BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perkembangan paradigma dunia usaha dewasa ini tidak
dapat dipisahkan dengan lingkungan
eksternalnya, sehingga hal ini menjadi pusat perhatian dan pengkajian dari
berbagai kalangan, akademisi, praktisi, regulator serta Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) sejak beberapa dasawarsa. Hal tersebut merupakan dampak dari
perkembangan dinamika sosial pada tingkat nasional maupun global. Dinamika
sosial tersebut adalah semakin meningkatnya kesadaran dan tuntutan masyarakat terhadap hak asasi manusia (HAM), keadilan,
kesetaraan sosial, lingkungan hidup dan pemberdayaan (empowering) masyarakat terhadap informasi dan transparansi atas aktifitas suatu
perusahaan.
Terkait dengan hal tersebut, dalam dunia usaha muncul berbagai diskursus tentang pengelolaan
bisnis itu sendiri, utamanya berkaitan dengan tanggung jawab yang harus diemban
oleh perusahaan. Salah satu wacana yang mengemuka adalah lahirnya terminologi
tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate
Social Responsibility) selanjutnya disingkat CSR sejalan dengan bergulirnya
wacana tentang kepedulian
lingkungan serta pembangunan berkelanjutan (sustainabele
development).[1]
Secara terminologis CSR
belum memiliki pengertian tunggal
yang dapat di generalisir, masih terdapatnya perbedaan pendapat tentang
pengertian maupun konsepnya oleh para ahli. Menurut Dougherty (2003)[2],
tanggung jawab sosial merupakan perkembangan proses untuk mengevaluasi stakeholders dan tuntutan lingkungan
serta implementasi program-program untuk menangani isu-isu sosial. Tanggung
jawab sosial itu berkaitan dengan kode-kode etik, sumbangan perusahaan
program-program community relations
dan tindakan mematuhi hukum.
Bila
dikritisi rumusan CSR di atas, Organisasi bisnis dipandang dari dua sisi, yaitu
sebagai lembaga yang mencari keuntungan atau lembaga ekonomi, organisasi bisnis
dipandang juga sebagai lembaga sosial dan lingkungan karena memikul beban
tanggung jawab sosial bagi masyarakat. Dalam hal ini, organisasi dituntut untuk
menjalankan kedua peran tersebut, yaitu tanggung jawab ekonomi dan tanggung
jawab sosial. Pengertian tersebut menekankan bahwa CSR sebagai komitmen bisnis
untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja sama
dengan karyawan, keluarga karyawan dan masyarakat setempat (lokal) dalam rangka
meningkatkan kualitas kehidupan.
Pada tataran global, Sedikitnya terdapat tiga
argumentasi umum yang mendasari tekanan terhadap perusahaan untuk melaksanakan
peran sosial dan lingkungan oleh masyarakat dunia. Pertama, pengaruh destruktif
dari sektor industri di seluruh dunia. Kedua, kesadaran masyarakat global akan
daya dukung lingkungan semakin menurun dan ketiga, tekanan
organisasi-organisasi global terhadap organisasi bisnis untuk lebih
memperhatikan aspek-aspek lingkungan.[3]
Dominasi perusahaan multinasional pada tataran global
yang semakin kuat bahkan mengalahkan kekuatan negara. Catatan Anderson et.all[4]
dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa besarnya nilai penjualan 200
perusahaan-perusahaan tersebut jauh lebih besar dibandingkan kekayaan 182
negara di dunia dan melebihi sepertiga aktivitas perekonomian dunia, mereka
mengontrol 27,5 % GDP dunia dengan nilai penjualannya sendiri mencapai lebih
dari 18 kali pendapatan 1,2 miliar
penduduk di dunia. Ke-200 perusahaan ini mempekerjakan lebih dari 1,8 juta
karyawan dan sepertiga dari transaksi perdagangan dunia merupakan transaksi di
antara unit-unit usaha perusahaan raksasa itu sendiri. Sehingga
perusahaan-perusahaan tersebut dapat memetakan arah perkembangan pertumbuhan
pembangunan sejalan dengan apa yang mereka inginkan.
David C. Korten dalam bukunya “The Post Corporate World” menggambarkan bahwa dunia usaha selama
setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi
institusi paling berkuasa di atas planet ini. Oleh sebab itu, Korten menegaskan
bahwa dalam konteks masyarakat modern, setiap institusi yang dominan sudah seyogyanya mengambil
“tanggung jawab” untuk kepentingan bersama. Sehingga tidak satupun pihak yang
dirugikan atas sikap dan keputusan yang diambil oleh suatu perusahaan.[5]
Kesadaran masyarakat dunia atas daya dukung (capacity) planet ini yang semakin
menurun, apabila terus dieksplorasi dan dieksploitasi tanpa memperhatikan
kelestariannya. Mengingat kondisi tersebut, dibutuhkan regulasi dalam berbagai
bentuk untuk mengiring prilaku perusahaan
dalam bersikap dan bertindak
berlandaskan pada etika dan moralitas sehingga mampu mewujudkan konsep
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development).
Menurut pandangan manajemen klasik, perusahaan sebagai
entitas ekonomi merupakan organisasi bisnis yang tujuan utamanya adalah
mengejar keuntungan (profit).
Orientasi ini, menyebabkan upaya untuk
meraih sebanyak-banyaknya skoup dalam produksi dan pemasaran. Mereka
berupaya untuk mendapatkan suplai bahan baku
produksi sebanyak-banyaknya dan berusaha merebut pasar seluas-luasnya untuk
memasarkan hasil produksinya, sementera sumber daya yang diperebutkan, baik
dari segi jumlah maupun daya dukungnya terbatas. Kompetisi tersebut memaksa
perusahaan terutama perusahaan multinasional (Multinational Corporations MNCs) untuk mencari pasar baru
(ekspansi), melintasi batas-batas negara untuk memasarkan produk atau mencari
bahan baku bagi
produksi mereka di belahan dunia lain.
Ekspansi
tersebut mengalami perkembangan pesat sebagai konsekuansi dari kondisi-kondisi
investasi yang kian menunjang di berbagai negara yang sedang berkembang. Juga
merupakan akibat dari transformasi struktural industri internasional dan
perbaikan kondisi-kondisi pembiayaan. Sejalan dengan menguatnya rezim
Neoliberalisme berlandaskan prinsip-prinsip perdagangan barang dan jasa secara
bebas, sirkulasi modal serta kebebasan investasi mendorong perusahaan melakukan
perluasan di berbagai negara.[6]
Dalam operasionalisasi ekspansi pasar dan sumber daya
oleh MNCs tersebut disamping efek positifnya di atas juga memiliki dampak yang
negatif. Dengan kata lain, Peningkatan kuantitas, keragaman produksi dan
Lingkup operasionalisasi perusahaan yang semakin luas tersebut, memiliki aspek
yang bersifat destruktif yang pengaruhnya dapat dirasakan secara global, baik
lingkungan, berupa hilangnya bentang alam, kerusakan ekologi akibat tercemarnya
lingkungan dengan limbah industri yang memiliki unsur-unsur kimia yang
berbahaya bagi mahluk hidup, perubahan iklim global yang dikenal dengan efek rumah
kaca (Green House Ghases, GHGs),
merubah ikatan-katan tradisional masyarakat, maupun budaya. Hal tersebut
disebabkan dalam proses produksi perusahaan-perusahaan tersebut berhubungan
langsung dengan eksploitasi terhadap lingkungan yang juga merupakan tempat
suatu tatanan sosial berada.
Semakin meningkatnya kesadaran akan pengaruh
perusahaan dan dampak destruktif tersebut bagi masyarakat global menjadikan
alasan yang paling rasional dicarinya
alternatif-alternatif tata kelola perusahaan yang baik, bertanggung jawab dan
berlandaskan prinsip etis dalam bisnis oleh berbagai kalangan, termasuk
organisasi-organisasi perusahaan itu sendiri. Kesadaran dari berbagai elemen
tersebut merupakan cikal bakal terjadinya pergeseran paradigma dalam
menjalankan perusahaan dari yang mementingkan kepentingan shereholders ke arah paradigma yang mementingkan “the
order constituent” atau stakeholders.
Seperti New York
Stock Exchange, sejak tahun 1999 telah membentuk Dow Jones Sustainability (DJSI) yang mencakup lebih dari 200
perusahaan dari 68 industri di 22 negara dengan jumlah kapitalisasi pasar 4,3
trilyun dolar AS pada tahun 1999 dengan
tugas untuk mengevaluasi aneka saham-saham perusahaan yang dikategorikan
telah mengimplementasikan CSR dalam aktifitas usahanya. Dalam perkembangan
implementasinya berdampak positif terhadap nilai saham perusahaan yang dianggap baik dalam menerapkan prinsip tersebut pada
aktifitas usahanya.[7]
Tekanan dari organisasi-organisasi pada tingkat global
agar kelestarian lingkungan, pemberantasan kemiskinan, serta upaya meningkatkan
kualitas hidup masyarakat dunia dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang
mendorong berbagai elemen untuk ikut berperan serta, termasuk sektor swasta
dalam hal ini adalah pelaku bisnis. Hal tersebut dapat kita lihat pada komitmen
dari beberapa kali Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang membahas tentang
lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan dan perubahan iklim. Semua
pembahasan tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dan merupakan latar
“tanggung jawab sosial” suatu perusahaan. Konferensi lingkungan hidup di
Stockholm, Swedia pada tahun 1972 yang membentuk badan khusus PBB untuk masalah
lingkungan yaitu United Nations
Environmental Programme (UNEP) yang bermarkas di Nairobi, Kenya. PBB juga
membentuk World Commission on
Environmental and Development (WCED) atas kesadaran akan kerusakan
lingkungan sebagai dampak dari pelaksanaan pembangunan selama ini. Pada tahun 1987 komisi ini
menerbitkan laporannya “Our Common Future”
dengan tema pembangunan berkelanjutan. Dalam laporan tersebut pembangunan
berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu upaya yang mendorong tercapainya kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa
mengorbankan aspek lingkungan dan sosial.[8]
Sejumlah inisiatif tentang implementasi CSR juga
diusulkan oleh organisasi internasional independen seperti Global Reporting Initiative (GRI), International Standard
Organization (ISO) sebagai induk organisasi standarisasi internasional yang
menggagas panduan dan standarisasi CSR dengan nama ISO 26.000; Guidance standard on social responsibility,
lembaga pemerintah seperti Organisation
for Economic Cooperations and Development (OECD)
Dari aspek orientasi perusahaan, terdapat tiga perspektif yang mendorong organisasi
bisnis untuk menjalankan aktifitas kepedulian sosialnya yaitu[9]
: Pertama, kapital reputasi, dalam
pandangan ini perusahaan memandang penting membangun reputasi untuk memperoleh
dan mempertahankan pasar. Dengan demikian CSR pada dasarnya dipandang sebagai
suatu strategi bisnis yang bertujuan untuk meminimalkan resiko dan
memaksimalkan keuntungan dengan menjaga kepercayaan pada stakeholders; kedua, ekososial, Pandangan ini memandang bahwa stabilitas dan
keberlanjutan sosial dan lingkungan merupakan dua hal penting untuk
keberlanjutan pasar dalam jangka panjang. Dengan demikian CSR dipandang sebagai
sebuah nilai dan strategi usaha untuk menjaga keberlanjutan bisnis. Disebut nilai
karena pandangan ini menekankan pada kenyataan bahwa bisnis dan pasar pada
hakikatnya dimaksudkan untuk kesejahteraan masyarakat. Disebut strategi karena
dengan cara pandang tersebut dapat membantu mengurangi ketegangan sosial dan
membantu memfasilitasi pasar; dan yang ketiga; Hak-hak pihak lain. Disini
perusahaan memandang konsumen, para pekerja, komunitas dan lingkungan yang
terpengaruh kegiatan bisnisnya serta pemegang saham yang memiliki hak untuk
mengetahui tentang korporat dan bisnisnya merupakan hak mendasar yang
dimilikinya. Disebut demikian karena pada satu sisi perusahaan merupakan
institusi bisnis dan pada sisi yang lain kelangsungan perusahaan bergantung
pada konsumen serta stakeholder lainnya. Pandangan ini menekankan pada
akuntabilitas, transparansi, serta investasi sosial dan lingkungan.
Terkait dengan objek kajian penelitian ini yaitu PT.
Aneka Tambang, Ltd. (ANTAM) yang merupakan Perusahaan yang bergerak pada bidang
pengolahan sumber daya alam (resources),
khususnya di bidang pertambangan, penulis berharap dapat mengungkapkan serta
mengkaji secara teoritis konsep CSR yang teraplikasi dalam tata kelola
perusahaan tersebut sebagai penerapan atas regulasi pemerintah yang tertuang
pada Pasal 74, Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) No. 40 Tahun 2007. Perusahaan ini sendiri, mengolah
komoditas bahan tambang antara lain emas, besi, bauksit dan nikel yang
berlokasi di Jakarta
serta memiliki anak cabang perusahaan yang berada pada beberapa tempat di Indonesia.
Perusahaan pertambangan sebagai institusi ekonomi juga
memiliki dimensi sebagai institusi sosial dalam arti memiliki interdependensi
dengan lingkungan dan masyarakat. Hubungan ini mempunyai konsekwensi yang
menyebabkan adanya keterkaitan kepentingan antara keduanya. Setiap keputusan
bisnis memiliki implikasi terhadap sosial, sebaliknya aspek sosial juga akan
mempengaruhi strategi serta langkah-langkah perusahaan dalam mendapatkan keuntungan
secara ekonomi.
Mantra (1995) menyebutkan, Masuknya industri di suatu
wilayah dengan sendirinya akan menyebabkan perubahan fisik, ekonomi dan sosial
pada wilayah sekitar. Secara spasial adanya kegiatan industri akan mengakibatkan
perubahan tata guna lahan, lahan yang semula berupa lahan pertanian berubah
menjadi kawasan industri, perumahan perdagangan dan untuk kegiatan lainnya[10].
Sifat eksploitatif yang menjadi ciri perusahaan
pertambangan, secara langsung berhubungan dengan lingkungan maupun masyarakat,
bencana alam, rusaknya komposisi air, tanah, udara hingga hancurnya bentang
alam menjadi hal yang biasa terjadi di kawasan pertambangan, terlebih lagi di
lokasi pertambangan yang tidak mendapatkan perlakuan pemulihan yang layak pasca
kegiatan pertambangan (reklamasi). Perselisihan antara masyarakat dengan PT.
Lapindo Brantas di Siduarjo yang hampir menenggelamkan sekitar 80% daerah
kecamatan siduarjo sampai sekarang yang menyebabkan penderitaan bagi masyarakat
baik fisik maupun non fisik. Demikian juga kasus PT. Newmont di Sulawesi Utara,
PT. Freeport di Papua, dan sebagainya. Pangkal dari persoalan tersebut adalah
karena perusahaan kurang atau tidak memenuhi kewajiban sosialnya, khususnya
untuk menjaga keseimbangan lingkungan yang muaranya tidak hanya pada kerugian
sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat sekitar perusahaan berada tapi
juga terhadap perusahaan. Dapat kita katakan bahwa, ketika tanggung jawab
sosial tidak diimplementasikan dengan baik, kelangsungan hidup perusahaan juga
justru terancam.[11]
Prinsip tanggung jawab sosial perusahaan dalam
aplikasinya tidak hanya berwujud parsial berupa derma, pilalantropy serta
sumbangan perusahaan yang bersifat momentum, ataupun hanya tindakan perusahaan yang
bersifat formalitas untuk memenuhi kewajiban sebagai subjek hukum akan tetapi
adalah suatu kebijakan yang komprehensif dari perusahaan untuk ikut berperan
serta dalam pembangunan, pemberdayaan serta peningkatan kualitas hidup
masyarakat dan lingkungan. Disebut kebijakan, karena prinsip ini merupakan
langkah terstruktur yang diambil oleh perusahaan, dimulai dari perencanaan,
pelaksanaan serta pelaporan dan evaluasi yang menyeluruh dengan berlandaskan
pada asas transparansi dan akuntabilitas agar sesuai dengan tujuan kebijakan
itu sendiri.
Agar kebijakan perusahaan tersebut sesuai dengan
tujuan perusahaan dan selaras dengan pembangunan masyarakat, dibutuhkan
keterlibatan berbagai pihak terutama pihak-pihak yang terkait secara langsung
dengan pelaksanaan kebijakan tersebut, yaitu komunity dalam fungsinya sebagai “sosial
kontrol” dan pemerintah sebagai regulator. Peran pemerintah dalam hal ini
meliputi regulasi yang dapat membingkai pelaksanaannya program ini berupa
aturan-aturan yang mendukung terlaksananya program tersebut, insentif serta
perangkat yang dapat menunjang pelaksanaan CSR yang dapa mengarahkannya pada
pemberdayaan dan kemandirian.
Undang-Undang No. 23 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup telah mengatur secara normatif ketentuan tentang kepedulian
organisasi bisnis terhadap lingkungan. Ketentuan lain yang mengatur prinsip ini
secara sektoral juga terdapat dalam Surat Keputusan Menteri Badan Usaha Milik
Negara KEP. 236/MBU 2003 Tentang Program kemitraan dengan BUMN dengan usaha
kecil dan Program Bina Lingkungan. Dalam ketentuan normatif tersebut penekanan
pelaksanaan CSR dilaksanakan berdasarkan tiga asas, yaitu, asas tanggung jawab
negara, asas keberlanjutan dan asas manfaat. Undang-Undang Pertambangan
mengatur tentang Community Development
serta Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang respon
perusahaan terhadap lingkungan sosial dan lingkungan serta bentuk perlindungan
hukum terhadap konsumen yang merupakan stakeholder perusahaan.
Adanya ketentuan CSR pada Pasal 74 Undang-Undang No.
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas merupakan langkah konstruktif
pemerintah dalam upaya penyatuan legal
basic pelaksanaan CSR dalam Undang-undang yang merupakan Lex Specialis dari KUHD yang mengatur
tentang badan hukum. Eksistensi CSR
dalam Undang-undang ini menekankan asas kepastian hukum dan kemanfaatan tanpa
meninggalkan aspek dinamika masyarakat.
Pada ayat 2 Pasal 74 UUPT No. 40 tahun 2007
menyebutkan bahwa CSR merupakan kewajiban yang “dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya perseroan berdasarkan kepatutan dan kewajaran”. Dalam kalimat
tersebut mengandung makna bahwa dalam aplikasinya, CSR dilaksanakan berdasarkan
asas akuntabilitas, itikad baik serta asas kemanfaatan.
Pengaturan CSR dalam UUPT diharapkan menjadi
simpul yang menghubungkan peran perusahaan sebagai subjek hukum untuk
melaksanakan tanggung jawab sosialnya pada satu sisi dan pada sisi yang lain
pemerintah sebagai regulator untuk menciptakan perangkat hukum dan kelembagaan
yang tidak hanya mewajibkan tetapi juga merangsang pelaksanaan CSR oleh
perusahaan berupa insentif, reward, dan penilaian serta peningkatan pelaksanaan
hukum yang konsekwen dan terpadu.
1.2.Perumusan masalah
Berdasarkan uraian yang bersifat umum pada latar
belakang masalah tersebut diatas, penulis dapat merumuskan dua permasalahan
pokok yaitu:
1. Bagaimana
konsep yuridis dan ruang lingkup pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)
pada perusahaan pertambangan PT. ANTAM Ltd.?
2.
Bagaimana bentuk program yang berkaitan dengan tanggung
jawab sosial (CSR) perusahaan pertambangan PT. ANTAM, Tbk. terkait dengan
pelaksanaan pasal 73, Undang-Undang Perseroan Terbatas No.40 Tahun 2007?
1.3. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran kepustakaan yang
dilakukan, diketahui bahwa terdapat beberapa penelitian yang membahas dan mempermasalahankan CSR dan aplikasinya
pada perusahaan, antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Marc Orlitzky, at all[12].
yang menganalisis hubungan antara Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dengan
performa keuangan perusahaan (Corporate Social Performance ; CSP).
Penelitian yang menggunakan pendekatan kwantitative research tersebut
menganalisa dan menguji 52 penelitian-penelitian sebelumnya yang mengkaji topik
yang sama dan menggunakan total sampel sebanyak 33.878 dari berbagai perusahaan
yang menjalankan CSR pada beberapa negara yakni, Amerika, Australia dan Inggris
tersebut menemukan adanya hubungan positif antara penerapan CSR dan CSP
yang menjadi variabelnya. Dengan kata lain,
Komitmen perusahaan dalam menerapkan prinsip “bertanggung jawab” dalam
menjalankan bisnis dalam jangka panjang dapat mendongkrak secara signifikan
nilai perusahaan dimata “stakeholders” yang pada gilirannya dapat meningkatkan
performa keuangan perusahaan tersebut.
Penelitian lain, oleh Margarita Tsotsoura
yang mengukur hubungan antara pelaksanaan CSR dan profitabilitas perusahaan.
Subjek penelitiannya meliputi 422 perusahaan, yaitu perusahaan pertambangan, konstruksi,
penyulingan, dan jasa keuangan tersebut menyimpulkan adanya korelasi positif
antara performa keuangan dan aplikasi prinsip tanggung jawab sosial oleh
perusahaan. Praktek bisnis yang melaksanakan prinsip CSR, disatu sisi dapat
meningkatkan performa keuangan perusahaan dan sebaliknya sebuah perusahaan yang
memiliki performa keuangan yang baik dapat memiliki sumber daya yang cukup
untuk berpartisipasi secara sosial baik dalam lingkungan internal perusahaannya
misalnya berupa, kebijakan perburuhan, standar penghasilan, penerapan standar
keselamatan kerja serta asuransi karyawan, juga secara eksternal yakni mengenai
kepedulian lingkungan, masyarakat, pendidikan, HAM dan sebagainya[13].
Johan J. Graafland dan H. Smid memberikan
fokus penelitiannya pada peran pemerintah dalam mengatur reputation mechanisms oleh perusahaan
dalam hubungannya dengan pelaksanaan tanggung jawab sosial. Kongklusi yang
diambil dari penelitiannya adalah,
pentingnya penguatan dari pemerintah berupa regulasi yang dapat membingkai
pelaksanaan mekanisme reputasi oleh perusahaan, karena mekanisme reputasi dapat
berjalan efektif bergantung pada beberapa faktor, berfungsinya organisasi non
pemerintah (NGOs) transparansi dari pelaku bisnis, kebijakan perburuhan,
konsumen dan kebijakan investasi yang merupakan defiasi dari penerapan
mekanisme reputasi oleh perusahaan sehingga peran regulasi sangat menentukan,
oleh karena itu, pelaksanaan CSR yang menekankan pada aspek transparansi
dinilai sebagai suatu cara yang efektif untuk meningkatkan keuntungan yang
reputasional, meningkatkan pemasaran dan pencapaian keuntungan[14].
Dari beberapa penelitian yang ditelusuri
di atas penulis menyimpulkan secara umum oleh beberapa peneliti yang
membahas objek kajian tentang CSR lebih diarahkan penekanannya pada aspek
pemasaran (marketing), akuntansi
perusahaan serta pelaksanaan Good
Corporate Governance (GCG), serta belum ada yang secara spesifik
kajiannya membahas konsepsi yuridis serta penerapan tanggung jawab sosial pada
perusahaan pertambangan, yang pada penelitian ini penulis jadikan sebagai objek yaitu PT. Aneka
Tambang Persero, Tbk. yang mengelola emas-perak pada beberapa tempat di Indonesia.
Adapun penelitian yang terkait dengan pembahasan Corporate Social Responsibility (CSR) yang ingin penulis analisis
dalam penelitian ini yakni aspek yuridis penerapan CSR pada perusahaan
pertambangan pasca diregulasikannya
Undang-undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang di dalamnya
termuat pembahasan tentang prinsip tersebut. Sepanjang pengetahuan penulis belum
ada satu karya tulis atau penelitian yang berkaitan dengan topik dan
permasalahan yang dipublikasikan orang lain, terkecuali dari penelitian ini
dijadikan dasar acuan dan referensi yang secara langsung disebutkan dalam
penelusuran masalah dalam penelitian ini.
1.4. Kegunaan penelitian
Adapun
kegunaan yang penulis harapkan atas penelitian ini yaitu :
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan
dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan ilmu hukum/hukum dagang (Code De Commerce Atau Handelrecht) dan hukum Perusahaan,
serta lebih khusus lagi pada aspek yuridis pelaksanaan CSR pada perusahaan.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini
diharapkan menjadi masukan bagi kalangan akademisi agar menjadi salah satu
rujukan sekurang-kurangnya dapat dijadikan landasan pengkajian yang lebih luas,
bagi dunia usaha dan pemerintah, khususnya pengusaha besar dan pemerintah
daerah yang sementara memikirkan langkah-langkah dalam mengaplikasikan program
tanggung jawab sosial perusahaan agar program ini dapat terealisasi dan tepat
guna bagi pembangunan masyarakat seiring
dengan keberlanjutan pembangunan ekonomi masyarakat.
1.5. Tujuan Penelitian
- Untuk mengetahui konsep yuridis dan ruang lingkup pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pertambangan utamanya oleh PT. ANTAM, Tbk.
- Untuk mengetahui bentuk program pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) oleh perusahaan PT. ANTAM Tbk. terkait dengan UUPT No. 40 tahun 2007
[1] Wacana
tentang kepedulian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan tidak dibahas
secara luas karna pembahasan tentang CSR ini telah mencakup kedua isu tersebut
[2]
Dougherty dalam Iriantara, yosal. Op.cit
[3] Isa Wahyudi, 2008, Corporate Social Responsibility; Prinsip pengaturan dan implementasi,
In-Trans Publishing, Malang,
hal. 117
[4] Anderson
dalam Isa Wahyudi, op.cit
[5] David C.
Korten, 2002, The Post Corporate World :
Life After Capitalism, Terj., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Hal : 2-10.
[6] Dirdjosisworo, Soedjono, Prof. Dr., 2004, Kaidah-kaidah Hukum Perdagangan International
(Perdagangan multilateral) versi World Trade Organization (WTO), CV. Utomo,
Bandung, hal.
1-25.
[7] Prayogo, 2007, Majalah Bisnis & CSR;
Reference for Decision Maker, Latofi Interprise, Jaakarta, hal; 108
[8]
Wibisono, Yusuf.2007. Membedah konsep CSR;
Seri Menejemen Berkelanjutan. CV. Ashkaf Media Grafika Surabaya. Hal 23-25
[9]Samuel John & Saari, 2001, Corporate Social Responsibility ; backround
and perspective, http// www.infochangeindia.org,
diakses 7 Januari 2008
[10] Mantra,
I.B., 1995, Dampak Sosial Budaya : Kursus Dasar-Dasar dan Penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan, Kerjasama Bapedal Pusat, UGM dan Pusdiklat
Deptan, Yogyakarta.
[11]
Wibisono, Yusuf.2007. Membedah konsep CSR;
Seri Menejemen Berkelanjutan. CV. Ashkaf Media Grafika Surabaya. Hal 47-65
[12] Marc Orlitzky, at. all, 2003, Corporate
Social and Financial Performance; a
Meta-Analysis, SAGE Publications, London.
[13]Tsoutsoura,
Margarita, (2004), Corporate Social
Responsibility And Financial Performance, University of california,
Berkeley.
[14]Graafland, J.J. & H.
Smid, 2004, Reputation, Corporate Social
Responsibility and Market Regulation, Tijdschrift
voor Economie en Management,Vol. XLIX, 2 Universiteit van Tilburg, Nederland.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar