisnis Pangan (Makalah disampaikan pada Seminar
dan Musyawarah Keluarga KAHMI Bogor, November
1996)
[12]
Ibid.,
[13]
J., Naisbitt, Megatrends ASIA, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 12-5
[14] D. S., Damanhuri, Ekonomi Politik
Alternatif: Agenda Reformasi Abad 21, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996), hlm. 23-5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar