Kamis, 22 November 2012

pKonsep Juridis CSR dan Implementasinya Pada Perusahaan


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pariodisasi dan Latar Belakang Lahirnya Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Sejak awal dekade 1930-an telah muncul pemikiran mengenai korporasi yang beradab. Tahun 1933, A. Berle dan G. Means meluncurkan sebuah buku the Modern Corporations and Private Property. Buku ini menyatakan bahwa seharusnya korporasi modern mentransformasi diri menjadi institusi sosial dari pada institusi ekonomi yang semata-mata hanya bertujuan untuk memaksimalkan laba. Pemikiran ini dipertajam oleh Peter F. Druker pada tahun 1946 melalui buku yang ditulisnya “ the Concept of Corporations, yang menyatakan secara tegas, bahwa manajemen harus memiliki tanggung jawab terhadap profesinya, perusahaan dan karyawan serta tanggung jawab terhadap ekonomi dan masyarakatnya. Pada tahun 1962 seorang ibu rumah tangga bernama Rachel Carson mengagetkan dunia dengan buku legendaris berjudul Silent Spring. Buku ini menunjukan bahwa betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Buku ini menyadarkan bahwa tingkah laku korporasi harus diluruskan sebelum semuanya mengalami kehancuran[1].
Dekade 1970-an dapat dikatakan sebagai dekade tarik menarik seputar social responsibility dari sebuah entitas bisnis, yaitu korporasi. Pada awal dekade ini seorang ekomom terkemuka, Milton Friedman menyatakan pernyataan yang cukup kontroversial pada saat itu, yaitu “there is one only one social responsibility in business, to use its resources and angage in activities designed to increase its profits”. Pernyataan ini sangat kontroversial sebab tugas untuk sosial dan lingkungan pada hakekatnya merupakan amanat milik pemerintah. Pernyataan itu seperti menantang kalangan yang mulai resah dengan sepak terjang  korporasi yang semata-mata hanya memburu keuntungan. Pada tahun 1972, para cendikiawan dunia yang tergabung dalam Club Of Rome meluncurkan buku the Limits to Growth, yang mengingatkan bahwa disatu sisi bumi memiliki keterbatasan daya dukung, sementara pada sisi lain manusia bertumbuh secara eksponensial, sehingga eksploitasi terhadap alam harus dilakukan dengan cermat agar pembangunan dapat berkelanjutan[2].
Hingga dekade 1980-1990, perbincangan mengenai konsep Corporate Social Responsibility terus berlangsung. Pada dekade ini aktivitas kedermawanan perusahaan berjalan dengan istilah filantropis  dan Community Development. pada tahun 1992 diadakan KTT bumi di Rio, Pertemuan ini menegaskan konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainability Development) sebagai konsep yang harus diperhatikan oleh negara dan juga kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya semakin meluas[3].
Tekanan dari organisasi-organisasi pada tingkat global agar kelestarian lingkungan, pemberantasan kemiskinan, serta upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dunia dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang mendorong berbagai elemen untuk ikut berperan serta, termasuk sektor swasta dalam hal ini adalah pelaku bisnis. Hal tersebut dapat kita lihat pada komitmen dari beberapa kali Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang membahas tentang lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan dan perubahan iklim. Semua pembahasan tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dan merupakan latar “tanggung jawab sosial” suatu perusahaan. Konferensi lingkungan hidup di Stockholm, Swedia pada tahun 1972 yang membentuk badan khusus PBB untuk masalah lingkungan yaitu United Nations Environmental Programme (UNEP) yang bermarkas di Nairobi, Kenya. PBB juga membentuk World Commission on Environmental and Development (WCED) atas kesadaran akan kerusakan lingkungan sebagai dampak dari pelaksanaan pembangunan  selama ini. Pada tahun 1987 komisi ini menerbitkan laporannya “Our Common Future” dengan tema pembangunan berkelanjutan. Dalam laporan tersebut pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu upaya yang mendorong  tercapainya kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang  untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan aspek lingkungan dan sosial[4].
Atas dasar Our Common Future tersebut, diadakanlah berbagai konferensi internasional yang membahas tentang konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, mulai dari KTT Bumi (Earth Summith) di Rio de Jenerio, Brasil pada tahun 1992 dan KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit On Sustainable Development) di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002. Dari konferensi tersebut disimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan didasarkan atas tiga pilar utama yaitu aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.
Sebelum KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg diadakan, PBB juga mengadakan COP 3 yang menghasilkan Protokol Kyoto pada Desember 1997 dan KTT Millennium di New York pada bulan September 2000. Protokol Kyoto berkaitan dengan peran menjaga laju pemanasan global sebagai akibat  peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) atau Green House Gases (GHGs) tersebut disepakati dengan prinsip “Common but Differentiated Responsibilities[5].
Sejumlah inisiatif tentang implementasi CSR juga diusulkan oleh organisasi internasional independen seperti Global Reporting Initiative (GRI), International Standard Organization (ISO) sebagai induk organisasi standarisasi internasional yang menggagas panduan dan standarisasi CSR dengan nama ISO 26.000; Guidance standard on social responsibility, lembaga pemerintah seperti Organisation for Economic Cooperations and Development (OECD)
Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat global menjadikan alasan yang paling rasional  dicarinya alternatif-alternatif tata kelola perusahaan yang baik, bertanggung jawab dan berlandaskan prinsip etis dalam bisnis oleh berbagai kalangan, termasuk organisasi-organisasi perusahaan itu sendiri. Tata kelola yang berlandaskan prinsip keberlanjutan (sustainability) mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat disekitar perusahaan dalam mengelola lingkungannya. kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya dalam operasionalisasi perusahaan tersebut.
2.2.      Definisi dan Teori-Teori Dominan Terbentuknya Konsep CSR
Secara terminologis CSR  belum memiliki pengertian tunggal yang dapat di generalisir, masih terdapatnya perbedaan pendapat tentang pengertian maupun konsepsinya oleh para ahli. Chambers (2003)[6] mendefinisikan CSR sebagai upaya perusahaan dalam melakukan tindakan sosial termasuk lingkungan hidup lebih dari batas batas yang dituntut oleh peraturan perundang-undangan. World Business Council for Sustainable Development (WBSD) mengartikan CSR sebagai komitmen berkelanjutan kalangan bisnis untuk berprilaku etis dan memberikan sumbangan pada pembangunan ekonomi sekaligus memperbaiki mutu hidup angkatan kerja dan keluarganya serta komunitas lokal dan masyarakat secara keseluruhan.
Definisi CSR oleh Bank Dunia adalah Komitmen bisnis yang memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para karyawan dan perwakilan mereka, baik masyarakat setempat maupun umum, untuk meningkatkan kualitas hidup dengan cara-cara yang bermanfaat baik bagi bisnis itu sendiri maupun pembangunan[7]. Dengan nada yang sama Departemen Sosial RI, memberikan batasan pengertian CSR sebagai komitmen dan kemampuan dunia usaha untuk memberikan kepedulian, melaksanakan kewajiban sosial, membangun kebersamaan, melakukan program/kegiatan kesejahteraan sosial, pembangunan sosial kesejahteraan masyarakat sebagai wujud kesetiakawanan sosial dan menjaga keseimbangan ekosistim di sekililingnya”[8]. Definisi yang lebih spesifik menurut Dougherty (2003)[9], tanggung jawab sosial itu merupakan perkembangan proses untuk mengevaluasi stakeholders dan tuntutan lingkungan serta implementasi program-program untuk menangani isu-isu sosial. Tanggung jawab sosial itu berkaitan dengan kode-kode etik, sumbangan perusahaan program-program community relations dan tindakan mematuhi hukum.
Perusahaan akan selalu mengalami perubahan yang mengacu ke arah kebersamaan sebagai suatu sistem yang saling berfungsi. Hal ini berkaitan dengan semakin mengglobalnya kepentingan perusahaan, sehingga masing-masing perusahaan akan berkompetisi untuk dapat eksis dalam usahanya. Untuk itu strategi yang diterapkan adalah menggalang keikut sertaan sebagai pihak dalam mata rantai usaha yang dijalankannya. Dalam rangka berkompetisi dengan perusahaan lain, maka perusahaan mau tidak mau harus menguatkan pondasi eksisnya perusahaan itu sendiri. Usaha yang paling mendasar adalah melakukan kerja sama dengan stakeholders  yang berada di komunitas lokal.
Dalam diskursus hukum perusahaan (corporate law) teori dominan yang berperan dalam terbentuknya konsep CSR ini yaitu, Other Constitusi Theory. Epistimologi konsep CSR ditujukan pada perlindungan terhadap other constituencies. Argumentasi yang dibangun dalam teori ini, bahwa Perusahaan sebagai institusi sosial yang tidak hanya mengakomudir kepentingan pemiliknya (shareholders), akan tetapi terhadap multi konstituen (stakeholders). Pandangan yang dikemukakan E. Merrick Dodd Jr. tersebut menjadi landasan filosofis terhadap konsep CSR.[10]
 Teori yang kedua yaitu Shareholder Primacy Theori, yang merupakan simpangan mendasar atas OCT. yaitu shareholders  primacy theory (SPT). Dalam teori ini penekanan utama perusahaan adalah kepentingan dan pelayanan terhadap  pemilik modal, yang teraplikasi dalam struktur maupun operasional perusahaan.  Kuatnya penetrasi teori ini dalam pemikiran para ahli hukum menjadikannya semacam idiologi dogmatik utamanya pada negara-negara yang menganut Common Law System. SPT  memiliki lima karakter utama sebagai berikut. Pertama, Kontrol utama perusahaan harus diberikan pada pemodal; kedua, menejemen perusahaan harus dibebani dengan kewajiban untuk mengatur kepentingan pemodal; ketiga, kepentingan pihak-pihak lainnya dilindungi melalui mekanisme kontraktual dan regulasi yang berada diluar wilayah Corporate Governance; pemegang saham minoritas  juga harus mendapatkan perlindungan dari eksploitasi pemodal besar; kelima, nilai jual saham dipasar saham merupakan satu-satunya tolak ukur kepentingan pemilik modal pada perusahaan publik.[11]
2.2.1. Pandangan Shareholder Teori Terhadap CSR
Sejak digulirkan konsep CSR langsung mendapat berbagai tanggapan dari berbagai pakar, terutama pakar ekonomi. Salah satu tokoh yang kontrofersial dalam menanggapi konsep CSR ini adalah ekonom besar amerika serikat Milton Friedman’s. beliau adalah tokoh utama dari lahirnya neo-liberalisme yang mengedepankan konsep pasar bebas yang didasarkan pada doktrin ekonomi klasik Adam Smith yang terkenal dengan konsep “maximization profit” pada tahun 1976. dalam perkembangan konsep ini justru mengarah pada doktrin “agama akumulasi laba”.
Milton friedman’s[12] berusaha mengeksplorasi pemikirannya sedemikian rupa oleh kritikannya terhadap CSR dalam bukunya “Capitalism and Freedom”. Kritikannya yang tajam tentang CSR yang dimuat dalam New York Time Megazine, tanggal 13 September tahun 1970 yang berjudul “the Social Responsibility is Business in Crease its Profits”. Artikel tersebut menekankan bahwa satu-satunya tanggung jawab perusahaan adalah meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan. Tanggung jawab itu diletakkan pada bagian manajer yang sesuai dengan aturan main yang berlaku dalam masyarakat, hukum maupun kebiasaan etis. Tetapi manajer tidak mempunyai tujuan lain dan pasti tidak terikat dengan tujuan-tujuan sosial yang asing terhadap tugasnya untuk menghasilkan keuntungan sebesar mungkin untuk perusahaan.
Lebih lanjut Friedman’s menyatakan jika manajer melaksanakan CSR atas nama perusahaan yang dituangkan dalam berbagai bentuk, berarti manajer telah memungut pajak dari perusahaan dan sekaligus menentukan bagaimana pajak itu digunakan. Memungut dan menggunakan uang pajak bukanlah tugas manajer perusahaan tetapi adalah tugas pemerintah. Apabila manajer mengimplementasikan CSR dalam aktivitas usahanya berarti manajer telah menyalah gunakan posisinya. Dengan kata lain manajer telah melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, tetapi tugas itu dilakukan tanpa adanya kontrol demokrasi yang selayaknya mengiringi setiap langkah tugas pemerintahan.
Selain itu Milton Friedman’s menegaskan bahwa doktrin CSR telah merusak sistem ekonomi pasar bebas. CSR akan mengakibatkan sistem ekonomi menuju kearah ekonomi berencana, seperti negara-negaa sosialis, dan doktrin ini juga bersifat subversif terhadap masyarakat yang bebas dan demokrasi. Friedman mengungkapkan bahwa dalam masyarakat bebas terdapat satu dan hanya satu tanggung jawab sosial perusahaan, yakni memanfaatkan sumber dayanya yang ada dan melibatkan seoptimal mungkin   dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan meningkatkan keuntungan, selama hal tersebut sejalan dengan aturan-aturan yang ada. Dalam pengertian perusahaan harus melibatkan dirinya dalam kompetisi yang bersifat terbuka dan bebas  tanpa penipuan dan kecurangan dalam upaya meningkatkan keuntungan perusahaan.[13]
Yang perlu dikritisi dari argumentasi yang dikemukakan oleh Friedman”s tersebut yaitu berkaitan dengan penekanan tujuan dari perusahaan yang hanya mementingkan kepentingan pemegang saham (shareholders) dengan menghambakan diri pada doktrin “agama akumulasi laba”. Doktrin inilah yang lebih dikenal dengan “shareholders theory” sebagai wujud penolakannya terhadap konsep CSR.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa shareholder theory memandang bahwa fokus CSR adalah pada manajer yang menjalankan tanggung jawab pokok perusahaan dan tanggung jawab sebagai pihak fidusier untuk menghemat dan meningkatkan kekayaan yang dipercayakan shareholders kepadanya tanpa kecurangan. Sedangkan tanggung jawab lain yang dipikulkan kepadanya harus berapa dibawah tanggung jawab tersebut.
Persoalan selanjutnya adalah indikator apa yang digunakan untuk menyatakan etis tidaknya suatu tindakan CSR yang diambil oleh manajer perusahaan. Berdasarkan teori ini, indikator yang digunakan untutuk menentukan suatu tindakan manajer perusahaan dikatakan etis apabila mampu menciptakan kekayaan dan atau keuntungan bagi shareholder dalam melakukan kegiatan usahanya. Jika indikator ini tidak terpenuhi berarti manajer telah melakukan tindakan tidak etis, yang dalam bahasa Friedmen’s disebut sebagai amoral[14].
Kritik atas teori ini oleh para pakar menyatakan bahwa, shareholders theory tidak mempresantasikan satu-satunya metode yang dapat digunakan untuk menentukan etika CSR dengan berbagai alasan diantaranya berkaitan dengan tidak komprehensif secara intelektual, memberikan ruang untuk korupsi, menyebabkan manajemen bertindak tidak jujur, menciptakan rawan etika, melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab dan cenderung menghasilkan caos absolute atau kriminalitas dan dengan merusak dasar kapitalisme yang praktis dan etis.
Lebih lanjut Frederick[15] menjelaskan bahwa shareholders theori telah memberikan legalitas dalam hubungan antara manajer dan direktur dengan shareholders. Mereka tidak hanya terikat secara legalitas hukum negara, tetapi juga terikat atas dasar kontrak agensi. Atas dasar hubungan ini tanggung jawab hukum disamakan dengan tanggung jawab moral dan sosial. Sedangkan tanggung jawab minimalis muncul mengikuti tanggung jawab minimum moral yang tertera dalam hukum. Sehingga Friedman’s menegaskan bahwa dengan mengikuti dan mentaati hukum berarti telah melaksanakan tanggung jawab sosial. Adapun argumentasi yang digunakan adalah hanya satu kewajiban sosial yaitu menggunakan resources dan terlibat dalam aktifitas yang direncanakan untuk meningkatkan profit sepanjang sejalan dengan aturan yang ada.
Menyikapi hal tersebut, Frederick mengungkapkan tiga aspek yang menjadi landasan pengambilan keputusan dalam aktivitas perusahaan sebagai kritik terhadap teori tersebut, tiga aspek yaitu[16] :
1.      Aspek Ekonomi
Berkaitan dengan sistem kapitalis yang dikembangkan oleh Adam Smith yang telah terbukti sebagai mesin progres yang sukses sejak matinya rezim sosialis pada dekade 1990-an. Kekuatan sistem kapitalis ini terdiri atas pasar bebas (free market) dengan elemen-elemennya  seperti profit oriented, kebebasan konsumen, kompetisi antara penjual dan pembeli dan disiplin pasar. Untuk itu pasar bebas harus dikawal dengan aturan hukum melalui regulasi, terutama berkaitan dengan tanggung jawab sosial itu sendiri.
2.      Aspek Legalitas
Merupakan aspek yang berperan sebagai “fasilitator” terutama berkaitan dengan keselamatan dan perlindungan terhadap tenaga kerja, penyedia kredit atau modal  dan penyelesaian sengketa. Meskipun demikian harus diakui bahwa hukum dan sistem hukum tidak pernah sempurna mengikuti berbagai perkembangan dinamika masyarakat.
3.      Aspek Etika
Aspek ini berkaitan dengan nilai etis atau tidaknya suatu tindakan yang diambil oleh pihak manajemen perusahaan. Sehingga aspek etika ini berusaha untuk tidak dijawab oleh shareholders theory, karena merupakan wujud dari suatu keputusan yang mencerminkan tanggung jawab sosial perusahaan itu sendiri.
2.2.2.   Pandangan Stakeholders Theory terhadap CSR
Ramizes dalam bukunya Cultivating Peace, mengidentivikasi berbagai pendapat mengenai stakeholder, beberapa defenisi yang penting dikemukakan para ahli seperti freedman, yang mendefenisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan Biset secara singkat mendefinisikan stakeholder merupakan dengan suatu kepentingan atau perhatian paa masalah tertentu.[17] Oleh Carol dan Freeman,[18] stakeholder didefinisikan sebagai beberapa individu atau group yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tindakan-tindakan (action), keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan, praktek-praktek atau tujuan dari organisasi. Secara lebih luas Freeman mendefinisikan stakeholder merupakan sekelompok individu  yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan perusahaan, sehingga secara eksplisit dapat disimpulkan bahwa stakeholder dapat mempengaruhi kelangsungan hidup (goingconcern) perusahaan. Teori stakeholder merupakan sistem eksplisit  yang didasarkan pada pandangan organisasi dan lingkungan yang mengalami proses dinamis dan kompleks dari hubungan antara keduanya. Suatu organisasi terdiri dari beberapa stakeholders seperti karyawan, komunitas (community), konsumen (costumer) dan lokasi/wilayah  (state)  termasuk didalamnya seperti supplier, pesaing, pemerintah lokal dan luar, pasar modal, industri, generasi yang akan datang dan sebagainya.
Teori ini lahir bardasarkan kritikan atas teori shareholders primacy theory dalam upaya meningkatkan tanggung jawab sosial perusahaan. dalam teori ini memandang shareholders merupakan bagian dari stakeholder itu sendiri, atas dasar pendekatan pada pihak yang terkait dengan perusahaan, maka stakeholders ini dapat dikelompokkan atas dua, yaitu :
1.      Kelompok primer
Kelompok ini terdiri atas pemilik modal atau saham (owners), kreditor, karyawan, pemasok, konsumen, penyalur dan pesaing atau rekanan.
2.      Kelompok sekunder
Sedangkan kelompok sekunder ini terdiri atas pemerintah, pemerintah asing, kelompok sosial, media masa, kelompok pendukung, masyarakat pada umumnya dan masyarakat setempat.
Kenneth Andrews[19] menegaskan bahwa perubahan paradigma shareholders menjadi paradigma stakeholders terhadap perusahaan dalam tatakelolanya tidak terlepas dari tiga aspek, yaitu : pertama, self-interest, adalah secara personal akan memberikan stimulus kepada para eksekutif perusahaan yang akan mengarahkan sumber daya bisnis untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Kedua, moralitas adalah etika yang mengatur aktivitas kegiatan perusahaan dan ketiga, nilai moral yang diyakini oleh perusahaan.
Dewasa ini perusahaan dituntut untuk memiliki hubungan yang akrab dengan lingkungan, komunitas-komunitas yang ada serta tidak mengejar keuntungan semata tetapi lebih cenderung kearah, pemenuhan keuntungan yang sebagian keuntungannya dialihkan dalam bentuk penanaman kepercayaan terhadap stakeholder lainnya. Peningkatan paradikma ini telah menjadi suatu acuan perusahaan-perusahaan, sehingga dalam mengimplementasikan konsep CSR masing-masing perusahaan akan berbeda-beda tergantung pada bentuk lingkungan yang melingkupinya baik lingkungan alam maupun komunitas sekitar serta bentuk-bentuk dan kepentingan-kepentingan  stakeholder yang ada. Sedangkan bentuk  yang dapat ditarik dari kompetisi penerapan CSR oleh perusahaan-perusahaan adalah bahwa perusahaan tidak lagi melakukan pemisahaan antara dirinya sebagai suatu usaha dengan suatu komunitas disekitarnya, lebih berhati-hati dan mengutamakan kepentingan masyarakat umum, tidak lagi mengejar keuntungan semata tetapi berkecukupan, lebih mengarah ke kualitatif dan tidak lagi kuantifikasi, mengutamakan kebutuhan, perusahaan dijalankan dalam kerangka keberlangsungan jangka panjang, tidak bersandar pada aturan yang ketat tetapi lebih mengarah kepada tanggung jawab serta mengubah bentuk dari pertumbuhan menjadi keberlanjutan.
Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan konsep tentang nilai dan standar yang dilakukan yang berkaitan dengan operasional perusahaan. Dalam pelaksanaannya menimbulkan suatu pertanyaan, yaitu bagaimana perusahaan besar berusaha untuk memenuhi kebutuhan modal dari para pemegang saham sementara dipihak lain dalam waktu yang bersamaan perusahaan tersebut harus meningkatkan kontribusinya  kepada masyarakat secara umum. Menurut World Business Council For Sustainable Development (WBCSD) in fox. et.al (2002)[20] mengungkapkan definisi Corporate Social Resposibility atau tanggung jawab sosial perusahaan adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan perusahaan, kekeluarga karyawan tersebut, berikut komunitas-komunitas setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. peningkatan kualitas kehidupan memiliki arti adanya kemampuan manusia sebagai  individu anggota masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan yang ada sekaligus memeliharanya. CSR merupakan proses penting dalam pengaturan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis dari stakeholders baik secara internal maupun eksternal.
Wujud respon sosial yang dilakukan oleh perusahaan tidaklah sederhana dan memiliki jalinan konflik yang relatif rumit, hal ini karena stakeholder yang terlibat dalam pelayanan sosial yang dilakukan oleh perusahaan cukup konpleks. Stakeholder dalam CSR adalah negara, sektor privat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat, dalam program CSR keseluruhan entitas tersebut terlibat secara bersama-sama.
Keterlibatan perusahaan dalam program CSR dilatar belakangi oleh beberapa menfaat. dalam Focus Report (2004)[21]mengemukakan enam manfaat atas implementasi program CSR, yaitu :
1.      Manajemen Reputasi
Agar sukses, semua bisnis yang bersandar pada hubungan dengan stakeholders, tidak hanya fokus pada konsumen semata. Ketika hubungan antara  perusahaan dengan stakeholders meningkat, dukungan potensial yang diberikan stakeholder kepada perusahaan dan tujuan strategisnya akan meningkat. Untuk mengkomunikasikan aktivitas CSR kepada stakeholder, beberapa perusahaan terkemuka  membuat laporan tentang kinerja lingkungan, sosial dan etika mereka. aktivitas tersebut akan meningkatkan  hubungan dengan stakeholders, dan akan mempermudah peningkatan nilai pasar.
2.      Manajemen Resiko
Semua bisnis memiliki resiko dan membuat penilaian mengenai tingkat resiko yang paling tepat atas resiko bisnis tersebut. manajemen resiko memiliki pengaruh yang besar pada nilai pasar perusahaan jangka panjang. Beberapa perusahaan mengadopsi definisi resiko secara luas termasuk istilah resiko yang menyatakan masalah-masalah sosial  dan lingkungan. Perusahaan yang menyatukan resiko dan peluang dengan keberlanjutan dalam proses penilaian resiko internal atau strategi mereka lebih mungkin untuk mengelola resiko secara efektif
3.      Kepuasan Kerja
Sumber daya manusia merupakan hal penting bagi seluruh aktifitas bisnis. Perusahaan bergantung pada pekerjanya untuk menjalankan bisnis, dan bergantung pada hubungan dengan stakeholder lainnya untuk menciptakan dan memberikan nilai. Oleh karena itu, memahami dan menyesuaikan nilai-nilai pekerja denga nilai-nilai perusahaan adalah hal yang penting bagi kesuksesan bisnis. Lebih lanjut para pencari kerja  mengevaluasi perusahaan berdasarkan pada kinerja CSR-nya selain kinerja keuangan. Jadi kinerja CSR perusahaan dapat membantu mempekerjakan tenaga kerja yang terbaik dan cemerlang untuk menjamin kesuksesan perusahaan
4.      Inovasi dan Pembelajaran
Inovasi dan pembelajaran merupakan hal kritis bagi kesuksesan perusahaan jangka panjang. Kualitas memungkinkan perusahaan  untuk mengidentivikasi peluang pasar baru dan membangun operasi yang efisien. Bukti terbaru menyebutkan bahwa perusahaan yang terkenal dengan CSR-nya menggunakan inovasi dan pembelajaran sebagai alat untuk mengubah hambatan lingkungan dan tekanan sosial menjadi peluang bisnis yang signifikan. Adanya masalah-masalah sosial dan lingkungan yang dihadapi dunia saat ini, akan menjadikan inovator dan wirausahawan memiliki keunggulan kompetitif.
5.      Akses kepada modal
Invsestor percaya bahwa manajemen resiko memberi pengaruh posistif  secara signifikan pada nilai pasar perusahaan jangka panjang. Sebagai hasilnya CSR seringkali dianggap sebagai indikator kualitas manajemen perusahaan. Akses kepada modal dapat membantu perusahaan memperoleh keuntungan atas munculnya peluang. Sebagai contoh investor tradisional, Bank serta lembaga keuangan lainnya mengembangkan alat untuk mengidentifikasi resiko sosial dan lingkungan yang terkait dengan investasi potensial.
6.      Kinerja keuangan
Aktivitas CSR membantu perusahaan memperbaiki bottom line dengan beberapa cara; membantu perusahaan memahami bagaimana material digunakan dalam proses; mengurangi biaya operasional dengan secara aktif mengelola energi dan limbah; mengintegrasikan spesifikasi lingkungan kedalam aset-aset baru untuk mengurangi biaya daur ulang dan memperbaiki efisiensi.
Porter dan Kremer[22] berpendapat bahwa CSR dapat lebih dari sekedar biaya, hambatan atau pembuatan amal, CSR dapat menjadi sumber peluang, inovasi dan keunggulan kompetitif. Lebih lanjut, porter dan kremer mengungkapkan bahwa, ketika dilihat secara strategik, CSR dapat menjadi sumber kemajuan sosial yang sangat hebat, seperti layaknya bisnis yang mengaplikasikan sumber daya-sumber daya, ahli dan pengetahuan yang pantas dipertimbangkan pada aktifitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, saat ini seharusnya perusahaan menginvestasikan program CSR yang berkelanjutan sebagai bagian dari strategi bisnis serta mengeksploitasinya dengan benar agar menjadi lebih unggul.
Tanggung Jawab Sosial (social resposibility) diperlukan untuk menciptakan keseimbangan dan keberlanjutan hidup dan hubungan kemitraan yang timbal balik antara perusahaan dan rekanannya. Tanpa dukungan dan jalinan kemitraan dengan stakeholder lainnya, perusahaan akan dapat mengalami kerugian  secara sosial dan ekonomi. Hal ini diakibatkan adanya berbagai tekanan dan claim yang menyudutkan keberadaan perusahaan tersebut, bahkan dapat mempengaruhi reputasi perusahaan tersebut.
2.3.  Bentuk dan Perkembangan Konsep Corporate Social Resposibility
Mark Goider[23] membagi bentuk tindakan korporate atas program yang diberikan terhadap komunitas dan nilai yang menjadi acuan dari CSR[24]  yaitu :
1.      Bentuk atau Wujud Abstrak
Bentuk CSR ini mengarah pada bagaimana sebuah perusahaan menerapkan dan atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan komunitas di sekitarnya. Bentuk abstrak dari CSR dikaitkan dengan tindakan terhadap lingkungan diluar perusahaan seperti masyarakat dan lingkungan alam.
2.      Bentuk dan Wujud Konkrit
Bentuk CSR ini lebih cenderung mengarah pada tipe ideal yang berupa nilai pada perusahaan yang dipakai untuk menerapkan atau mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan keadaan sosial terhadap komunitas atau masyarakat sekitarnya.
Menurut Goyder, interpretasi yang benar dari CSR adalah ekspresi dari tujuan perusahaan dan nilai-nilai dalam seluruh hubungan yang telah dibangun oleh seluruh perusahaan. Nilai-nilai yang ada diartikan berbeda dengan norma yang ada dalam perusahaan. Wujud abstrak dari nilai perusahaan dijadikan acuan dalam memahami dan menginterpretasikan lingkungan sosial perusahaan. Sedangkan wujud kongkrit dari hasil interpretasi tersebut dalam bentuk tindakan-tindakan dan aktivitas perusahaan dalam kenyataan objektif yang berhubungan dengan masing-masing stakeholder.
Tanggung jawab sosial perusahaan pada era tahun 1970-an dan 1980-an pada dasarnya tidak begitu peduli terhadap sebagian besar komunitas di wilayah sekitar perusahaan. Hal ini banyak disebabkan oleh perusahaan lebih menggunakan aturan-aturan nasional dan menganggap aturan-aturan yang ada dalam komunitas lokal harus mengikuti aturan-aturan nasional.
Perusahaan dalam aktivitasnya pada masa lalu lebih banyak bergerak dalam konteks mengupayakan keuntungan bagi perusahaan itu sendiri dan lebih banyak mewajibkan untuk melakukan recovery terhadap lingkungan. Hal ini berkaitan dengan keberadaan perusahaan di remote area, sehingga tanggung jawab sosial yang diberikan oleh perusahaan terhadap komunitas  yang ada disekitarnya lebih banyak bersifat charity dan kecenderungan pola pemukiman bagi karyawan dan kerabatnya terlepas sama sekali dengan komunitas lokal yang ada di sekitarnya. Hal tersebut memperlihatkan adanya kantung-kantung pemukiman atau enclave di dalam pemukiman masyarakat lokal. Kecenderungan pemisahan pola pemukiman ditunjang oleh adanya pola hidup yang berbeda antara komunitas perusahaan dengan komunitas lokal, sehingga kondisi ini memunculkan terjadinya kecemburuan sosial dari komunitas lokal terhadap komunitas perusahaan. Kecemburuan ini dapat memuncak dalam bentuk konflik apabila terdapat kesalahan pengelolaan dari komunitas perusahaan terhadap lingkungannya pada komunitas lokal.
Seringkali komunitas lokal yang ada di sekitar wilayah perusahaan diperhatikan secara minimal. Pengeluaran untuk pembangunan masyarakat terkadang hanya bersifat formalitas tanpa dilandasi semangat untuk memandirikan masyarakat dan berderma dengan memberikan sumbangan-sumbangan pada perayaan-perayaan tertentu di lingkungan masyarakat sekitar perusahaan.
Pada perkembangan selanjutnya setelah era tahun 1990-an sampai saat ini, mulai tampak adanya kepedulian terhadap komunitas sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh adanya tekanan dari komunitas-komunitas disekitar perusahaan. Perusahaan diwajibkan untuk selalu mengikuti perkembangan sosial komunitas disekitarnya. Pembangunan yang merupakan perhatian untuk mengatasi tuntutan dengan memperhatikan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dan hak-hak komunitas lokal. Pada masa sekarang keberhasilan suatu perusahaan ditentukan oleh  adanya perhatian terhadap lingkungan sosial terhadap komunitas di daerah beroperasinya perusahaan.
Perkembangan atas pelaksanaan prinsip Corporate Social Responsibility  ini  yaitu Corporate Social Audit [25], dimana audit perusahaan seharusnya diperluas untuk melibatkan tidak hanya audit kesehatan finansial perusahaan tetapi juga kesehatan moral. Audit ini menguji bagaimana karyawan taat pada kode etik perusahaan dan bagaimana perusahaan bertanggung jawab secara sosial, konsep ini yang kemudian melandasi berkembangnya ide mengenai akuntansi social (social accounting), yang diterapkan pada perusahaan sehingga dituntut adanya regulasi kebijakan dari pemerintah. Hasil-hasil penelitian empiris juga membuktikan bahwa urgensi dari CSR mendorong perusahaan-perusahaan yang ada didunia seperti Amerika (USA& Canada), Eropa (Denmark, Belanda, Ingris, Prancis Swiss) dan Asia (Australia) untuk melakukan pengukuran (measurement), pengakuan (recognize) dan pengungkapan (disclosure). Salah satu studi yang dilakukan oleh Adam et al,[26] di enam negara Eropa yaitu Denmark, Belanda, Inggris, Jerman, Prancis dan Swiss menunjukkan bahwa praktek pengungkapan social merupakan hal yang lazim dalam laporan tahunan perusahaan.
Lebih rinci lagi, pelaporan tanggung jawab sosial (social responsibility reporting) berkaitan dengan usaha untuk memberikan gambaran menyeluruh (comprehensive) mengenai interaksi perusahaan dengan lingkungannya, beberapa negara dan organisasi tertentu membuat peraturan khusus mengenai perlindungan lingkungan dan membuat rating bagi perusahaan yang sesuai dengan ketentuan baik dan buruk, selain itu rating dan rangking yang dibuat berkaitan juga deangan emisi dan litigation juga memperluas cakupannya dengan memasukan etika sebagai dasar dari tanggung jawab lingkungan.
Isu mengenai CSR dalam hubungannya dengan kinerja perusahaan dan pasar semakin meningkat setelah Markowitz[27] menggunakan reputasi untuk menilai tanggung jawab sosial bagi perusahaan. Tetapi sampai sekarang masih terdapat hasil yang berbeda, beberapa penelitian menunjukan hubungan yang positif tetapi sebagian yang lain menunjukan hubungan yang negatif. Selain itu juga terdapat penelitian yang menunjukan tidak adanya hubungan antara tanggung jawab sosial perusahaan dan kinerja ekonomi, sebagian hasil penelitian lainnya mengindikasikan bahwa pengungkapan informasi mengenai catatan pengendalian polusi mendorong investor untuk bereaksi seperti yang direfleksikan dalam pergerakan harga saham.
Spicer[28]menyatakan bahwa perusahaan mulai mempertimbangkan tanggung jawab sosial karena dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap tanggung jawab sosial mempengaruhi persepsi dan keputusan investor. Perhatian perusahaan pada tanggung jawab sosialnya dianggap dapat meningkatkan kepercayaan investor karena dapat mengurangi investasi.
Argumentasi lain yang melandasi aplikasi CSR yaitu konsep corporate citizenship yaitu bahwa pelaku bisnis atau pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk “beritikad baik”. Yakni, pelaku usaha yang notabene keberadaannya berinteraksi langsung dengan lingkungan dan masyarakat bertanggung jawab untuk membantu menyelesaikan masalah sosial walaupun itu permasalahan sederhana. Sebagai contoh, berdasarkan teori ini perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mensubsidi sekolah dan pendidikan anak-anak. Perusahaan memiliki kewajiban untuk mempromosikan kewajiban-kewajiban sosial pada masyarakatnya. Anjuran untuk “berbuat baik” pada konsep konsep ini adalah perusahaan memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik. Tanggung jawab ini timbul karena kekuatan sosial yang dianugerahkan pada mereka berupa perusahaan yang dikelolanya. Kekuatan sosial pemberian ini dari masyarakat dan harus digunakan untuk tujuan yang baik (public interest) [29].
Berkaitan dengan perkembangan konsep CSR yang semakin baik, maka terdapat lima dasar Corporate Social Responsibility Management System Standards (CSR MSSs) yang lahir dari costumer protections  dalam Global Market Working Group Report sebagai dasar  untuk penerapan yang efektif  pada setiap prinsip CSR[30]. Yaitu :
1.      Mengidentifikasi dan menyeleksi substansi dari norma dan prinsip yang relevan oleh sebuah perusahaan;
2.      Cara-cara untuk mendekatkan jarak antara stakeholder oleh aktivitas perusahaan dalam rangka peningkatan tanggung jawab sosial perusahaan dan pendekatan dalam implementasi ;
3.      Proses dan sistem untuk menjamin efektifitas operasional dari komitmen dari Corporate;
4.      Teknik-teknik untuk verifikasi kemajuan dari komitmen CSR;
5.      Teknik-teknik untuk stakeholder dan laporan publik  serta komunikasi.
Pendekatan efektif bagi Corporate Social Responsibility akan berhubungan dengan kelima elemen tersebut juga akan menjaga fleksibilitas dan kepraktisan dalam implementasinya. Jadi sangat berguna bagi perusahaan dalam rangka memperluas lingkungan usaha yang ada tanpa mengesampingkan pengertian dan pemahamannya terhadap komunitas lokal dan komunitas lain dalam lingkup masyarakat.
Apabila dirunut secara geneologis, CSR adalah konsep yang berevolusi dan akan terus mencari jati dirinya. Namun, sejatinya tentang bagaimana sebenarnya wajah praktek CSR di Indonesia tetap menjadi pertanyaan. Survei mengenai CSR yang bersifat komprehensif di Indonesia dapat dikatakan belum ada. Hal ini disebabkan sifat CSR yang sangat Corporate Side, artinya hanya perusahaan yang bersangkutan atau masyarakat sekitarnya yang menjadi penerima manfaat yang mengetahuinya. Komunikasi program CSR masih lemah karena kultur memberitahukan kedermawanan masih dipandang tabu di Indonesia.
2.4. Konsepsi Yuridis Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) di Indonesia
Pasal 33 ayat 3 dan pasal 18 UUD 1945 dapat menjadi landasan bagi konsep pembangunan masyarakat berkelanjutan, karena pasal ini menggambarkan  mendukung dan dapat diintegrasikan sebagai landasan paradigma pembangunan. Prinsip dasar dari pasal ini adalah mengamanatkan  pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat (public purpose). Tujun pemanfaatan sumberdaya mineral bukan sekedar untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi untuk kesejahteraan umat manusia dari generasi kegenerasi (public interest). Penafsiran ini sejalan dengan makna pembangunan manusia berkelanjutan.
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 serta Undang-Undang Penanaman Modal No. 25 tahun 2007 beberapa perusahaan di Indonesia sudah menerapkan CSR, akan tetapi karena belum adanya regulasi pemerintah yang secara tegas mengatur tentang ketentuan yang bersifat  preskriptif mengenai pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, hingga sulit untuk mengukur seberapa jauh penerapannya. Merupakan hal yang positif ketika pemerintah memberikan  perhatian yang besar mengenai tanggung jawab sosial perusahan dengan membuat Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang Mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Perlindungan Karyawan, Perlindungan Produk dan PROPER, yang kemudian diberlakukannya Undang-undang No. 40 Tahun 2007 yang memuat tentang CSR tersebut.
Keputusan Presiden RI. No.23 tahun 1990 yang direalisasikan dengan dibentuknya Badan Pengendali Dampak Lingkungan  dan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1993 mengenai analisis dampak lingkungan yang merupakan suatu Studi Kelayakan Lingkungan yang disyaratkan untuk mendapatkan perijinan selain Studi Kelayakan Ekonomis. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan tanggung jawab yang harus diselenggarakan dan dibiayai oleh pembuat proyek agar pembuat proyeknya  dapat berjalan sesuai dengan kebijakan pemerintah yang berlaku. Asas pencemar pembayar menyatakan bahwa siapa yang merusak atau mencemarkan lingkungan hidup harus memikul tanggung jawab dengan membayar ganti rugi pada penderita  yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan atau membayar biaya-biaya pemulihan lingkungan hidup kepada negara yang tercantum dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1982. Pemerintah juga membuat peraturan pekerja yang tertuang dalam dalam Undang-Undang Perburuan No.23 1948 mengenai keselamatan pekerja selain itu juga Peraturan Mengenai Jaminan Sosial Tenaga Kerja serta Program Penilaian Kinerja Perusahaan (PROPER).
Dengan adanya regulasi yang mengatur perusahaan agar melaksanakan program  CSR terutama yang termuat dalam ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas pada pasal 74 tahun 2007 tersebut, bila ditinjau dari aspek teoritis merupakan jenis perikatan yang lahir karena adanya perundang-undangan[31], dimana perikatan tersebut melahirkan kewajiban atas perusahaan. Pelaksanaan prinsip CSR sebelumnya merupakan program perusahaan yang bersifat “sukarela” (foluntary), hingga arah untuk mengoptimalkan kinerja perusahaan dalam hubungannya dengan stakeholder membutuhkan hubungan yang bersinergi. Perusahaan dalam hal ini membutuhkan regulasi yang jelas dalam pelaksanaan program CSR-nya disamping dukungan dari masyarakat.
2.5. Perseroan Terbatas dan Konsep Tanggung Jawab Dalam Makna Voluntary  dan Liability
Kata “perseroan” yang berada dalam teks CSR yang termuat dalam pasal 74 UUPT Tahun 2007 adalah dalam arti badan hukum, atau yang lebih dikenal dengan Perseroan terbatas. PT adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi atas saham, dan memenuhi persaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaanya”. Badan hukum (rechtpersoon, legal persons, persona moralis) adalah subjek hukum. Badan hukum adalah salah satu jenis perkumpulan dalam arti luas. Badan hukum adalah kumpulan manusia yang oleh hukum diberi status “persoon” yang memiliki hak dan kewajiban  seperti manusia[32]. Badan-badan dan perkumpulan yang merupakan kumpulan manusia itu diberi status persoon, memiliki kekayaan sendiri, dan dapat turut serta dalam lalu lintas hukum melalui perantaraan pengurusnya, badan tersebut dapat menggugat dan digugat dimuka pengadilan.
Menurut Utrecht[33], badan hukum (rechtpersoon) yaitu badan hukum yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak yang tidak berjiwa, atau yang lebih tepat yang bukan manusia. Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan  adalah suatu gejala yang riil, merupakan fakta dalam pergaulan hukum biarpun tidak berwujud manusia atau benda. Yang menjadi penting bagi pergaulan hukum ialah hal badan hukum itu mempunyai kekayaan (vemogen) yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum itu berupa korporasi. Hak dan kewajiban badan hukum sama sekali terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya.
Menurut Subekti badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan, seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat dan menggugat didepan hakim. Badan hukum adalah suatu bentuk hukum dari suatu perusahaan, yang merupakan salah satu pengertian ekonomi yang juga masuk kedalam ruang lingkup hukum perdata, khususnya dalam hukum dagang[34]. Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara tidak terputus-putus, terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba (bagi diri sendiri). perkembangan dunia usaha membawa dampak pada pengertian perusahaan yang menyangkut bentuk bidang kegiatan usaha dan sebagainya. Dalam perkembangan itu munculah sebutan hukum perusahaan (Corporate Law). Dilihat dari objek pengaturannya, maka hukum perusahan itu diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hukum perusahaan merupakan hukum yang khusus (lex specialis) dari hukum perdata (lex generalis).  hukum perusahaan itu merupakan pengkhususan lebih lanjut dari hukum dagang. Atau dengan kata lain hukum perusahaan adalah hukum yang secara khusus  mengatur tentang bentuk-bentuk perusahaan serta segala aktifitas kegiatan yang berkaitan  dengan jalannya suatu perusahaaan[35].
Ruang lingkup hukum perusahaan ada pada hukum perdata (khususnya hukum dagang)  dan sebagian pada hukum administrasi negara, yang tercermin dari peraturan perundang-undangan diluar hukum perdata  dan hukum dagang. Selain itu, hukum perusahaan juga termasuk dalam cakupan hukum ekonomi, sehingga dapat dikatakan bahwa perusahaan mempunyai tiga aspek yaitu pertama, Hukum ekonomi perusahaan hukum dagang/perdata (privat) dan hukum administrasi negara (publik).
Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan dasar hukum perusahaan, terutama perusahaan yang berbentuk PT itu adalah badan hukum yang diatur dalam hukum perdata dan kitab Undang-undang hukum dagang serta peraturan-peraturan diluar kedua kitab tersebut, misalnya PT yang diatur dalam UUPT  dan perusahaan (negara) perseroan (persero) yang diatur dalam undang-undang tersendiri sebagai badan hukum perdata. Oleh karena itu, diketahui bahwa yang dimaksud dalam  pasal 74 UUPT sebagai pelaksana dari tanggung jawab sosial adalah badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas yang merupakan organisasi ekonomi yang lebih di khususkan pada perseroan yang bidang usahanya berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.
Pemaknaan umum atas tanggung jawab dalam perusahaan adalah suatu tanggung jawab perusahaan yang bersifat kesukarelaan (voluntary) dan tidak ada sanksi yang bersifat memaksa bagi para pihak yang tidak melaksanakannya. Bahkan dengan adanya tambahan kata sosial maka persepsi kita justru terfokus pada aktivitas perusahaan yang dilakukan secara suka rela yang dituangkan dalam berbagai aktivitas sosial, seperti kedermawanan (philanthropy), kemurahan hati (charity), bantuan terhadap bencana alam, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Dengan kata lain CSR tidak lebih dari “morality” saja. Pada hal CSR tidak sesederhana makna yang timbul dari persepsi yang terbentuk dalam mainstream kita selama ini. Untuk itu, sub bab ini akan menjelaskan beberapa hal yang terkait dengan CSR dan ruang lingkupnya dalam aras pemikiran hukum.
Secara teoritis, konsep CSR dihadapkan paling kurang dua pemaknaan tanggung jawab itu sendiri; pertama, tanggung jawab dalam makna responsibility atau tanggung jawab moral atau etis. Kedua, tanggung jawab dalam makna “liability” atau tanggung jawab yuridis atau hukum. Lebih lanjut mengenai perbedaan kedua tanggung jawab dibahas pada sub bab berikut.
2.5.1.Tanggung jawab dalam makna voluntary
Menurut Burhanudin Salam[36] dalam bukunya “Etika Sosial” menyatakan bahwa tanggung jawab yaitu “resposibilitty is having the character of a free moral agent : capable of the determining one’s acts; capable detered by the considerations of sanctions or consequences.” berdasarkan pengertian tersebut dapat dicatat dua hal yaitu :
1.      Harus ada kesanggupan untuk menetapkan suatu perbuatan
2.      Harus ada kesanggupan untuk memikul resiko dari suatu  perbuatan.
Lebih jauh lagi dalam memaknai kata “having the character”, dimana terdapat “suatu keharusan atau kewajiban” di dalamnya sekaligus mengandung makna pertanggung jawaban moral atau karakter. Karakter disini merupakan sesuatu yang mencerminkan nilai dari suatu perbuatan. Sementara konsekuensi dari suatu perbuatan dapat dimaknai suatu perbuatan yang hanya terdapat dua alternatif penilaian, yaitu, tahu bertanggung jawab atau tidak tahu bertanggung jawab. Sementara makna tanggung jawab itu sendiri dalam filsafat hidup dijadikan sebagai salah satu kriteria kepribadian (personality) “seseorang”
Bila kata tanggung jawab ini dilihat dari aspek filosofisnya, terdapat tiga unsur yang harus dipahami yaitu : pertama, kesadaran (awareness). Berarti tahu, kenal, mengerti, dapat memperhitungkan arti, guna sampai kepada soal akibat perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Dengan kata lain bahwa seseorang baru dapat diminta pertanggung jawaban, bila yang bersangkutan sadar tentang apa yang dilakukannya. Kedua, kecintaan atau kesukaan (affiction). Berarti suka, menimbulkan kepatuhan, kerelaan dan kesediaan berkorban. Rasa cinta timbul atas dasar kesadaran, apabila tidak ada kesadaran berarti rasa kecintaan untuk bertanggung jawab ini tidak akan muncul.
Ketiga, keberanian (bravery). Berarti suatu rasa yang didorong keikhlasan, tidak ragu-ragu dan tidak takut dengan segala rintangan. Suatu keberanian harus disertai dengan suatu perhitungan, pertimbangan dan kewaspadaan atas segala kemungkinan. Dengan demikian keberanian itu timbul atas dasar tanggung jawab. Pada sisi lain kata “responsibility” ditujukan bagi adanya indikator penentu atas lahirnya suatu tanggung jawab, yakni suatu standar yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam suatu kewajiban yang harus ditaati.
Jadi prinsipnya tanggung jawab dalam arti voluntary resposibility lebih menekankan pada suatu perbuatan yang harus atau wajib dilakukan secara sadar dan siap untuk menanggung segala resiko dan atau konsekuensi apapun dari perbuatan yang didasarkan atas moral tersebut. dengan kata lain resposibility merupakan tanggung jawab dalam arti sempit yaitu tanggung jawab yang hanya disertai sanksi moral, sehingga tidak salah apabila pemahaman sebagian pelaku usaha dan atau perusahaan terhadap CSR hanya sebatas tanggung jawab moral yang mereka wujudkan dalam bentuk charity maupun philanthropy.
2.5.2. Tanggung Jawab Dalam Makna Liability
Tanggung jawab dalam makna liability merupakan tanggung jawab dalam pengertian hukum. Pada tataran praktis diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab  keperdataan. Menurut Pinto liabiliti menunjukan kepada akibat yang timbul kegagalan untuk memenuhi standar tersebut. sedangkan bentuk tanggung jawabnya dinyatakan dalam bentuk ganti rugi dan pemulihan sebagai akibat dari terjadinya kerusakan atau kerugian.
Dalam hukum keperdataan prinsip-prinsip tanggung jawab dapat dibedakan sebagai berikut :
a.       Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya unsur kesalahan (liability based on fault)
Sejarah lahirnya prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan pada awalnya dikenal dalam budaya Babylonia kuno, kemudian dikembangkan pada masa Romawi dalam doktrin “culpa” dalam “lex equila”, dimana setiap kerugian baik sengaja maupun tidak sengaja harus selalu diberikan santunan. Kemudian prinsip ini menjadi hukum Romawi moderen sebagaimana dapat dilihat pada pasal 1382 Code Civil Prancis yang berbunyi “any act whatever  done by a man which cause demage to anather obliges  him by whose fault the demage was cause to repair it”.
Belanda mengadopsi pasal tersebut dari Prancis sebagai bekas jajahannya. Hal ini dapat terlihat pada pasal 1401 BW yang berbunyi “elke onrechtmatige daad, waardoor aan een order schade wordr toegebracht, stelt dangenen door wins schuld de schade veroorzaakt isi n de verpligheid veroorzaakt heeft”. Sedangkan pasal tersebut di Indonesia diberlakukan prinsip tanggung jawab  berdasarkan kesalahan adalah atas asas kongkordansi. Ketentuan tanggung jawab atas kesalahan yang dituangkan dalam pasal 1365 KUHPer yang berbunyi “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang, karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut”[37].
Pasal 1365 KUHper ini tidak merumuskan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), tetapi hanya mengemukakan unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dikuantifikasikan sebagai “perbuatan melawan hukum”. Adapun unsur-unsur perbuatan melawan hukum itu adalah sebagai berikut[38] :
1.      Adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat;
2.      Perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya;
3.      Adanya kerugian yang diderita penggugat sebagai akibat kesalahan tersebut.
Makna perbuatan melawan hukum disini, bukan hanya dalam arti positif tapi juga negatif yaitu meliputi tidak berbuat sesuatu yang seharusnya menurut hukum orang harus berbuat. Sedangkan makna kesalahan disini adalah dalam pengertian umum yaitu, baik karena kesengejaan maupun karena kelalaian. Dalam penerapan pasal 1356 KUHPer ini adanya keharusan dimana penggugat membuktikan adanya kerugian tersebut, sebagai akibat dari perbuatan tergugat.
Sehubungan telah keluarnya New BW di Belanda pada tahun 1992, maka rumusan tentang onrechtmatige daad juga turut berubah. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 6.162.2 yang merumuskan bahwa perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak (subjektif ) orang lain atau perbuatan yang bertantangan dengan kewajiban menurut Undang-undang atau bertantangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis seharusnya dijalankan oleh seseorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenaran menurut hukum[39].
Rumusan onrechtmatige daad dalam BW ini dalam arti luas, karena perbuatan melawan hukum yang dimaksud tidak hanya harus bertantangan dengan Undang-undang tetapi juga kebiasaan dalam suatu komunitas masyarakat tertentu. Namun demikian, rumusan tersebut masih mencantumkan persyaratan yaitu adanya alasan pembenaran menurut hukum. Berarti makna dalam arti luas itu tidak akan berbeda akhirnya dengan prinsip yang bertantangan dengan undang-undang. Hal ini juga didukung oleh sistem hukum di Belanda yang bersifat legisme dalam arti yuridis formal.
b.   Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (presumptions of liability)
Menurut prinsip ini, tergugat dianggap bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul, tetapi tergugat dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya apabila ia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah  (absence of fault).  Sebenarnya prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga adalah prinsip tanggung jawab yang juga didasarkan atas adanya kesalahan (liabilyti based on fault) tetapi dengan menekankan pada pembalikan beban pembuktian (shifting of the burden of proof) kepada pihak tergugat.
Apabila prinsip ini ditarik pada tanggung jawab perusahaan, bilamana ada masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu perusahaan, baik sebagai akibat aktivitas perusahaan ataupun karena keberadaannya, dalam hal ini masyarakat bisa langsung menggugat perusahaan dan pihak perusahaanlah nantinya yang dibebankan untuk membuktikan bahwa kerugian yang dialami masyarakat bukanlah kesalahan pihak perusahaan yang dimaksud.
c.   Prinsip tanggung jawab mutlak (absolut liability atau strict libility)
Pada prinsipnya, lahirnya tanggung jawab mutlak tidak terlepas dari doktrin “onrechtmatige daad” sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1365 yang mengedepankan adanya unsur kesalahan (fault). Dengan kata lain, harus ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Pada fakta empiris, tidak semua unsur fault dapat dibuktikan, bahkan ada yang tidak dapat dibuktikan sama sekali untuk mengatasi keterbatasan fault based liability tersebut. dikembangkanlah asas pertanggung jawaban mutlak (strict liability).
Strict liability merupakan bentuk pertanggung jawaban perdata yang tidak memerlukan unsur fault, sebagai unsur utama dalam pertanggung jawaban perdata. Dalam hal terjadinya fault based (perbuatan melawan hukum). Dengan demikian beban pembuktian penggugat menjadi ringan karena tidak dibebani pembuktian adanya unsur fault. Namun demikian pihak penggugat tetap dibebaani untuk membuktikan kerugian (injured party) yang dialaminya sebagai akibat dari aktivitas pihak sitergugat. Hal ini diistilahkan dengan pembuktian kausalitas (causal link). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Green Paper on Remedying Enviromental Damage yaitu”strict libility, or liability without fault, eases the burden of establishing liability because fault need not be established. However, the injured party  maust still prove that the demage was caused by some one’s act…”[40].
Perkembangan pertanggung jawaban mutlak, selain dalam bentuk strict liability juga dikenal terminologi absolute liability. Para pakar sendiri dalam menggunakan kedua terminologi ini sering bolak balik, malah ada yang membedakan sekaligus menyamakannya. Namun demikian menurut Bin Chang menegaskan perbedaan keduanya. Dalam strict liability tuntutan atas perbuatan yang menyebabkan kerugian itu harus dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab. Dengan kata lain dalam strict liability harus terdapat causa link antara orang (perusahaan) yang benar-benar bertanggung jawab dengan kerugian tersebut, selain itu dalam strict liability semua hal yang biasanya dapat membebaskan tanggung jawab (usual defence) tetap diakui, kecuali hal-hal yang diarahkan pada pernyataan tidak bersalah (asence of faulty) karena unsur kesalahan tidak diperlukan lagi[41].
Lain lagi halnya dengan absolute liability, dimana tanggung jawab akan timbul kapan saja tanpa mempermasalahkan oleh siapa dan bagaimana terjadinya kerugian tersebut. dengan demikian dalam absolut liability tidak diperlukan adanya kausalitas dan hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab sepanjang dinyatakan secara tegas.
Selain konsep tanggung jawab dalam hukum keperdataan sebagaimana dijelaskan diatas, khusus dalam gugatan keperdataan yang berkaitan dengan hukum lingkungan ada beberapa teori tanggung jawab lainnya yaitu[42] :
a.      Market Share Liability
Teori ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengantisipasi persoalan dimana penggugat menderita kerugian akibat pencemaran atau aktivitas sejumlah industri. Dalam teori ini penggugat diharuskan menghadirkan sejumlah industri sebagai pihak yang diduga sebagai kontributor substansial (subtantial share) terhadap timbulnya zat-zat pencemar. Beban pembuktian dalam teori ini berpindah pada tergugat untuk membuktikan bahwa tergugat tidak melepaskan zat-zat pencemar seperti yang dituduhkan penggugat.

b.      Risk Contribution
Tujuan pengembangan teori ini tidak berbeda dengan maksud dan tujuan dari pengembangan teori market share liability yaitu mengatasi permasalahan, dimana penggugat mengalami kerugian yang disebabkan pencemaran, tetapi tidak dapat diidentivikasi  secara pasti penyebab kerugian tersebut. penggugat hanya berhasil mengidentifikasi zat-zat pencemar serta kadar yang dikonsumsi penggugat. Dalam hal ini, penggugat dapat mengajukan gugatan pada suatu industri/produsen dari bahan kimia berbahaya tersebut. kemudian tergugat bertanggung jawab memasukan pihak ketiga lainnya yang dianggap sebagai konributor terhadap timbulnya kerugian penggugat.
c.       Concert of Actions
Teori ini muncul dan berkembang sebagai jawaban terhadap kemungkinan terlibatnya pihak-pihak lain yang membantu dan bekerja sama dengan pencemar, sehingga perbuatan pencemaran dapat dilaksanakan dengan sempurna. Melalui teori ini pihak konsultan yang memberikan advis untuk tidak mengoperasika alat pembuangan limbah dapat dituntut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami penggugat. Berdasarkan teori ini pemerintah dapat juga dituntut sebagai pihak yang memberikan persetujuan atas kerugian yang dialami penggugat.


d.      Alternative Liability
Teori ini muncul didasarkan atas prinsip bahwa sangat tidak adil apabila tergugat harus dibebaskan hanya karena penggugat tidak dapat membuktikan secara pasti satu dari sekian banyak pihak yang bertanggung jawab atas perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain.
e.       Enterprise Liability
Teori pertanggung jawab ini merupakan perluasan pengertian dari teori market share liability. Teori ini diterapkan pada situasi dimana penggugat tidak dapat secara spesifik menunjuk pelaku pencemaran dari sekian banyak perusahaan-perusahaan yang potensial menjadi penyebab ternyata telah memenuhi standar dan petunjuk yang telah ditetapkan. Dalam teori ini penggugat diperbolehkan melibatkan seluruh perusahaan yang dianggap potensial menyebabkan kerugian penggugat, serta pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian Rencana  Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) serta perizinan. Tanggung jawab atas kerugian penggugat diletakkan secara tanggung renteng (jointly liable for injuries caused by pollution).
Perlu disadari bahwa dari sekian banyak konsep  dan teori tentang tanggung jawab dalam konteks hukum keperdataan, ternyata masih belum dapat mengatasi persoalan pertanggungjawaban (liability) suatu perusahaan atas dampak aktivitas yang dilakukannya. Salah satu penyebabnya adalah sistem pembuktian dalam hukum acara perdata di Indonesia tidak mengenal pembuktian terbalik. Sedangkan Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup hanya mengenal strict liability dimana penggugat tidak perlu lagi membuktikan unsur kesalahan (fault) tergugat.
Selain konsep dan atau teori tentang tanggung jawab sebagaimana telah diuraikan diatas, tidak salah pula kiranya melihat pertanggung jawaban dalam konteks keperdataan yang didasarkan atas perjanjian atau kontrak. Hal ini didasari bahwa  sebagian besar aktivitas dunia usaha didasarkan atas kontrak, dan tidak sedikit pula permasalahan yang timbul karena para pihak tidak mengindahkan kontrak yang telah dibuat, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya, termasuk juga masyarakat.
