Selasa, 20 November 2012

PERTANIAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF INDUSTRIALISASI DAN PERDAGANGAN BEBAS


PERTANIAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
INDUSTRIALISASI DAN PERDAGANGAN BEBAS
(analisis Pendekatan Teoretik Empirik)
-Arif Luqman Hakim-

Pendahuluan
Arus utama pembangunan menunjukkan adanya transformasi struktur perekonomian dari pertanian ke industri. Hal ini dapat dibuktikan oleh indikator ekonomi yang menunjukkan menurunnya pangsa pertanian serta meningkatnya pangsa industri dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Pangsa relatif sektor pertanian dalam PDB yang pada tahun 1967 sekitar 67% menurun menjadi hanya 17,2% pada tahun 1995. Sementara untuk kurun waktu yang sama pangsa industri meningkat dari 5% menjadi 24,3%. Inilah yang seringkali disebut-sebut sebagai keberhasilan transformasi. Namun demikian, pangsa tenaga kerja sektor pertanian belum menurun secara berarti, bahkan sampai dengan tahun 1995 masih sebesar 48% dari total tenaga kerja. Cepatnya penurunan pangsa pertanian terhadap PDB dibandingkan dengan penurunannya terhadap total tenaga kerja, dapat menunjukkan semakin besarnya tenaga kerja yang terperangkap di bidang pertanian sehingga semakin tidak produktif dan tidak efisien. Dari data tersebut bisa terlihat semakin menurunnya pendapatan perkapita tenaga kerja sektor pertanian.
Proses industrialisasi yang cukup gencar, cepat, dan berhasil tersebut ternyata belum mengkait ke belakang (backward linkage), yakni ke sektor pertanian. Inilah yang mengakibatkan tertinggalnya sektor pertanian dari Industri. Tidak saja dalam struktur PDB, tetapi juga dalam struktur masyarakat dimana sampai saat ini masyarakat pertanian (baca: petani) tak kunjung sejahtera dibandingkan masyarakat yang bergerak di bidang industri. Nilai tukar petani yang belum juga membaik, produktivitas dan efisiensi yang rendah, serta sikap mental dan budaya yang masih tradisional membawa mereka pada ketertinggalan. Fenomena transformasi di atas menjadi tantangan tersendiri bagi pertanian. Apalagi bila dikaitkan dengan situasi internasional yang mengarah pada perdagangan bebas, semakin memperbanyak jumlah pertanyaan tentang prospek pembangunan pertanian Indonesia.
Tantangan kedua adalah perdagangan bebas. Sejak terinstitusionalisasinya perdagangan bebas melalui WTO serta kesepakatan-kesepakatan perdagangan kawasan, seperti APEC, AFTA, NAFTA, serta Uni Eropa, dunia akan semakin mengalami perubahan. Tahun 2003 bagi AFTA dan 2010 serta 2020 bagi APEC sudah menjadi hardfact yang sulit terelakkan bagi Indonesia. Ini juga sebagai konsekuensi dari upaya Indonesia mengubah haluan dalam strategi ekspornya pada tahun 1980-an, dimana sebelumnya  pada tahun 1970-an ekonomi Indonesia lebih bercorak inward looking dengan mengandalkan subtitusi impor. Sikap optimistik Indonesia terhadap perubahan dunia tersebut, yang setidaknya diwakili pemerintah dan elit perkotaan, masih dihadapkan pada realitas yang amat kompleks. Misalnya, tentang dampak perdagangan bebas bagi mereka yang berkompetisi di pusat metropolis dunia serta bagi mereka yang saat ini masih termarjinalisasi oleh arus pem-bangunan yang mayoritas masih bergerak di sektor pertanian. Kemungkinan ketidakseragaman respon dari berbagai struktur masyarakat terhadap perdagangan bebas pada gilirannya nanti akan membawa sejumlah pertanyaan baru: mungkinkah keadilan dan kemakmuran yang merata bisa terwujud, ataukah justru sebaliknya?
Respon pertanian Indonesia  yang masih didominasi petani tradisional  terhadap perdagangan bebas semakin penting dipahami. Adanya perdagangan bebas tersebut akan memperluas arus perdagangan internasional yang lebih terbuka, transparan, dan kompetitif. Bagi Indonesia, kenyataan ini akan menjadi peluang (opportunity) bila Indonesia telah siap bersaing, tetapi juga dapat menjadi ancaman (threat) bila tidak siap. Kesiapan bersaing ini ditentukan oleh tingkat produktivitas dan efisiensi yang diakselerasi oleh penguasaan teknologi, sikap mental modern, serta pemahaman yang dalam tentang standar mutu internasional dan politik pemasaran yang handal. Kesiapan bersaing dapat ditunjang dengan dipenuhinya standar internasional dalam mutu. Jaminan mutu (quality assurance) suatu produk khususnya dalam kesehatan dan lingkungan  serta persaingan harga akan menjadi kecenderungan pasar. Apa yang dikenal dengan SPS (sanitary and phytosanitary measures) dan TBT (technical barrier to trade) terhadap suatu produk telah disepakati dan selaras dengan aturan-aturan perdagangan internasional.[1]
Kedua tantangan di atas dapat menjadi agenda penting untuk pembangunan sektor pertanian. Oleh karena itu menarik untuk dikaji: bagaimana posisi pertanian Indonesia di tengah industrialisasi dan perdagangan bebas, serta bagaimana landasan teoritik untuk implikasi kebijakan yang harus dirumuskan dalam menemukan model pembangunan pertanian masa depan tersebut? Untuk itu fenomena tersebut akan dianalisis secara teoritik dan empirik.
Industrialisasi Negara Berkembang dan Perdagangan Bebas Dalam Teori
Dalam teori-teori pembangunan, industrialisasi di negara-negara berkembang mempunyai latar belakang yang berbeda dengan negara maju. Gagasan industrialisasi di negara berkembang tersebut dapat ditelusuri dari teori tentang pembagian kerja secara internasional dimana teori ini pula yang mendasari pentingnya perdagangan bebas yang merupakan produk pemikiran para ekonom klasik,[2] sehingga sebenarnya antara industrialisasi dan perdagangan bebas merupakan dua hal yang sangat terkait secara teoritis. Dalam teori ini dinyatakan tentang pentingnya spesialisasi produksi setiap negara berdasarkan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Negara-negara berkembang yang memiliki tanah subur sebaiknya melakukan spesialisasi dalam produksi pertanian. Sementara itu negara-negara Utara yang iklimnya tidak cocok untuk pertanian sebaiknya melakukan kegiatan produksi di industri. Bila kedua kelompok negara tersebut mengabaikan prinsip keunggulan komparatif tersebut, maka yang terjadi adalah inefisiensi produksi.
Dengan spesialisasi ini akan terjadi perdagangan internasional yang saling menguntungkan kedua kelompok negara tersebut. Negara-negara pertanian dapat membeli barang-barang industri dengan harga lebih murah. Begitu pula negara-negara industri membeli hasil-hasil pertaniannya secara lebih murah juga dibandingkan bila memproduksi sendiri. Teori ini pula yang juga dapat menjadi landasan bagi pentingnya perdagangan bebas. Setidaknya, Todaro dalam Arif Budiman (1995) menegaskan pentingnya setiap negara untuk melebur dalam perdagangan internasional atas prinsip keunggulan komparatif, karena pada dasarnya setiap negara adalah saling tergantung, dan akan lebih menguntungkan bila negara-negara saling mengisi kelemahan yang ada. Namun demikian dalam perkembangannya hubungan saling ketergantungan tersebut membawa hasil yang berbeda. Negara industri semakin maju, sedangkan negara berkembang semakin tertinggal. Dalam perdagangan internasional, negara maju lebih beruntung dari pada negara berkembang.
Fenomena keuntungan yang bias ke negara industri disoroti oleh Raul Prebisch yang tertuang dalam karyanya: The Economic Development of Latin America and Its Principal Problems pada tahun 1950. Ketidakseimbangan perdagangan internasional antara negara maju dan negara berkembang, menurut Prebisch, lebih disebabkan oleh adanya penurunan nilai tukar komoditi pertanian terhadap barang-barang industri. Barang-barang industri lebih mahal dari barang pertanian, sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan negara-negara berkembang yang mengandalkan pertanian.
Dalam teori ekonomi sering dinyatakan bahwa komoditi pertanian bersifat inelastis, khususnya bila dilihat dari kecenderungan adanya penurunan konsumsi bahan makanan karena meningkatnya pendapatan. Sebaliknya, meningkatnya pendapatan justru akan meningkatkan konsumsi terhadap barang-barang industri. Akibatnya, anggaran negara pertanian yang digunakan untuk mengimpor barang-barang industri dari negara-negara industri akan semakin meningkat, sedangkan pendapatan dari hasil ekspornya relatif tetap atau bahkan menurun. Inilah yang menimbulkan defisit neraca perdagangan.  Adanya proteksi negara industri atas hasil pertaniannya semakin mempersulit negara berkembang untuk mengekspor hasil pertaniannya, sebagaimana sampai saat ini masih terus berlangsung. Terakhir, negara industri semakin mampu menemukan teknologi baru pembuat barang-barang sintetik sehingga memperkecil impor bahan mentah pertanian dari negara berkembang.
Selain itu, meningkatnya kekuatan politik kaum buruh di negara industri juga berpengaruh pada meningkatnya upah. Ini berimplikasi pada meningkatnya biaya produksi sehingga menyebabkan harga jual meningkat pula. Sementara harga barang hasil pertanian relatif tetap. Akibatnya, nilai uang yang diperoleh negara industri dari hasil ekspornya akan meningkat. Kenyataan itulah yang membuat Raul Prebisch salah seorang peletak dasar teori ketergantungan  mengeluarkan gagasan pentingnya negara-negara berkembang untuk melakukan industrialisasi sebagaimana negara maju. Upaya perintisan Industrialisasi ini dilakukan dengan model industri subtitusi impor (ISI) sebagai "industri bayi" (infant industry). Diharapkan industri ini dapat memproduksi barang-barang yang semula diimpor. Sebagai langkah awal, untuk mengamankan eksistensi industri bayi dari industri besar di negara maju diperlukan campur tangan pemerintah melalui proteksi sampai dengan mendewasanya industri bayi tersebut.
Pemikiran Prebisch tentang ISI "selaras" dengan industrialisasi di negara-negara ASEAN yang rata-rata dilakukan mulai tahun 1960-an. Akan tetapi ternyata alasan utama industrialisasi ala Prebisch belum terbukti secara empirik, setidaknya untuk negara-negara ASEAN. Dalam pandangan Arif dan Hill (1988) terdapat 2 (dua) alasan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mempercepat proses Industrialisasinya. Pertama, adalah pandangan umum bahwa prospek pasar internasional di masa depan bagi produk primer adalah sangat suram sebagaimana pemikiran Prebisch. Ini, dilatarbelakangi oleh pengalaman pada tahun 1950-an dimana terjadi kemerosotan harga-harga produk pertanian setelah mengalami booming pada Perang Korea 1950-1951. Namun demikian alasan ini tidaklah cukup empirik untuk membuktikan merosotnya nilai tukar produk pertanian (term of trade) sebagai faktor utama adanya industrialisasi dalam kerangka menepis ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju. Hal ini karena diangap kemerosotan tersebut hanyalah bagian dari dinamika perdagangan saja. Karena itu industrialisasi lebih didorong oleh keinginan untuk penganekaragaman struktur ekspor, dimana komoditi pertanian tetap dipertahankan seperti sekarang ini.
Kedua, adanya pandangan bahwa negara-negara maju yang pendapatannya tinggi memiliki sektor industri yang sangat besar. Jadi, industrialisasi dipandang sebagai jalan ke arah perkembangan ekonomi yang lebih maju. Kalau diamati, pandangan seperti ini merupakan bagian dari paradigma modernisasi yang mengarahkan model pembangunan Barat sebagai "kiblat" bagi negara berkembang. Pandangan kedua ini lebih empirik bila dilihat setting politik ekonomi internasional waktu itu, dimana negara Barat pasca Marshall Plan giat memasarkan gagasan modernisasi negara kalah perang serta negara berkembang sebagai upaya pemulihan akibat Perang Dunia II sekaligus untuk menangkal komunisme di negara-negara berkembang tersebut. Dalam perkembangannya, setiap negara ASEAN berbeda-beda dalam menerapkan ISI, setidaknya ditunjukkan dari aspek waktu. Filipina tergolong paling lama dalam mempertahankan model ISI yang dimulai pada tahun 1940-an. Sebaliknya Singapura adalah negara tercepat dalam mengganti model ISI, karena cepat pula menyadari kelemahan model ISI tersebut.
ISI memang umumnya menghasilkan pertumbuhan industri yang sangat cepat, namun tidak dapat menjadi landasan bagi babak industrialisasi yang berkesinambungan. Arif dan Hill (1988) mengatakan : Setelah "tahap yang mudah" proses industrialisasi tersebut diselesaikan, yaitu ketika keluaran (out put) barang manufaktur tumbuh dengan batas-batas pasar dalam negeri yang kecil dan diproteksi, maka kurun waktu kejenuhan pasar akan cepat tercapai. Dengan demikian , tidak akan ada "perembesan" (spill over) otomatis ke pasar ekspor sebagaimana sebelumnya diperkirakan oleh para pembuat kebijakan. Untuk memudahkan, pemeliharaan pertumbuhan industri yang cepat dan berkesinambungan di Malaysia, Filipina dan Muangthai sekitar tahun 1970-an dan di Indonesia sekitar tahun 1980   memerlukan usaha promosi ekspor yang sungguh-sungguh maupun putaran kedua substitusi impor dalam kegiatan-kegiatan yang lebih padat modal dan padat ketrampilan.
Bagi Indonesia strategi promosi ekspor yang dimulai tahun 1980-an lebih banyak dilatarbelakangi adanya kemorosotan harga minyak yang semula menjadi andalan utama ekspor. Kelangsungan ISI yang lama tersebut merupakan kajian ekonomi politik, dimana diduga terkait dengan kuatnya hubungan birokrasi (pemberi fasilitas proteksi) dengan swasta sebagai penerima fasilitas sekaligus pemberi rente, sehingga memunculkan kolusi dan korupsi yang masih menggejala hingga sekarang. Lambatnya kesadaran untuk mengganti strategi industrialisasi tersebut, jelas mempengaruhi kinerja industrialisasi dewasa ini yang bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainya, khususnya Malaysia, Singapura, dan Thailand, posisi Indonesia masih relatif berada di bawah mereka.
Dampak industrialisasi terhadap perkembangan ekonomi tampak semakin signifikan, namun inipun tidak terlepas dari masalah-masalah yang bersifat struktural. Misalnya, ketergantungan teknologi (technological dependency) negara berkembang terhadap negara maju yang akan mempersulit negara berkembang mengejar ketertinggalan, sebagaimana sering disuarakan Dos Santos  penganut teori ketergantungan. Begitu pula dalam bantuan modal asing yang dapat mengganggu proses kemandirian negara berkembang. Yang terakhir ini  bantuan modal  belum terbukti mengganggu kemandirian, setidaknya bila diperhatikan keberanian Indonesia untuk membubarkan IGGI.
Target Industrialisasi dan "Optimisme Pertanian"
Target industrialisasi perlu ditetapkan agar kelangsungan industrialisasi berjalan secara sistematis dan membawa manfaat bagi berbagai struktur masyarakat. Ini tentunya sebagai hasil pelajaran dari pengalaman negara-negara seperti India dan Brazil, dimana industrialisasi yang gencar dikembangkan berbasis pada teknologi tinggi (industri strategis/berat). Meskipun Brazil memiliki National System of Scientific & Technological Development serta Fund for Scientific and Technological Development, masing-masing sebagai lembaga pengkaji dan pengembang teknologi serta lembaga penyokong dananya, ternyata belum membawa Brazil sebagai negara Industri yang tangguh. Industri berat di Brazil dianggap memboroskan uang negara, karena jumlah dana yang disuntikkan jauh lebih besar dari yang diperoleh dari hasil penjualan. Hal ini tidak lain karena ketidaksiapan seluruh perangkat, khususnya laboratorium (Basri, 1995), dimana : (1) know how yang ada di laboratorium sudah usang karena mengabaikan unsur waktu, (2) laboratorium mebuat prototipe yang mengabaikan biaya dan kandungan impor, dan (3) laboratorium tidak memiliki pengalaman manufakturing dan tidak dapat membantu para industrialis dalam mengatasi masalah-masalah seperti yang diberikan pemasok-pemasok teknologi luar negeri untuk mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan proses, start up, adaptasi, dan lain sebagainya.[3]
Akibatnya, industrialisasi berbasis teknologi tinggi di Brazil berjalan tidak sebagaimana terjadi di negara-negara maju. Ini tidak lain, karena industrialiasi tidak dipahami sebagai suatu entitas dalam pembangunan ekonomi. Industrialisasi tidak mengkait pada sektor-sektor lain yang masih didominasi mayoritas masyarakatnya, yakni pertanian. Sehingga, kesenjangan antara sektor industri dan pertanian makin melebar, dan kemiskinan menjadi kenyataan yang terabaikan.[4]
Target industrialisasi juga akan mempengaruhi perkembangan teknologi, karena bagaimanapun juga keduanya saling terkait. Sebagai pendukung industrialisasi, teknologi akan berkembang sesuai dengan kebutuhan industri. Bila industri strategik yang akan dikembangkan, maka teknologi baja dan teknologi tinggi lainnya yang akan dipilih. Bila industri bidang pertanian yang akan dikembangkan, maka teknologi pertanian akan menjadi prioritas.
Kendati secara normatif telah tertuang dalam GBHN, pada tingkat pelaksanaannya belum juga terwujud target industrialisasi Indonesia yang jelas. Hal tersebut bisa dilihat pada Gambar 1. yang menunjukkan statisnya kinerja industrialisasi di Indonesia yang masih terus bertengger pada tahap 1 untuk kurun waktu 45 tahun. Padahal negara-negara lain sudah melaju pada tahap yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena tergiurnya Indonesia oleh kekayaan minyak sehingga merasa terdesak untuk membangun industri berat dan padat modal untuk memanfaatkan kekayaan tersebut, meskipun belum memiliki landasan yang kuat.[5] Selain itu juga karena konsentrasi pembangunan pertanian masih bertumpu pada swasembada beras, sehingga industri alat berat pertanian serta pupuk menjadi prioritas. Proses swasembada yang dicapai dalam waktu sekitar 19 tahun, menyebabkan "terabaikannya" pembangunan industri, khususnya industri pengolahan. Sementara itu untuk kurun waktu yang sama, negara-negara lain sudah mulai mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) untuk berbagai komoditi, khususnya hortikultura.

Tahap
1950-1965
1965-1980
1980-1995
Tahap 1
·         Taiwan
·         Singapura
·         Filipina
·         Korea
·         Malayisa
·         Indonesia
·         Cina
·         Thailand
·         Filipina
·         Malaysia
·         Cina
·         Inodonesia
·         Indonesia
·         Filipina
Tahap 2
·         Jepang
·         Hongkong
·         Taiwan
·         Singapura
·         Hongkong
·         Korea
·         Jepang
·         Thailand
·         Malaysia
·         Cina
Tahap 3


·         Taiwan
·         Singapura
·         Hongkong
·         Korea
·         Jepang
Gambar 1. Proses Siklus produk
Tahap 1 menggambarkan tahapan paling awal yang ditandai oleh peranan manufaktur pertanian dan padat karya yang masih dominan dan mendominasi ekspor
Tahap 2 dicirikan oleh perkembangan pesat dari output dan ekspor produk industri seperti consumer electronics, baja, dan suku cadang kendaraan bermotor.
Tahap 3 beralih ke produk-produk teknologi tinggi dan padat modal seperti barang-barang modal atau jasa-jasa finansial, komunikasi dan perdagangan
Sumber : Adam dalam Basri (1995)
Baru mulai Pelita VI disadari pentingnya agroindustri untuk menopang industrialisasi di Indonesia. Namun, pada saat yang sama gencar pula industrialisasi berbasis high tech dengan promotor Habibie melalui industri strategisnya, misalnya IPTN. Gagasan Habibie bertolak dari kenyataan pola industrialisasi sebelumnya yang menyebabkan ketergantungan terhadap teknologi negara penemunya, sebagaimana dikhawatirkan Dos Santos dalam teori ketergantungannya. Kerangka Habibie dalam membangun kemandirian IPTEK tersebut sangatlah signifikan bagi Indonesia dalam mengejar ketertinggalan. Namun demikian kalau pilihan jatuh kepada industri strategis sebagai leading sector dalam industrialisasi, yang menjadi pertanyaan, apakah "jalan pintas" yang diambil ini efektif bagi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Pengalaman industrialisasi Brazil dan India dapat menjadi pelajaran yang berharga, dan kedua negara tersebut sangat comparable dengan Indonesia setidaknya dilihat ciri-ciri aspek populasi dimana mereka tergolong negara-negara yang jumlah penduduknya besar dengan struktur masyarakat yang heterogen, serta latar belakang historis yang tidak jauh berbeda.[6]
Konsentrasi atau target industrialisasi yang selalu menyebar (diffused)   karena menggunakan broad based spectrum strategy  tersebut menyebabkan sulitnya industri Indonesia untuk bergerak secara sistematis sebagaimana negara industri baru lainnya. Akibatnya, pertanian yang seharusnya industrialized pada tahap awal pembangunan dan menjadi landasan bagi tumbuhnya industri manufaktur lainnya terus "tersungkur" hingga kini, karena secara empiris "terabaikan" dalam skenario industrialisasi.  Bila selama ini pertanian Indonesia tertinggal dari negara lain, khususnya Thailand, Korea, dan Taiwan, tidak lain karena starting point yang berbeda. Juga, faktor lain adalah belum kuatnya kemauan politik, khususnya dari pengambil kebijakan makroekonomi, untuk memprioritaskan pertanian sebagai target industrialisasi. Bila pertanian dijadikan sebagai target industrialisasi berarti akan berimplikasi pada semakin penuhnya dukungan bagi pengembangan IPTEK pertanian, sehingga pertanian Indonesia akan semakin terdukung oleh IPTEK yang mandiri dan berdaya saing.
Keterkaitan sektor industri dengan pertanian mendapat tempat khusus dalam wacana pembangunan ekonomi. Block mengungkapkan bahwa pertumbuhan sektor non pertanian (termasuk industri) hanya dapat dipicu bila pengambilan keputusan dalam perusahaan-perusahaan yang bermukim di pedesaan semakin efisien, produktivitas tenaga kerja makin baik akibat meningkatnya standar nutrisi pekerja serta meningkatnya profitabilitas pertanian. Dengan kata lain, sektor industri hanya akan bisa tumbuh bila diperkuat pertanian yang tangguh.[7]
Pengalaman di negara manapun  yang sukses dalam industrialisasi   selalu mengembangkan industrialisasi dengan landasan pertanian yang kuat, seperti Eropa, Australia, AS, Korea, Jepang, dan Taiwan. Perdagangan internasional dari negara-negara maju juga didorong oleh hasil pertaniannya (daging, serealia, hortikultur). Sebaliknya kegagalan ekonomi suatu negara banyak disebabkan kegagalan dalam pembangunan pertanian. Sebut saja, Rusia yang hancur ekonominya karena gagal dalam menyediakan pangan sehingga harus hutang gandum ke AS senilai US$ 5 Milyar.[8]
Sebaliknya kisah Korea Selatan dapat menjadi representasi model industrialisasi dengan kekuatan sektor pertanian (lihat Budiman, 1991). Pada awal kemerdekaannya Pemerintah Korea Selatan melaksanakan Land Reform dengan pembagian tanah secara besar-besaran kepada petani penggarap. Petani hanya diperkenankan memiliki tanah maksimum tiga hektar. Sebagai hasilnya, antara tahun 1945-1965 presentase pemilik tanah dari semua keluarga di desa meningkat dari 14% menjadi 70%. Sementara Jumlah buruh tani menurun dari 49% menjadi 7%.[9] UU Land Reform yang mengalihkan pemilikan tanah kepada para petani miskin pada gilirannya meningkatkan daya beli di pedesaan. Dan, ini merupakan prasarana bagi berhasilnya proses industrialisasi.
Bagi Indonesia pengalaman industrialisasi negara-negara tersebut dapat menjadi pelajaran berharga. Bagaimana pun juga mayoritas masyarakat yang masih bergerak di pertanian tetap menjadi kepentingan utama dalam pembangunan ekonomi, bila disadari penuh bahwa pembangunan pada hakekatnya adalah pembangunan umat manusia yang harus memenuhi kepentingan mayoritas umat manusia tersebut. Keterkaitan pertanian dengan industri hanya bisa dilakukan melalui agroindustri. Ini pun harus didukung oleh upaya konsolidasi pertanian yang kuat di tingkat on farm, sehingga agroindustri akan terjaga kesinambungan usahanya karena adanya input (bahan baku yang berasal dari on farm) yang terjamin mutu dan kontinuitasnya.
Aspek penting dari agroindustri tersebut adalah terpecahkannya diskursus tentang nilai tukar komoditi pertanian yang relatif rendah dibandingkan komoditi industri sebagaimana dimasalahkan Prebisch. Produk agroindustri mempunyai nilai tambah (added value) yang lebih besar dari produk pertanian non-processed. Rapuhnya sektor pertanian Indonesia kini, disebabkan rendahnya keterkaitan ke depan (forward linkage) atau keterkaitan ke industri pengolahan sehingga memiliki nilai tambah yang tak kunjung naik. Menurut Nasoetion, indeks retensi sektor pertanian masih cukup tinggi, yakni 0,75. Artinya, hanya sekitar 25% dari nilai produk komoditas pertanian yang memasuki pasar setelah melalui proses agroindustri. Implikasi selanjutnya adalah bahwa pendapatan petani tidak semakin naik karena tidak naiknya nilai tambah dari hasil produksinya.[10]
Peran strategis agroindustri dalam perekonomian nasional sebenarnya telah terbukti secara empirik. Yang pertama terlihat adalah peranan penting agroindustri (dalam bentuk sumbangan atau pangsa relatif terhadap nilai tambah industri non migas dan ekspor non migas) yang cukup tinggi. Selain itu perlu dilihat juga pangsa impor agroindustri yang rata-rata hanya 27%. Rendahnya pangsa impor ini menunjukkan bahwa agroindustri kurang membebani neraca perdagangan dan pembayaran luar negeri. Pembenaran empirik tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.  Kenyataan bahwa agroindustri tetap menjadi subsektor yang strategis sangat disadari oleh beberapa pengusaha yang terhimpun dalam Kadin. Dalam identifikasi sembilan produk unggul 1991-1995 yang dilakukan Kadin, agroindustri masih tampak mendominasi sebagaimana terlihat pada Tabel 2.
Upaya mengkaitkan pertanian dengan industri melalui agroindustri tidak lepas dari campur tangan pemerintah. Tanpa adanya campur tangan pemerintah, sulit bagi keterkaitan tersebut untuk dapat berlangsung dalam mekanisme pasar. Oleh karena itu kemauan politik pemerintah masih sangat diperlukan dalam memperkuat sektor pertanian. Oleh karena itu, target industrialisasi perlu diarahkan pada tercapainya posisi Indonesia sebagai NAIC (Newly Agroindustrializing Country) sebelum menjadi NIC (Newly Industrializing Country). Ini, akan membawa kuatnya industri yang didukung kuatnya sektor pertanian, sehingga keberlanjutan industrialisasi akan lebih terjaga, mengingat seluruh lapisan masyarakat akan dapat menikmati industrialisasi.
Pertanian dalam Era Perdagangan Bebas
Apakah perdagangan bebas merupakan peluang atau ancaman bagi pertanian negara berkembang? Melihat perkembangan pertemuan WTO di Singapura bulan Desember 1996, terlihat liberalisasi perdagangan komoditi pertanian masih merupakan "momok" baik bagi negara maju maupun negara berkembang. Akan tetapi, dengan diundurkannya kesepakatan tentang pertanian dalam forum WTO hingga tahun 1999 menunjukkan ketidaksiapan semua anggota terhadap liberalisasi pertanian, kecuali Australia. Hal ini mengingat pertanian di negara maju maupun negara berkembang masih mendapat proteksi tertinggi. Meskipun, bagi Indonesia, ternyata proteksi tertinggi bukan pada sektor pertanian tetapi diberikan kepada sektor industri, khususnya industri hulu.
Tabel 1.
 Beberapa Ciri Keunggulan Penting Agroindustri di Indonesia, 1970 -1995
Uraian
1971
1975
1980
1985
1990
1995
         Pangsa terhadap nilai industri non migas (%)
         Pangsa terhadap ekspor industri non migas (%)
         Pangsa terhadap impor industri non migas (%)
         Pangsa terhadap kesempatan kerja non migas (%)
         Multiplier nilai tambah
         Multiplier kesempatan kerja
         Sumber pertumbuhan utama
62,7

79,2

26,4

75,6

0,87
6,87
KS
64,3

45,5

26,3

62,1

0,83
2,98
KS
65,5

47,4

28,2

70,7

2,24
0,35
KS
66,6

75,4

28,6

79,4

2,31
0,57
KS
62,13

80,74

32,12

75,04

 2,91
0,39
KS
68,70

80,74

31,63

74,95

3,23
0,35
KS
Dikutip dari Saragih (1995)
Sumber : 1. Tahun 1971-1985 : Dasril, 1993, dan 2. Tahun 1990-1995; Hasil Perhitungan PSP IPB, 1995 adalah estimasi



Tabel 2.
Sembilan Produk Unggul (1991 - 1995) Versi Kadin KS = konsumsi swasta
No
Produk

SITC

Niali Export
(US$ X juta)
Pertumbuhan
rata-rata (%)
1
Barang-barang karet
23
1.965,43
21,32
2
Alat telekomunikasi dan elektronika
76
1.634,24
82,91
3
Minyak dan lemak nabati
42
1.040,83
25,13
4
Minyak dan lemak nabati dan olahannya
42
termasuk
termasuk
5
Kertas dan olahannya
64
931,65
37,55
6
Mebel dan perabotan
82
864,39
22,86
7
Logam bukan besi
68
710,10
22,74
8
Pulp
251
512,31
115,85
9
Logam-logam lainnya
69
419,54
82,26
Sumber: Bunasor (1996)
Bila diamati secara seksama, ketidaksiapan justru lebih dominan datang dari negara maju, khususnya Jepang, Perancis, dan AS, yang terus mendapat tekanan dari para petaninya. Bagi negara berkembang yang mengandalkan ekspor komoditi pertanian, relatif lebih siap untuk memasuki liberalisasi perdagangan. Hal ini mengingat liberalisasi perdagangan berarti peluang bagi masuknya barang ekspor negara berkembang ke pasar negara maju yang selama ini terus terproteksi.  Masalah peluang ini semakin terasa dengan adanya standarisasi mutu produk pertanian, dimana semula negara maju sering mengusulkan standar yang terlalu tinggi yang sulit dipenuhi negara berkembang. Misalnya, dicontohkan dalam kasus standar tentang kadar aflatoksin pada kacang tanah atau jagung. Amerika mengusulkan ambang maksimum 15 ppb (part per billion), Eropa mengusulkan 5 ppb, dan Indonesia lebih dari 20 ppb. Dalam perdagangan internasional sebelum standarisasi tersebut jelaslah perdagangan kacang tanah dan jagung hanya akan menguntungkan negara-negara maju, karena negara maju menetapkan standar yang lebih tinggi. Sehingga, negara maju lebih memungkinkan melakukan ekspor ke negara berkembang, sementara sulit bagi negara berkembang untuk mengekspor produknya.[11]
Bagi negara yang tergabung dalam kelompok Cairns (Cairns Group) kelompok negara pengekspor hasil pertanian, seperti Indonesia, Thailand, Argentina, Filipina, Selandia Baru, Australia, Hongaria, Cile, uruguay Kolombia, Fiji, Brazil, dan Kanada, berusaha megimbangi supremasi AS dan Eropa. Hal ini karena AS dan Eropa yang getol memaksakan perdagangan bebas, ternyata seringkali masih belum konsisten, dan cenderung "bermain" dalam retorika perdagangan bebas. Bahkan dapat dikatakan masih melakukan proteksi terselubung. Hal ini bisa dilihat dari kesepakatan WTO tentang SPS dan TBT untuk produk pangan yang digunakan oleh negara-negara maju tersebut sebagai hambatan teknis terselubung dalam perdagangannya. Misalnya, dengan semakin ketatnya penerapan sertifikat sanitasi dan fito sanitasi produk pangan yang diekspor ke negara maju, begitu pula dengan persyaratan yang berkaitan dengan mutu. Sebagai contoh, negara Eropa mensyaratkan agar seluruh ekspor minyak kelapa sawit harus diangkut oleh kontainer khusus dan tidak diperbolehkan menggunakan thermal heating oil dalam penanganan dan transportasinya. Importir Jepang mensyaratkan agar semua produk perikanan diekspor harus disertai dengan sertifikat bebas vibrio cholera. Amerika Serikat mensyaratkan semua produk pangan yang diekspor memiliki sertifikat sanitasi dan fitosanitasi, serta mulai tahun 1996 harus disertasi dengan keterangan HACCP bagi produk perikanan. Di lain pihak, karena di dalam negeri persyaratan seperti ini belum dikembangkan, maka Indonesia bisa menjadi tempat dumping membanjirnya produk pangan impor. Hal tersebut tidak saja berbahaya bagi kesehatan konsumen Indonesia, tetapi secara ekonomi juga merugikan perdagangan internasional.[12]
Di samping sejumlah peluang perdagangan bebas serta "politik" negara maju sebagai satu masalah yang harus dihadapi seperti diuraikan di atas, aspek tantangan perlu diperhatikan. Aspek tantangan ini menuntut adanya peningkatan kualitas produk pertanian untuk siap bersaing. Apalagi setelah melihat kasus penolakan impor produk pangan oleh Amerika Serikat sebanyak 763 kasus dan merugikan senilai US$ 100 juta, yang disebabkan belum terpenuhinya standar mutu, sebagaimana pada Tabel 3.

Tabel3.
Daftar Penolakan Impor Produk Pangan Indonesia oleh Amerika Serikat,
Tahun 1995
No
Jenis Komoditi Pangan
Kasus
Nilai
1
whole grains, milled products
1
1.780,00
2
bakery products
2
2.180,00
3
macaroni and noodle products
2
125.408,00
4
snack food items
2
10.954,00
5
fishery seafood products
192
17.580.738
6
fruits and fruit products
3
6.122,00
7
nuts and edible seeds
1
2.047,00
8
vegetables and vegetable product
3
198.086,00
9
vegetables and vegetable product
5
110.910,00
10
spices, flavors, and salts
2
342.291,00
11
coffee and tea
22
945.462,00
12
candy w/o chocolate
2
30.308,00
13
chocolate and cocoa products
514
86.642.747,00
14
gelatin, rennet, pudding mixes
1
7.728,00
15
mult food dinners
2
3.668,00
16
Soups
4
752,00
17
misc food related items
5
9.616,00
TOTAL
763
100.020.797,00
Namun demikian meskipun perdagangan bebas membawa sejumlah ancaman bagi kelangsungan pertanian di Indonesia, seperti memungkinkannya produk pertanian Indonesia tidak menjadi tuan rumah di pasarnya sendiri, tetapi karena sudah menjadi "hardfact", maka kenyataan baru tersebut harus dianggap sebagai peluang. Oleh karena itu orientasi pada penguatan daya saing sudah menjadi tuntutan. Penguatan daya saing dapat dilakukan dengan pemenuhan standar mutu internasional serta standar lainnya yang berkaitan dengan lingkungan dan kesehatan. Semua itu membutuhkan penguasaan teknologi serta kesadaran terhadap tuntutan konsumen.
Transformasi Ke Arah Pertanian Industrial: Mencari Model Pembangunan Pertanian Era Industrialisasi dan Perdagangan Bebas
Tantangan industrialisasi dan perdagangan bebas membutuhkan corak pertanian yang efisien, produktif, dan berdaya saing. Corak pertanian yang demikian adalah padat teknologi dan berorientasi pasar. Pertanian seperti ini tidak lain merupakan pertanian yang berbudaya industri. Sehingga, proses transformasi struktural melalui industrialisasi tidak saja akan ditujukan pada meningkatnya pangsa industri pada perekonomian nasional, tetapi juga pada meningkatnya budaya industrial dalam kehidupan perekonomian untuk semua sektor, termasuk sektor pertanian. Sehingga, pertanian dan industri tidak lagi sebagai dikotomi sektor tradisional-modern, tetapi lebih merupakan perbedaan occupational status saja bagi masyarakat. Hal ini karena keduanya telah industrialized yang dicirikan dengan karakteristik budaya kerjanya yang sama. Proses transformasi ke arah masyarakat industrial tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 dengan berbagai pencirinya.
Yang menjadi pertanyaan, model pertanian industrial yang bagaimana yang akan dikembangkan di Indonesia; apakah akan tercipta masyarakat pertanian yang rasional-total sebagaimana yang diharapkan model Barat? Pertanian industrial sudah merupakan tuntutan untuk dikembangkan, karena dengan corak pertanian yang sekarang ini masih dominan  yakni corak pertanian post-traditional   tampaknya sulit bagi pertanian Indonesia untuk mengejar ketertinggalan dari pertanian negara lain yang lebih maju. Model transformasi ke arah pertanian industrial tidak mungkin dilakukan dengan model revolusioner yang akan merubah total tatanan tradisional dalam organisasi pertanian. Dan, proses transformasi yang lebih tepat adalah model evolusi yang dipercepat (accelerated evolution) dengan laju pergerakan yang dipercepat melalui penerapan teknologi baru disertai penyiapan masyarakat untuk menggunakan teknologi tersebut.
Namun accelerated evolution tersebut tidak semata-mata berupa inovasi teknologi atau variabel lain yang bersifat material, tetapi juga variabel non-material, khususnya sikap mental dan budaya. Rasionalitas atau modernitas sikap petani dibangun dari indegenous budaya yang sebenarnya potensial untuk menjadi budaya "modern" yang cocok dalam iklim industrial. Oleh karena itu pemahaman terhadap produk budaya lokal tersebut sangat penting artinya dalam kontekstualisasi nilai budaya lokal tersebut. Dalam kerangka accelerated evolution ini, catatan penting adalah bukan berarti pembangunan pertanian tersebut serba anti Barat dan secara total berasal dari dalam. Akan tetapi, justru yang terpenting adalah bagaimana mensintesis produk indegenous budaya dan struktur sosial lokal-tradisional tersebut dengan produk rasionalitas Barat.

Arah Transformasi
Gambar2.
Arah Transformasi Dari Budaya Ekonomi Pertanian Traditional ke Budaya Ekonomi Pasar dan Faktor Pencirinya
Pertanian Traditional

Penciri

Pertanian Modern
     Lokal
     subsistensi
     sederhana
     karbohidrat
     unskilled labour
     keluarga (askripsi)
     labor intensive
     kredit informal
     safety first
     musiman
     personal/komunal
     mekanik
     feodalistik/sentralistik
     asimetris (ekstrem)
     longgar/lemah
     rendah
     Kaitan Pasar
     orientasi ekonomi
     teknologi
     sumber energi utama
     tenaga kerja
     manajemen
     penggerak ekonomi
     sumber kapital
     spirit usaha
     ciri produk pertanian
     pola hubungan sosial
     tipe solidaritas
     sistem politik
     interdependensi
     kompetisi
     ketegangan sosial
     Global
     komersial
     tinggi
     fosil dan nuklir
     skilled labor
     professional achievement
     capital intensive
     kredit formal
     achievement motivation
     mutu baku
     impersonal/kontrak
     organik
     demokratik/desentralistik
     asimetris (moderat)
     kuat
     tinggi
Sumber:Pranadji (1995)

Hal tersebut adalah memungkinkan bila melihat pengalaman Jepang dalam pembangunan ekonominya. Jepang telah mampu mensintesis kerangka struktur sosial dan kultur tradisional dari warisan Restorasi Meiji dengan produk kemajuan Barat. Sehingga, kemajuan yang dicapai tidak bersifat trade-off bagi budaya lokal yang masih kental di kalangan petani tersebut. Dalam pandangan Naisbitt, inilah yang tergolong pembangunan dengan "cara Asia" (Asia ways). Pembangunan "cara Asia" telah menjadi alternatif sebagai model pembangunan di negara-negara Asia, dan siap bersanding dengan paham mainstream economy. Harus diakui bahwa arus utama pembangunan ekonomi dunia telah didominasi paham mainstream economy, yang menekankan rasionalitas total dalam setiap aktivitas ekonomi, termasuk pertanian. Paham inilah yang seringkali diinjeksikan dalam kebijaksanaan pembangunan pertanian di negara berkembang sehingga seringkali gagal diterapkan di lapangan.[13]
Bagi Indonesia, pembangunan sebagaimana "cara Asia" itu telah dikembangkan dalam dunia pertanian dan pedesaan. Misalnya, pengalaman dalam pengembangan program Inpres, IDT, serta Pembangunan Pedesaan lainnya, yang mangasumsikan kepercayaan terhadap kaum miskin bahwa mereka mampu mengorganisasi diri dalam pembangunan. Meskipun secara material miskin, tetapi tidak dalam mental-spiritual. Program-program seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu penjelas sukses Indonesia mengurangi jumlah orang miskin dari 60% tahun 1970 menjadi 13,7% tahun 1993. Dan, kenyataan seperti ini sulit diterima oleh teori-teori ekonomi mainstream pada umumnya.[14]
Pembangunan pertanian dengan model yang demikian perlu dikembangkan lebih jauh dengan muatan-muatan kesadaran akan internasionalisasi pertanian yang menuntut ciri-ciri pertanian modern sebagaimana Gambar 2 di atas. Jika model pembangunan pertanian "cara Indonesia" itu telah dikembangkan pada PJP I  dimana perekonomian masih bersifat inward looking, maka pada PJP II ini menjadi agenda penting untuk merumuskan model pembangunan pertanian "cara Indonesia" dalam iklim perekonomian yang outward looking. Inilah tantangan bagi kalangan intelektual untuk dapat merumuskan secara sistematis model pertanian yang antisipatif terhadap industrialisasi dan perdagangan bebas ala Indonesia. Rumusan model ini penting bagi efektivitas kebijaksanaan pembangunan pertanian mendatang.
Kesimpulan
Tantangan pertanian di era industrialisasi dan perdagangan bebas menuntut penguatan pertanian melalui model-model baru. Model pembangunan pertanian dengan paradigma modernisasi yang secara praksis terlihat melalui revolusi hijau ternyata hanya mampu mendongkrak tingkat produksi. Sementara kesenjangan sosial ekonomi di pedesaan masih tampak besar. Paradigma pertanian industrial yang dikembangkan dengan secara jeli mempertimbangkan aspek budaya dan struktur sosial dapat menjadi alternatif bagi model pertanian masa depan.
Paradigma pertanian industrial berusaha mengesankan pertanian sebagai "unit-industri" yang jauh dari kesan gurem. Masalah citra inilah yang seringkali besar pengaruhnya bagi perhatian pengambil kebijakan nasional. Citra pertanian yang hanya seolah padi-sawah yang gurem seringkali membuat pengambil kebijakan dan masyarakat luas menjadi pesimis terhadap prospek pertanian. Padahal, negara-negara maju pun dapat mencapai tingkat ekonomi yang tinggi karena citra pertanian yang terkesan "industrial" serta kekuatan pertaniannya secara riil.
Dalam menemukan model-model baru tersebut maka diperlukan pendekatan yang bersifat heterodoks yang tidak apriori terhadap teori-teori besar manapun serta tidak fanatik terhadap satu mazhab teori tertentu. Teori modernisasi sebagai turunan paham liberal maupun teori radikal dan turunannya (marxis dan neo marxis) ternyata hanya bisa menjelaskan fenomena negara berkembang kasus per kasus, dan belum mampu menjelaskannya dalam suatu generalisasi yang komprehensif. Karena itulah, menjadi "pekerjaan rumah " bagi ilmuwan Indonesia untuk secara teoritik menemukan model pembangunan  dimana pertanian termasuk didalamnya  yang "ala Indonesia".



[1] B. Amang, Prospektif Persoalan Pangan Dunia Memasuki Abad Ke 21 dan Kesiapan Indonesia untuk Kemandirian Pangan (Makalah disampaikan pada Seminar dan Musyawarah Keluarga KAHMI Bogor, November 1996)
[2] A., Budiman, Negara dan Pembangunan : Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan, (Jakarta: Yayasan Padi dan Kapas, 1991), hlm. 6-8
[3] Saragih, B. (1995). Peran Agribisnis dalam Pertanian Abad 21. (Orasi Ilmiah Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Bogor, Desember 1995).

[4] Tom Hewitt, et.al. (ed.), Industriaization and Development, (Oxford: The Open University, 1992), hlm. 137-8

[5] F. Basri, Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996), hlm. 12-14
[6] M.L., Jinghan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 3-5
[7] Bedu Amang, Prospektif., hlm. 6-7
[8] Bunasor, dan , A. Satria, Agribusiness and Agroindustry Approach in Supporting Sustainable in Regional Development in Transmigration Settlements in Indonesia, (Makalah disampaikan pada International Seminar on Population Resettlement for Poverty Alleviation oleh Departemen Transmigrasi dan PPH, Desember 1995 di Jakarta)
[9] Arif Budiman, Negara., hlm. 35-7
[10] Bunasor, dan , A. Satria, Agribusiness.,
[11] Wirakartakusumah, M. A. (1996). Pembangunan Pertanian Tangguh dalam Era Globalisasi, Perdagangan Bebas, dan Industrialisasi Dilihat Dari Segi Tantangan dan Peluang Agribisnis Pangan (Makalah disampaikan pada Seminar dan Musyawarah Keluarga KAHMI Bogor, November 1996)
[12] Ibid.,
[13] J., Naisbitt, Megatrends ASIA, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 12-5
[14] D. S., Damanhuri, Ekonomi Politik Alternatif: Agenda Reformasi Abad 21, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 23-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar