BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga
itu selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari
perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Dari kehidupan
suami istri di dalam suatu ikatan perkawinan tersebut akan berakibat penting
dalam masyarakat yaitu apabila mereka dianugerahi keturunan, dengan
keturunannya mereka bisa membentuk suatu keluarga sendiri.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan
keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan
tanggung jawab, si istri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psykologis
yang berat yaitu kehamilan dan melahirkan yang membutuhkan pengorbanan.
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
banyak disinggung perihal masalahkekeluargaan yang berhubungan erat dengan
suatu dasar perkawinan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1, bahwa
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari bunyi Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut di atas, tersimpul suatu rumusan arti
dan tujuan dariperkawinan. Arti “Perkawinan” dimaksud adalah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan
“tujuan” perkawinan dimaksud adalah : membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kehadiran seorang anak merupakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seorang
ibu maupun keluarganya karena anak merupakan buah perkawinan dan sebagai
landasan keturunan. Anak sebagai fitrah Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapatkan
perawatan sebaik-baiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa yang akan meneruskan
cita-cita bangsa yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Setiap
anak dapat atau mampu memikul tanggung jawabnya di masa depan, maka perlu
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara
normal baik jasmani, rohani maupun sosial.
Didalam Pasal 25 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights (
Pernyataan Semesta Hak-hak Asasi Manusia ) yang dideklarasikan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 disebutkan bahwa : 1
Motherhood and childhood are entitled to special care and assistance. All
children, whether born in or out of wedlock, shall enjoy the same social
protection. yang artinya : Ibu-ibu dan anak-anak berhak untuk
memperoleh perawatan dan bantuan khusus. Semua anak baik yang dilahirkan
didalam maupun di luar perkawinan, harus memperoleh perlindungan sosial
yang sama[1].
Perlindungan sosial terhadap anak yang lahir dalam perkawinan tidak menjadi
sumber perdebatan di kalangan para fuqaha Islam, karena sudah jelas hak,
kewajiban dan kedudukannya dalam keluarga termasuk dalam hal warisannya. Namun
terhadap anak yang lahir di luar perkawinan masih merupakan perdebatan di
kalangan fuqaha Islam.
Menurut pendapat kebanyakan
fuqaha ( jumhur ) : anak zina/anak yang lahir diluar perkawinan tidak
bernasab kepada laki-laki yang menyebabkan kehamilan ibunya. Hubungan waris
mewaris hanya terjadi dengan ibunya, tidak dengan laki-laki yang menyebabkan
terjadinya, apalagi dengan laki-laki yang menjadi suami ibunya sebelum ia
dilahirkan[2].
Sedangkan ulama mazhab Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa : anak zina
tidak berhak waris dari ibunya juga. Dilain pihak, sebagian
ulama mazhab Hambali termasuk Ibnu Taimiyah berpendapat : anak zina apabila diakui oleh ayahnya, meskipun dengan
jelas diakuinya pula berasal dari hubungan zina, tetapi ibunya tidak dalam ikatan perkawinan dengan suami lain atau tidak dalam 'iddah dari suami lain, adalah anak sah bagi ayahnya, dan terjadi hubungan waris mewaris juga. Kompilasi Hukum Islam
mengadakan solusi untuk menjembatani seluruh pendapat-pendapat tersebut dengan
menegaskan mengenaihubungan waris anak yang lahir di luar perkawinan dengan Ibu
kandung dan keluarga Ibu kandungnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 186 : Anak
yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris
dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan sebagai ahli waris dari ibu
dan keluarga dari pihak ibu mengakibatkan anak yang lahir di luar perkawinan
berhak menerima warisan dari ibu dan seluruh keluarga ibu, namun Kompilasi
Hukum Islam khususnya Buku II yang mengatur Hukum Kewarisan tidak mengatur
bagaimana cara melaksanakan pembagian warisan anak yang lahir di luar
perkawinan.
Anak yang lahir di luar perkawinan di Indonesia kini sudah bukan menjadi
fenomena yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia seiring dengan semakin
tingginya tingkat hubungan seksual bebas, hidup bersama tanpa ikatan perkawinan
yang sah yang mengakibatkan lahirnya anak-anak di luar perkawinan.
Mengingat anak yang lahir adalah fitrah, maka hak mereka untuk mewaris
berdasarkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah sesuai dengan hak asasi
anak baik yang dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun oleh
ajaran Islam[3].
Berdasarkan uraian berbagai permasalahan diatas
maka kelompok kami bermaksud untuk mengkaji dan menyusun makalah ini dengan
judul :
“STATUS HUKUM ANAK LUAR PERKAWINAN SERTA HAK MEWARISINYA DITINJAU
BERDASARKAN HUKUM ISLAM”
B.
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana Status Hukum Anak Luar Perkawinan
Dalam Prespektif Hukum Islam?
2. Bagaimana Hak Mewarisi Anak Luar Perkawinan
Dalam Prespektif Hukum Islam?
C.
Tujuan Penulisan :
1.
Untuk Mengetahui Status Hukum Anak Luar Perkawinan Dalam
Prepektif Hukum Islam.
2.
Untuk Mengetahui Hak Mewarisi Anak Luar Perkawinan Dalam
Prespektif Hukum Islam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Anak
Kompilasi Hukum Islam tidak secara tegas memberikan
definisi atau batasan tentang anak, namun hanya memberikan pengertian 'anak'
secara negatif sebagaimana disebutkan dalam Pasal 98 ayat (1) yaitu :Batas
usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang
anak tersebut tidak bercacad fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yaitu dalam Pasal 1
ayat 2 bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum
pernah menikah. Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena
berdasarkan pertimbangan kepentingan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental
seorang anak dicapai pada umur tersebut.
Batas umur dalam
peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan
kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku. Anak kandung adalah anak
yang lahir dari kandungan ibu dan ayah kandungnya sedangkan anak sah adalah
anak kandung yang lahir dari perkawinan orang tuanya yang sah menurut ajaran
agama. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Apabila suatu perkawinan yang menurut hukum sah, maka anak
yang dilahirkan dari perkawinan itu akan merupakan anak yang sah pula[4].
2.2 Macam-Macam Anak
1. Anak sah
Ialah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
2. Anak kandung
Ialah anak yang dilahirkan dari kandungan ibu dan ayah biologisnya.
3. Anak angkat
Ialah seorang
anak yang bukan keturunan dari suami istri, namun ia diambil, dipelihara dan
diperlakukan seperti halnya anak keturunannya sendiri, sehingga antara anak
yang diangkat dan orang yang mengangkat anak timbul suatu hubungan kekeluargaan
yang sama seperti yang ada antara orang tua dan anak kandung sendiri.
4. Anak Tiri
Ialah anak
kandung istri janda atau dari suami duda yang mengikuti tali perkawinan.
5. Anak yang lahir di luar perkawinan
Ialah anak
yang lahir dari seorang wanita yang tidak mempunyai suami atau anak yang
mempunyai bapak dan ibu yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang
sah.
Tentang
anak diluar kawin itu ada 2 jenis yaitu :
A.
Anak yang lahir dari ayah dan ibu antara
orang-orang mana tidak terdapat larangan untuk kawin.
B.
Anak yang lahir dari ayah dan ibu yang
dilarang untuk kawin karena sebab-sebab yang ditentukan oleh undang-undang atau
jika salah satu dari ayah ibu di dalam perkawinan dengan orang lain.
C.
Anak yang lahir dari seorang ayah dan ibu
akan tetapi ayah biologisnya tidak mau bertanggung jawab atau tidak menikahi
ibunya.
2.3
Pemeliharaan Anak
Sebelum anak berusia 21 tahun atau melangsungkan
perkawinan, maka orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar Pengadilan ( Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam ).
Apabila orang tua tidak mampu, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah
seorang kerabat terdekat yang mampu untuk menunaikan kewajiban orang tua (
Pasal 98 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam ).
Sedangkan apabila orang tua bercerai, maka pemeliharaan
anak yang belum berumur 12 tahun ( mumayyiz ) merupakan hak ibu, sedangkan
apabila anak sudah berumur 12 tahun diserahkan kepada anak untuk memilih untuk
dipelihara oleh ayah atau ibunya ( Pasal 105 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum
Islam ).
2.4 Anak
Yang Lahir Diluar Perkawinan.
A. Dasar Hukum
Tentang anak yang lahir diatur dalam Pasal
100 dan Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam.
B. Pengertian
Menurut Penjelasan Pasal 186 Kompilasi Hukum
Islam, anak yang lahir di luar perkawinan adalah : anak yang dilahirkan di
luar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah.
C. Hak Warisan
Mengenai hak atas warisan anak yang lahir di luar
perkawinan menurut Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam : hanya mempunyai
hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Proses terjadinya anak luar kawin dapat dikategorikan
sebagai berikut :
1.
Anak dari hubungan ibu sebelum terjadinya
pernikahan.
Jika dua orang dari 2 jenis kelamin yang
berbeda, kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain mengadakan hubungan
badan dan mengakibatkan seorang perempuan hamil, kemudian melahirkan seorang
anak dan ada sebagian darah dari seorang anak laki-laki dan seorang perempuan
yang menghasilkan anak tersebut yang tercampur dalam diri anak yang
bersangkutan. Padahal antara Keduanya belum terikat tali perkawinan yang
sah,maka anak tersebut adalah anak luar kawin.
2. Anak dari kandungan ibu setelah bercerai
lama dari suaminya.
Apabila seorang wanita mengadakan hubungan
badan dengan bekas suaminya atau seorang laki-laki lain dan mengakibatkan
wanita itu hamil kemudian melahirkan
seorang anak, maka :
Ø Kelahiran anak itu apabila terjadi belum lama dari masa
perceraian dengan suaminya maka anak tersebut masih dianggap anak dari bekas
suaminya itu, dan
Ø Apabila Kelahiran anak tersebut lama setelah masa perceraian
ibunya dengan ayahnya, maka anak tersebut dapat dinamakan anak luar kawin
3. Anak dari kandungan ibu karena berbuat
zina dengan orang lain.
Apabila seorang istri melahirkan seorang anak karena mengadakan
hubungan badan dengan seorang laki-laki lain bukan suaminya, maka suaminya itu
menjadi bapak dari anak yang dilahirkan tersebut. Kecuali apabila sang suami ini
berdasarkan alasan yang dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak, anak yang
dilahirkan oleh istrinya karena berbuat zina. Adapun alasannya ialah :
1). Suami tidak bisa menjalankan
kewajibannya memenuhi kebutuhan biologis istrinya, misalnya impotensi.
2). Dapat dibuktikan oleh suaminya baik
karena pengakuan pria yang melakukan zina dengan istrinya ataupun oleh istrinya
sendiri atau oleh masyarakat.
4. Anak dari kandungan ibu yang tidak
diketahui siapaa ayahnya.
Apabila seorang perempuan mengadakan hubungan badan
dengan lebih dari seorang laki-laki atau mengadakan hubungan badan dengan
berganti-ganti pasangan dan mengakibatkan seorang perempuan itu hamil, kemudian
melahirkan seorang anak, dan jelaslah di sini bahwa anak tersebut tidak
diketahui siapa ayahnya, karena ibunya telah mengadakan hubungan badan dengan
berganti-ganti pasangan yang tidak terlibat tali perkawinan yang sah.
5.
Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan
perkawinan sah.
Jika dua orang dari 2 (dua) jenis
kelamin yang berbeda, kedua-duanya tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain
mengadakan hubungan badan dan mengakibatkan seorang perempuan hamil kemudian
melahirkan seorang anak dan ada sebagian darah dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang hubungannya menghasilkan anak tersebut, yang tercampur dalam
diri anak yang bersangkutan. Padahal antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang kedua-duanya tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain dan
kedua pasangan tersebut telah hidup didalam kehidupan rumah tangga. Padahal
antara keduanya belum terikat tali perkawinan yang sah[5].
2.5 Harta Warisan menurut Kompilasi Hukum Islam
1. Pengertian
Yang disebut Harta Warisan adalah : Harta Warisan
adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah digunakan
untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meningalnya, biaya
pengurusan jenazah ( tajhiz ),pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.
2. Wujud
Dari pengertian tersebut diatas, maka harta warisan dapat
terdiri dari :
Ø Harta Bawaan
Yang dimaksud dengan
harta bawaan dalam Buku I tentang Perkawinan
Bab XIII Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam Indonesia :
Harta bawaan dari
masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.
Yang termasuk dalam
kategori harta bawaan ini adalah :
- Harta yang diperoleh
selama perkawinan
- Hadiah khusus
- Warisan
Ø Harta Bersama
Yang dimaksud harta
bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.
Harta Bersama menurut
Buku I Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam :
- Dapat berupa benda
berwujud dan tidak berwujud.
- Dapat meliputi benda
bergerak dan benda tidak bergerak dan surat berharga.
- Dapat berupa benda
tidak berwujud dalam bentuk hak dan kewajiban.
- Dapat dijadikan
sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya[6].
2.6 Rukun Waris
Islam
Dalam hukum Waris Islam berlaku ketentuan mengenai rukun yang
harus dipenuhi dalam pembagian warisan, rukun tersebut meliputi :
a. Muwarits (
Pewaris )
Adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda.
Harta warisan dapat dibagi setelah pewaris dinyatakan meninggal dunia baik
secara fisik maupun secara hukum, peristiwa kematian itu harus diketahui secara
pasti atau bisa juga berdasarkan keputusan hakim seperti orang hilang yang
tidak diketahui keberadaannya apakah ia sudah mati atau masih hidup. Jadi
syarat pembagian waris itu adalah pewaris secara pasti
telah meninggal dunia
atau atas putusan hakim.
b. Warits (
Ahli Waris )
Seorang atau beberapa orang yang berhak menerima harta warisan.
Orang yang berhak mendapat warisan tersebut dikarenakan adanya hubungan darah
atau nasab, hubungan
perkawinan, karena
memerdekakan si mayat dan karena sesama Islam.
c. Mauruts (
Harta Warisan )
Sebelum menguraikan apa yang dimaksud dengan harta warisan,
terlebih dahulu diketahui apa yang disebut dengan "harta peninggalan"
atau dalam bahasa Arab disebut dengan "tirkah atau tarikah" yaitu
sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia, baik yang
berbentuk benda dan hak-hak kebendaan, serta hak-hak yang bukan hak kebendaan.
Dari definisi tersebut diatas dapat diuraikan bahwa harta
peninggalan itu terdiri dari : 1. Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai
kebendaan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah benda bergerak, benda tidak
bergerak, dan piutang-piutang.
2. Hak-hak kebendaan. Yang
termasuk dalam kategori hak-hak kebendaan ini seperti sumber air minum, irigasi
pertanian dan perkebunan.
3. Hak-hak yang bukan
kebendaan. Yang termasuk dalam kategori hak-hak yang bukan kebendaan ini
seperti hak khiyar, hak syuf'ah ( hak beli diutamakan bagi salah seorang
anggota syarikat atau hak tetangga atas tanah pekarangan).
Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris,
terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan
si mayat, yang terdiri dari :
a. Zakat atas harta
peninggalan
Yang dimaksud dengan zakat atas harta peninggalan yaitu zakat
yang semestinya harus dibayarkan oleh si mayat, akan tetapi zakat tersebut
belum dapat direalisasikan, lantas ia meninggal, maka untuk ini zakat tersebut
harus dibayar dari harta peninggalannya, seperti zakat pertanian dan zakat
harta.
b. Biaya pemeliharaan
mayat.
Yang dimaksud dengan biaya pemeliharaan mayat adalah biaya
yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan jenazah, seperti kafan dan penguburan.
c. Biaya utang-utang
yang masih ditagih oleh kreditor ( pemberi pinjaman ).
Hal ini sejalan dengan Hadist yang yang diriwayatkan oleh
ahmad yang artinya berbunyi sebagai berikut : "Jiwa orang mukmin
disangkutkan dengan utangnya, sehingga utangnya itu dilunasi"
d. Wasiat
Yang dimaksud dengan wasiat disini adalah wasiat yang
bukan untuk kepentingan ahli waris, dan jumlah keseluruhan wasiat itu tidak
boleh lebih dari sepertiga (1/3) dari jumlah keseluruhan harta peninggalan. Hal
ini sejalan dengan Hadist yang diriwayatkan oleh
Muslim yang artinya
berbunyi sebagai berikut : "Kamu wasiatkan sepertiga ) dan sepertiga
itu banyak. Sesungguhnya lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam
keadaan berkecukupan daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin,
mengemis
kepada orang
lain".
2.7 Sebab-Sebab
Mewaris
Menurut ketentuan hukum Waris Islam, yang menjadi sebab seseorang
itu mendapatkan warisan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Karena hubungan
perkawinan Seseorang dapat memperoleh harta warisan ( menjadi ahli waris ) disebabkan
adanya hubungan perkawinan antara si mayat dengan seseorang tersebut, yang
termasuk dalam klasifikasi ini adalah : suami atau istri dari si mayat.
b. Karena adanya
hubungan darah Seseorang dapat memperoleh harta warisan ( menjadi ahli waris ) disebabkan
adanya hubungan nasab atau hubungan darah / kekeluargaan dengan si mayat, yang
termasuk dalam klasifikasi ini seperti : ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu,
cicit, saudara, anak saudara dan lain-lain.
c. Karena memerdekakan
si mayat. Seseorang dapat memperoleh harta warisan ( menjadi ahli waris ) dari
si mayat disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayat dari perbudakan, dalam
hal ini dapat saja seorang laki-laki atau seorang perempuan.
d. Karena sesama Islam.
Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak meninggalkan ahli waris
sama sekali, maka harta warisannya diserahkan kepada Baitul Maal dan lebih
lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin[7].
2.8 Penggolongan
Ahli Waris dan Bagiannya
A). Ditinjau Dari Jenis Kelamin
Jika ditinjau dari
jenis kelamin, maka ahli waris dibagi menjadi 2 ( dua ) macam yaitu :
a. Ahli waris
laki-laki yang kesemuanya berjumlah empat belas
(14), terdiri dari :
1. Anak laki-laki; 2. Cucu laki-laki ( anak laki-laki dari anak laki-laki ); 3.
Bapak; 4. Kakek dari bapak dan seterusnya ke atas; 5. Saudara laki-laki
sekandung.; 6. Saudara laki-laki sebapak; 7. Saudara laki-laki seibu; 8. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung; 9. Anak laki-laki dari saudara
sebapak; 10. Paman ( saudara laki-laki bapak yang sekandung ); 11. Paman (
saudara laki-laki bapak yang sebapak ); 12. Anak laki-laki dari paman sebapak
dengan ayah; 13. Anak laki-laki dari paman sebapak dengan ayah; 14. Suami
Apabila ahli waris
tersebut diatas seluruhnya ada, maka yang berhak memperoleh bagian dari harta
peninggalan hanya tiga (3) saja yaitu : 1. Anak laki-laki; 2. Suami; 3. Bapak.
b. Ahli waris
perempuan yang kesemuanya berjumlah sembilan (9), terdiri dari :
1. Anak perempuan; 2.
Cucu perempuan ( anak perempuan dari anak laki-laki ); 3. Ibu; 4. Nenek ( Ibu
dari bapak ); 5. Nenek ( Ibu dari ibu dan seterusnya keatas ); 6.. Saudara
perempuan sekandung; 7.. Saudara perempuan sebapak; 8. Saudara perempuan seibu;
9. Istri.
Apabila ahli waris tersebut diatas seluruhnya ada, maka yang
berhak memperoleh bagian dari harta peninggalan hanya lima (5) saja yaitu :
1. Istri ; 2. Anak
perempuan; 3. Cucu Perempuan dari anak laki-laki; 4. Ibu; 5. Saudara perempuan
sekandung.
Apabila semua ahli waris yang tersebut diatas semua ada, baik
laki-laki maupun perempuan, maka yang berhak meperoleh bagian dari harta
peninggalan hanya 5 ( lima )
yaitu :
1. suami atau istri ; 2.
Ibu ; 3. Bapak ; 4. Anak laki-laki ; 5.
Anak perempuan[8].
B. Ditinjau Dari Hak Dan Bagiannya
Jika ditinjau dari jumlah
bagiannya, maka ahli waris dibagi menjadi 3 ( tiga ) bagian macam yaitu :
a. Dzawil Furudl
Dzawil Furudl adalah
ahli waris yang berhak mendapat bagian tertentu dari harta peninggalan. Bagian
tertentu atau Faridho yaitu :
1. Seperdua (1/2)
bagian ; 2. Seperempat (1/4) bagian; 3. Seperdelapan (1/8) bagian ; 4. Dua
pertiga (2/3) bagian; 5. Sepertiga (1/3) bagian; 6. Seperenam (1/6) bagian
Ahli waris yang
mendapat bagian-bagian tersebut terdiri-dari :
1. Ahli waris yang
mendapat bagian seperdua (1/2) :
a. Anak perempuan
tunggal; b. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki; c. Saudara perempuan
tunggal yang sekandung dan sebapak; d. Suami jika istri tidak meninggalkan
anak.
2. Ahli waris yang
mendapat bagian seperempat (1/4) :
a. Suami jika istri
meninggalkan anak; b. Istri (seorang atau lebih) jika suami tidak meninggalkan anak.
3. Ahli Waris yang
mendapat bagian seperdelapan (1/8)
a. Istri (seorang atau
lebih) jika suaminya meninggalkan anak.
4. Ahli Waris yang
mendapat bagian dua pertiga (2/3) :
a. Dua orang anak
perempuan atau lebih; b. Dua orang cucu perempuan atau lebih; c. Dua orang
saudara perempuan atau lebih yang seibu bapak atau sekandung; d. Dua orang
saudara perempuan sebapak atau lebih.
5. Ahli waris yang
mendapat bagian dua pertiga ( 2/3 ) :
a). Dua orang anak
perempuan atau lebih ; b). Dua orang cucu perempuan atau lebih ; c). Dua orang
saudara perempuan atau lebih yang seibu bapak atau sekandung ; d). Dua orang
saudara perempuan sebapak atau lebih.
6. Ahli waris yang
mendapat bagian sepertiga ( 1/3 ) :
a). Ibu jika anak yang
meninggal tidak mempunyai anak ; b). Dua orang saudara seibu atau lebih.
7. Ahli waris yang
mendapat bagian seperenam ( 1/6 ) :
a). Ibu jika anaknya
yang meningal dunia mempunyai anak ; b). Bapak jika anaknya yang meninggal
mempunyai anak ; c). Nenek jika ibu tidak ada ; d). Cucu perempuan seorang atau
lebih jika yang meninggal mempunyai anak tunggal. e). Kakek jika ayah tidak ada
dan ada anak dari yang meninggal ; f). Seorang saudara yang seibu laki-laki
atau perempuan.
b. Ashobah
Ashobah adalah ahli waris yang tidak memperoleh bagian tertentu
tetapi mereka berhak mendapat seluruh harta peninggalan jika tidak ada ahli
waris dzawil furudl dan berhak mendapatkan seluruh sisa harta peninggalan
setelah dibagikan kepada ahli waris dzawil furudl, atau tidak menerima sama
sekali. Karena harta peninggalan sudah habis dibagikan kepada ahli waris dzawil
furudl. Ahli waris Ashobah ini ada tiga ( 3 ) macam yaitu :
1). Ashobah Binafsi
Yaitu ahli waris yang
berhak mendapat semua sisa harta secara langsung dengan sendirinya bukan karena
bersama ahli waris yang lain, seperti :
- anak laki-laki ; -
cucu laki-laki ( dari anak laki-laki ) ; - saudara laki-laki kandung atau
seayah ; - paman dan sebagainya.
2). Ashobah Bilghairi
Yaitu ahli waris yang
berhak mendapatkan semua sisa hanya karena bersama ahli waris yang lain,
seperti :
- anak perempuan
ditarik menjadi ahli waris ashobah oleh anak laki-laki ; - cucu perempuan
ditarik menjadi ahli waris ashobah oleh cucu laki-laki ; - saudara perempuan
kandung atau seayah ditarik menjadi ahli waris ashobah oleh saudara.
3). Ashobah
Ma’alghairi
Yaitu ahli waris yang
berhak menjadi ashobah bersama-sama ahli waris yang lain seperti saudara
perempuan kandung atau seayah menjadi ahli waris ashobah bersama-sama dengan
anak perempuan.
c. Dzawil Arham
Dzawil Arham adalah ahli waris yang tidak berhak mendapat
bagian tertentu (faroidh) juga tidak mendapat Ashobah karena pertalian dan
hubungan kekeluargaannya telah jauh.laki-laki kandung atau seayah. Sebagian
ulama dan sahabat nabi berpendapat bahwa apabila ahli waris yang mendapat
bagian tertentu tidak ada, demikian juga ashobah atau warisan itu masih tersisa
setelah dibagikan kepada ahli waris yang ada, maka warisan tersebut dibagikan
kepada rahim yang lebih dekat hubungannya dengan muwaris. Untuk lebih
memudahkan dalam menetapkan bagian masing-masing maka ditetapkan rahim itu
memperoleh bagian disamakan dengan ahli waris tertentu yang telah disamakan
kedudukannya sebagai berikut :
a). Anak dari cucu perempuan
( laki-laki atau perempuan ), disamakan kedudukannya dengan cucu perempuan; b).
Cucu dari anak perempuan, disamakan kedudukannya dengan anak perempuan; c).
Kakek ( bapaknya ibu ), disamakan kedudukannya dengan ibu; d). Nenek ( ibunya
ibu ), disamakan kedudukannya dengan ibu; e). Anak perempuan dari saudara
laki-laki ( sekadung, sebapak, atau seibu ) disamakan kedudukannya dengan
saudara lakilaki; f). Anak laki-laki
dari saudara laki-laki seibu, disamakan kedudukannya dengan saudara laki-laki
seibu; g). Anak perempuan dari saudara perempuan ( sekandung, sebapak, atau
seibu ), disamakan kedudukannya dengan saudara perempuan; h). Bibi ( saudara
perempuan bapak ) disamakan kedudukannya dengan bapak; i). Paman ( saudara
bapak yang seibu ) disamakan
kedudukannya dengan
bapak; j). Saudara ibu ( laki-laki atau perempuan ) kedudukannya
disamakan dengan ibu[9].
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Status Hukum Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan
Anak yang lahir diluar pernikahan seringkali dalam
masyarakat disebut atau dikenal dengan istilah anak haram, anak jadah, ataupun
anak zina dan lain sebagainya. Para pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai hukum tersendiri, apakah mereka belum pernah kawin atau sudah kawin,
sebab dijatuhkannya hukum tersebut dikarenakan melanggar kesopanan dan merampas
hak orang lain yang sah menurut hukum islam dan adat istiadat yang berlaku.
Sang anak yang lahir dari perbuatan zina tidak bersalah dan tidak bertanggung
jawab atas kesalahan orang tuanya. Anak yang lahir dianggap sebagai anak yang
suci bukan dianggap sebagai anak zina, anak haram dan lain sebagainya. Karena
yang haram adalah perbuatan orang tuanya.
Oleh karena itu anak yang lahir diluar pernikahan harus
dilakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran dan keterampilan yang
berguna untuk bekal hidupnya kelak di masyarakat nanti. Menurut hukum islam
demi kepentingan hukum maka untuk mengatur dan menjaga hubungan darah (nasab),
keturunan atau anak secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu :
1. Anak syar’i
adalah anak yang mempunyai hubungan nasab (secara hukum) dengan orang tua
laki-lakinya.
2. Anak tabi’i
adalah anak yang tidak mempunyai hubungan nasab dengan orang tua laki-lakinya.
Jika anak
tersebut tidak dipandang sebagai anak dari ayah biologisnya maka ia tidak
memiliki
hubungan saling mewarisi dengan laki-laki tersebut, anak ini dusebut sebagai
anak tabi’i yang tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua laki-lakinya.
Permasalahan
selanjutnya muncul ketika ketentuan mengenai pembagian warisan anak luar nikah
ini muncul di indonesia. Meskipun secara umum hukum warisa yang berlaku di
indonesia untuk orang islam adalah hukum kewarisan islam yakni hukum waris yang
diformulasikan oleh jumhur ulama khususnya mazhab syafi’i, yang tercermin dalam
KHI pasal 186 yang menyatakan “anak yang lahir diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak
ibunya”. Namun status hukum bahwa anak yang lahir di luar pernikahan adalah sah
atau tidak sangat terkait erat dengan hukum perdata yang berlaku di indonesia.
Dalam hukum
islam, dinyatakan ada dua hubungan yang menyebabkan seseorang menerima harta
warisan dari seseorang yang telah meninggal yaitu, karena adanya hubungan darah
(nasab), kekerabatan dan hubungan perkawinan. Hubungan nasab ini di tentukan
karena adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran,
seorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu mempunyai hubungan darah dengan ibu
yang melahirkannya. Begitu pula dengan laki-laki yang menyebabkan anak dari ibu
itu hamil dan melahirkan. Bila dipastikan bahwa laki-laki yang menyebabkan
ibunya hamil dan melahirkan kemudian menikahi ibunya. Sehingga dalam islam anak
yang lahir diluar pernikahan namun setelah itu dinikahi oleh laki-laki yang
menghamili ibunya maka anak tersebut dapat mewarisi harta peninggalan dari
ayahnya. Sedangkan anak yang lahir diluar pernikahan akan tetapi tidak diakui
oleh laki-laki yang menyebabkan ibunya hamil maka anak tersebut tidak memiliki
hubungan hukum dengan laki-laki yang menghamili ibunya dan tidak memiliki hak
atas harta warisan laki-laki yang menghamili ibunya[10].
3.2 Hak Mewarisi Oleh Anak Yang Lahir di Luar Perkawinan
Dilangsungkan atau
tidaknya perkawinan dalam kurun kelahiran seorang anak merupakan tolak ukur
untuk menentukan apakah seorang anak adalah anak sah ( lahir dalam perkawinan
yang sah ) atau anak yang lahir diluar perkawinan, walaupun setelah perkawinan dilangsungkan,
orang tua anak bercerai kembali.
Penekanan utama dalam
hal ini adalah anak lahir dalam perkawinan sebelum orangtua bercerai. Contoh
dalam kasus ini misalnya A ( pria ) dan B ( wanita ) mengadakan hubungan
layaknya suami istri sebelum melangsungkan perkawinan namun sebelum anak lahir
mereka melangsungkan perkawinan dan beberapa saat kemudian bercerai kembali
sebelum anak lahir. Maka dalam hal ini, anak yang lahir adalah anak sah karena kedua
orang tua telah menikah, walaupun sebelum anak lahir mereka telah bercerai.
Dalam kasus diatas, B ( wanita ) menikah dengan A ( pria ) yang mengakibatkan
kelahiran anak. Namun apabila B ( wanita ) menikah dengan C ( pria ) yang bukan
mengakibatkan kelahiran anak, maka anak yang lahir tetap anak sah karena B (
wanita ) telah melangsungkan perkawinan walaupun bukan dengan A ( pria ) yang mengakibatkan
kelahiran anak.
Menurut Dra. Hj. Andy
Muliany Hasim, SH, MH, pada prinsipnya Islam tidak mengakui anak yang lahir
diluar perkawinan dalam segala aspeknya, karena mengakui anak yang lahir di luar
perkawinan akan mengakibatkan Islam seolah-olah membenarkan/memperbolehkan hubungan
suami istri yang dilakukan sebelum perkawinan untuk selanjutnya akan melahirkan
anak-anak yang lahir diluar perkawinan. Pengaturan tentang anak yang lahir
diluar perkawinan pada Kompilasi Hukum Islam sebenarnya bertujuan untuk
memberikan jalan keluar bagi anak yang lahir di luar perkawinan dalam hal harta
warisan sebagai wujud hak asasi manusia yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam.
Mengenai kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan
sebagai ahli waris ibu dan keluarga dari pihak ibu, telah dijelaskan secara
tegas dalam Pasal 186 Kompilasi Humum Islam yang berlaku secara nasional di Indonesia
yang menyebutkan : anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Sebagai ahli waris dari ibu, maka besarnya bagian waris
anak yang lahir di luar perkawinan diatur oleh Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam
yang merupakan ketentuan bagian warisan bagi anak sah, disebabkan bagi ibu,
anak yang lahir di luar perkawinan adalah anaksah. Anak yang lahir di luar
perkawinan mendapat bagian waris dari Ibu kandungnya apabila dalam pembagian
warisan Ibu tersebut tidak ada sengketa mengenai hal tersebut atau tidak ada
penghalang yang mengakibatkan anak yang lahir di luar perkawinan tidak mendapat
bagian warisan.
Sengketa mengenai pembagian warisan antara lain terjadi apabila ada ahli waris
lainnya yang mengaku sebagai ahli waris dari pewaris sehingga mengajukan
gugatan ke Pengadilan Agama mengenai hal tersebut. Adanya sengketa
mengakibatkan anak yang lahir di luar perkawinan akan tertunda menerima warisan
disebabkan sengketa tentang siapa ahli waris dari pewaris harus diselesaikan
terlebih dahulu berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Setelah ada putusan
yang berkekuatan hukum tetap, maka berdasarkan putusan
tersebut pembagian
warisan dapat dilaksanakan.
Ada atau tidak penghalang dalam hal mewaris dapat pula mengakibatkan
seorang anak yang lahir di luar perkawinan tidak mendapat bagian waris.
Dikategorikan sebagai penghalang misalnyaahli waris yang dalam hal ini adalah
anak yang lahir di luar perkawinan
terbukti berdasarkan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap telah membunuh pewaris.
Apabila tidak ada sengketa dan tidak ada penghalang, maka
anak yang lahir di luar perkawinan menjadi ahli waris dari pewaris / ibu kandung
dan besarnya bagian waris anak yang lahir diluar perkawinan tergantung dengan
siapa ia ( anak yang lahir diluar perkawinan )
mewaris. Dalam hal
anak perempuan yang lahir diluar perkawinan mewaris bersama-sama dengan saudara
laki-laki maka bagiannya berdasarkan Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam adalah dua
banding satu ( 2 : 1 ). Sedangkan apabila mewaris bersama-sama anak-anak
perempuan seorang maka bagiannya 1/2 ( setengah ) bagian dan bila anak perempuan
lebih dari 2 ( dua ) orang maka bagian mereka seluruhnya adalah 2/3 ( dua
pertiga bagian ).
Anak yang lahir di luar perkawinan akan mendapat seluruh
harta Ibu kandungnya apabila ia mewaris seorang diri, namun apabila anak yang
lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama dengan anak sah maka bagian
warisnya adalah sama terhadap harta warisan dari Ibu tanpa memandang /
membedakan siapa ayah dari anak-anak tersebut. \
Misalnya : C ( anak perempuan yang lahir di luar
perkawinan antara B dan A ) mewaris harta warisan B ( Ibu kandung C ) bersama saudara-saudaranya
yaitu D ( wanita ) dan E ( wanita ) yang merupakan anak-anak sah dari
perkawinan B dan G maka bagian
masing-masing adalah
sama yaitu 1/3 ( sepertiga ) bagian. Namun apabila C mewaris bersama-sama
dengan D ( wanita ) dan E ( pria ) maka bagian E ( pria ) adalah 1/2 ( setengah
) bagian dan C dan D masing-masing 1/4 ( seperempat ) bagian. Demikian pula
apabila C ( anak laki-laki yang lahir diluar perkawinan ) mewaris
bersama-samadengan D ( pria ) dan E ( pria ) maka bagian masing-masing adalah sama-sama
1/3 ( sepertiga ) bagian, namun apabila C mewaris bersama-sama D ( pria ) dan E
( wanita ) maka bagian C dan D masing-masing adalah 2/5 ( dua perlima ) bagian
dan bagian E adalah 1/5 ( seperlima ) bagian.12
Berdasarkan contoh tersebut maka bagian waris anak yang
lahir di luar perkawinan terhadap warisan Ibu kandungnya adalah sama dengan
anak sah Ibu kandungnya. Hal yang berpengaruh langsung terhadap hal tersebut
adalah jenis kelamin anak yang lahir di luar
perkawinan tersebut,
apakah pria atau wanita. Karena akan mempengaruhi besarnya bagian yang akan
diperoleh berdasarkan ketentuan 2 : 1 ( dua banding satu ) dimana anak
laki-laki mendapat bagian dua kali anak perempuan.
Anak yang lahir diluar perkawinan akan mendapatkan
warisan dari Ibunya secara langsung apabila Ibu meninggalkan wasiat yang menyebutkan
bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tersebut adalah ahli waris sah Ibu dan
mendapat warisan sebesar bagian tertentu dari warisan Ibu yang seluruhnya
disebutkan secara tegas dalam suatu akta otentik atau surat dibawah tangan
dengan dihadiri beberapa orang saksi. Wasiat yang ditinggalkan Ibu tentang
kedudukan anak yang lahir diluar perkawinan dalam Islam tidak ditentukan apakah
wajib menggunakan akta otentik atau cukup surat dibawah tangan. Namun agar
tidak meninbulkan masalah di kemudian hari, khususnya timbul gugatan dari ahli
waris lainnya maka sebaiknya wasiat dibuat dalam bentuk otentik dihadapan
Notaris.
Surat wasiat yang menyebutkan tentang kedudukan anak yang
lahir diluar perkawinan sebagai ahli waris Ibu dapat hanya memuat anak yang
lahir diluar perkawinan saja sebagai ahli waris, dapat juga wasiat menyebut
seluruh ahli waris dari Ibu sebagai pewasiat. Apabila
wasiat hanya menyebut
anak yang lahir diluar perkawinan sebagai ahli waris tanpa menyebut bagian dari
harta warisan yang akan menjadi bagiannya maka bagian anak yang lahir diluar
perkawinan akan dihitung berdasarkan Hukum Islam dan tergantung pada ada atau tidaknya
ahli waris ahli waris yang lainnya yang turut mewaris bersama-sama anak yang
lahir diluar perkawinan, sedangkan apabila tidak ada ahli waris lainnya maka
anak yang lahir diluar perkawinan dapat mewaris seluruh warisan Ibunya.
Sedangkan apabila dalam wasiat sudah menyebutkan besarnya bagian anak yang
lahir di luar perkawinan maka bagian anak yang lahir di luar perkawinan adalah sesuai
dengan bagian yang disebutkan dalam wasiat[11].
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan :
Dari pembahasan
makalah diatas dapat dibuat suatu kesimpulan bahwa :
1. Status Hukum anak yang lahir diluar hubungan perkawinan
tidak dapat di nasabkan kepada laki-laki yang telah menghamili ibu dari anak
tersebut dengan alasan bahwa anak yang dilahirkan berasal dari suatu hubungan
yang tidak sah, sekalipun anak itu benar ada yang menjadi ayah biologisnya.
2. Anak yang lahir diluar perkawinan tidak ada hubungan
nasab dengan ayah biologisnya, yang berimplikasi kepada tidak ada hak mewarisi
untuk keduanya. Akan tetapi anak diluar pernikahan yang tidak diakui oleh ayah
biologisnya tetap mendapatkan biaya hidupnya sehari-hari hingga berumur 21
tahun dari harta warisan yang ditinggalkan oleh ayahnya.
3. Anak yang lahir diluar perkawinan merupakan ahli waris
dari Ibu kandung, orangtua dan saudara Ibu Kandung namun bukan merupakan ahli
waris dari Bapak kandung apabila Ibu kandung dan Bapak kandung tidak
melangsungkan perkawinan baik sebelum anak lahir maupun setelah anak lahir.
4. Besarnya bagian waris yang diterima oleh anak yang lahir
diluar perkawinan tergantung dengan siapa anak yang lahir diluar perkawinan
mewaris. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya bagian waris anak yang
lahir diluar perkawinan adalah jenis kelamin ahli waris lainnya tersebut ( pria
atau wanita ) serta jumlah ahli waris lainnya.
5. Warisan dapat diperoleh oleh anak yang lahir diluar
perkawinan secara langsung apabila Ibu kandung meninggalkan wasiat.
4.2
Saran :
1. Karena
rendahnya kesadaran hukum anak yang lahir diluar perkawinan akan hak waris mereka
terhadap harta warisan Ibu kandung maka Pemerintah dan Pengadilan Agama perlu
melakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat khususnya anak yang lahir diluar
perkawinan terhadap hak waris mereka terhadap harta warisan Ibu kandung yang
dapat diperoleh melalui gugatan / tuntutan ke Pengadilan Agama.
2. Pengadilan
Agama perlu membentuk suatu kelompok yang dapat bertindak sebagai fasilitator /
penengah guna mencari solusi / jalan keluar yang terdiri dari Pengadilan Agama,
Pemerintah Daerah setempat dan pihak yang menaruh perhatian terhadap hak anak
yang lahir diluar perkawinan untuk menuntut hak waris anak yang lahirdiluar
perkawinan terhadap hak waris dari bapak kandungnya terutamadalam hal kedudukan
Ibu kandung tidak sederajat dengan Bapak kandung.
3. Anak yang lahir diluar perkawinan perlu membentuk
suatu organisasi untuk membahas hak-hak mereka dalam bidang hukum terutama hak waris
mereka atas harta warisan Bapak kandung sehingga di masa yang akan datang hak
mereka dapat diakomodasi oleh pemerintah dalam suatu bentuk undang-undang yang
mengakui hak mereka atas harta warisan Bapak kandung.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Tamakiran, 1992, Asas-asas Hukum Waris, Pionir Jaya,
Bandung.
Akses internet :
Sri wahyuni, Kedudukan Anak Luar
Kawin Menurut Hukum Waris Adat. http://sriyunlike.blog.pessgul.com/
Emariani, Tesis
Kedudukan Anak Diluar Perkawinan (Studi Kasus Semarang). http://Emariani.blog.esaunggul.ac,id/sample-page/.
Ahmad Fuad, Skripsi
Kewarisan Anak Hasil Incest Dalam Prespektif Hukum Islam.
http://Fuad.wordpress.com/2012/04/20 .
[3] Ahmad Fuad, Skripsi
Kewarisan Anak Hasil Incest Dalam Prespektif Hukum Islam.
http://Fuad.wordpress.com/2012/04/20 halaman 11.Akses
Internet 26 Februari 2013.
[6] Ibid. Halaman 37
[7] Tamakiran. S.SH Asas-asas Hukum Waris. Halaman
84-86
[8] Ibid . halaman 88
[9] Lo. Cit. Halaman 102-104
[10] Ahmad
Fuad, Skripsi
Kewarisan Anak Hasil Incest Dalam Prespektif Hukum Islam. http://Fuad.wordpress.com/2012/04/20 halaman 28 – 31 Akses Internet 26 Februari 2013.