Buku ke-III dalam Kitab Undang-undang Hukum perdata yang mengatur tentang perjanjian, dari sekian  banyak dari pengaturan tersebut ada beberapa pasal yang dapat menjadi dasar diwajibkannya CSR pada perusahaan dalam setiap aktivitas bisnisnya. pada pasal 1233 yang menentukan tentang perikatan (van verbintenissen). Dimana disebutkan bahwa perikatan dapat timbul dari perjanjian dan oleh karena adanya Undang-undang. selanjutnya pada pasal 1234 menjelaskan bahwa perikatan yang dibuat tersebut ditujukan untuk memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Dalam konteks penerapan prinsip CSR pada perusahaan dapat dapat kita asumsikan bahwa dengan diregulasikannya prinsip ini dalam UUPT, maka prinsip CSR termasuk dalam makna perikatan yang timbul oleh karena adanya Undang-undang dan sekaligus sebagai landasan liability terhadap pelaksanaannya pada perusahaan.
Selanjutnya dalam ketentuan pasal 1338 yang menjadi aturan hukum atau dasar kekuatan mengikat adalah perjanjian. dimana jika para pihak melakukan perikatan dan telah memenuhi segala persyaratan untuk syahnya suatu perjanjian. Pasal tersebut menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya dimana dalam klausul tersebut terkandung asas konsensualisme, yaitu kekuatan mengikatnya suatu perjanjian berlaku sebagai liability bagi para pihak yang mengikat perjanjian tersebut. Selanjutnya persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik  kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Dalam pasal tersebut juga memuat asas itikad baik sebagai syarat putusnya perjanjian atau dengan kata lain, perjanjian dianggap tidak sah secara hukum bilamana didasarkan atas suatu perbuatan melawan hukum dan atau itikad buruk oleh salah satu atau kedua belah pihak.
Berdasarkan ketentuan pasal 1338 KUHPer ini tidak ada alasan bagi para pihak untuk tidak melaksanakan apa yang telah mereka sepakati. Ketentuan ini dikenal sebagai asas “pacta sunt servanda” (perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak). bagi pihak yang tidak melaksanakan isi perjanjian tersebut disebut melakukan wanprestasi. Setiap pihak yang melakukan wanprestasi dapat diminta pertanggung jawaban sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian. Dengan demikian tanggung jawab yang lahir atas dasar perjanjian dapat disebut tanggung jawab hukum, karena apa yang telah disepakati oleh para pihak sepanjang memenuhi syarat syahnya perjanjian  merupakan hukum bagi para pihak itu sendiri.
Masalahnya sekarang adalah berkaitan dengan “perjanjian atau kontrak sosial” (social contract) antara pihak perusahaan dengan masyarakat. Dalam terminologi kontrak sosial ini antara perusahaan dengan masyarakat tidak pernah ada perjanjian secara langsung, lalu apa yang menjadi dasar masyarakat menggugat perusahaan untuk bertanggung jawab?. Berkaitan dengan hal tersebut, Tom Canon[43] menyatakan bahwa pada saat suatu perusahaan melakukan suatu aktivitas usahanya maka pada saat yang bersamaan itu pula lahirnya kontrak sosial antara perusahaan dengan masyarakat.
Suatu pembuktian jika hanya dilihat dari aspek pembuktiannya, dalam hal ini kontrak dalam bentuk tertulis, tentu kontrak sosial tidak memenuhi kriteria tersebut. namun demikian perlu dimaknai bahwa kontrak sosial itu pada prinsipnya mendeskripsikan bahwa akan tanggung jawab moral dan etis suatu perusahaan terhadap stakeholders-nya, baik itu berkaitan dengan segala aktivitas bisnisnya maupun dampak yang ditimbulkan perusahaan. Secara eksplisit kontrak sosial ini tidak pernah ada, akan tetapi ada dalam “fictions” perusahaan dan masyarakat saja. Dengan kata lain kontrak sosial itu hanya “dianggap ada” dalam pemikiran para pihak. Berdasarkan makna tersebut, masyarakat “menuntut” atau “menggugat” pihak perusahaan untuk bertanggung jawab atas segala sesuatu yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas perusahaan.
Berdasarkan uraian diatas dapat diasumsikan bahwa perbedaan antara tanggung jawab dalam makna responsibility dengan tanggung jawab dalam makna liability pada prinsipnya hanya terletak pada sumber pengaturannya. Jika tanggung jawab itu belum ada pengaturannya secara eksplisit dalam suatu norma hukum, maka termasuk dalam makna voluntary dan sebaliknya jika tanggung jawab itu telah diatur dalam norma hukum maka termasuk dalam makna liability.



[1] Wibisono, Yusuf, 2007, Membedah konsep CSR; Seri Menejemen Berkelanjutan, CV. Ashkaf Media Grafika, Surabaya. Hal 24-26
[2] Iriantara, Yosal ; 2004, Community Relations ; Konsep dan aplikasinya, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, hal ; 49-51
[3] Wahyudi, Isa loc.cit, hal 103
[4] Wibisono, Yusuf.2007. Membedah konsep CSR; Seri Menejemen Berkelanjutan. CV. Ashkaf Media Grafika Surabaya. Hal 23-25
[5]   ibid
[6] Chambers dalam Iriantara, Yosal ; 2004, Community Relations ; Konsep dan aplikasinya, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, hal ; 49.
[7] Ibid.
[8] Majalah Bisnis & CSR, 2007, Reference for Decision Maker, Vol. I. La Tofi Interprise, Jakarta . hal : 67.
[9] Dougherty dalam Iriantara, yosal. Op.cit
[10] Syafrani, Andi, 2007, Paradoks Regulasi CSR, <www.multiply.inc.com>, diakses 15 April 2008.
[11] Syafrani, ibid.
[12] Milton Friedman’s dalam Wibisono, Yusuf. 2007. Membedah konsep CSR; Seri Menejemen Berkelanjutan. CV. Ashkaf Media Grafika Surabaya. hal : 17
[13] ibid, hal:18
[14] Wibisono, Ibid, hal : 18 lihat juga dalam Yosal Iriantara, Hal 42
[15] Frederick dalam Wahyudi, Isa, Loc.cit, hal : 21
[16] opcit
[17] ibid
[18] Freeman, R . Edward., 1984. Strategi Menegement: A strategi approach , Boston., Fithman : hal. 15. bandingkan dengan Henry R. Cheeseman dalam business law. hal 10
[19] ibid hal 25
[20]lihat dalam Budimanta, F.E., 1999, Fundamentals Of Financials Management Eight Edition,  the Dryden Press, USA. Hal : 89

[21] Hutagol, Ibid
[22] Porter dan Kremer dalam Hutagol hal : 34
[23] Budimanta, ibid
[24]Budimanta, A., Prasatijo, A. & Rudito, B., 2004, Corporate Social Resposibility : Jawaban Bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini, Indonesia Center For Sustainable Development, Jakarta. Hal : 73
[25] Hendry R. Cheeseman. 1992. Business Law;the Legal Ethical and International Environment. Prentice Hall, Englewood cliffs, New Jersey. hal : 12
[26] Adams C., at all., 1996, Accounting & Accountability; Changes and Challenge in Corporate Sosial and Environment Reporting, Prentice Hall, hal : 64.
[27] Markowitz, M. R. 1972. Choosing Socially Responsible Stock, Business and Society Review  hal : 71-75.
[28] Spicer, B. H. 1978. Investor, Corporate Sosial Performance and Information Disclosure :an Empirical Study, Accounting Revieu. hal :  94-111
[29] Hendry R. Cheesemant.loc.cit..
[30] Kotler, P & Lee, N., 2005, Corporate Social Responsibility : Doing The Most Good For Your Company And Your Cause, John Whiley & Sons, inc. Hoboken, New jersey.

[31] Muljadi, K.&Gunawan W. 2004. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 1-2. lihat juga KUHPer pasal 1233 dan 1234
[32] Kansil C.S.T& Cristina S.T.K, 2002, Pokok-Pokok Badan Hukum, pustaka sinar harapan, jakarta. Hal : 9
[33] Utrecht, dalam Sumantoro, 1986, Hukum Ekonomi, UI Press Jakarta. Hal 8
[34] Sumantoro, ibid . Hal 8
[35] ibid hal 10
[36] Salam, Burhanuddin, 1997, Etika Moral, Asas Moral Dalam Kehidupan Sosial Manusia, Renika Cipta, Jakarta, hal : 28
[37] Khairandy, Ridwan, 2006, Pengantar Hukum Dagang, UII Press, Yogyakarta, hal : 186-187
[38] lihat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1365
[39] Agustina, Rosa, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, program pasca sarjana UI, Jakarta, hal. 11
[40] Sentosa, Mas Ahmad, 2001, Good Governance & Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta hal 301-305
[41] ibid
[42] Wahyudi, isa loc.cit, hal 8-14
[43] Canon, Tom dalam isa wahyudi & azheri, B. loc.cit. hal. 12-13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar