A. PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang Masalah
Pada dasarnya fungsi
hukum sebagai sarana perwujudan tujuan masyarakat yang secara teoritis tujuan ini terkristalisasi
dengan yang disebut ide des recht
yaitu keadilan kemanfaatan dan kepastian hukum. Dalam konteks hukum
perlindungan Konsumen dimana masyarakat/konsumen, produsen/penjual berinteraksi
dengan sendirinya menimbulkan hak dan kewajiban antara mereka. Hubungan timbal
balik ini membutuhkan pengaturan yang disatu sisi mendorong pertumbuhan dunia
usaha dan pada sisi yang lain melindungi dan memberikan jaminan kepastian hukum
kepada konsumen.
Secara sederhana Perlindungan Konsumen dapat diartikan sebagai segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kata ‘konsumen’ yang menjadi
pengertian umum berasal dari bahasa Inggris “to consume” artinya memakan atau
menggunakan suatu barang atau jasa. Sedangkan orang yang memakan atau
menggunakannya disebut konsumen. Mengacu pada pengertian ini maka kita semua
adalah konsumen. Itulah kenapa membicarakan konsumen adalah seperti
membicarakan diri kita dan juga masalah kita bersama. Pemikiran tentang
perlunya perlindungan terhadap konsumen menjadi hal yang mutlak untuk
diakomodir dalam peraturan perundang-undangan. Begitupun dengan semakin
menguatnya kesadaran konsumen di luar negeri yang memunculkan gerakan
perlindungan konsumen yang perhatian utamanya adalah pada perjuangan hak-hak
konsumen.
Guidelines
for consumer protection of 1985 yang
dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) menyatakan : “konsumen dimanapun
mereka berada, dari segala bangsa mempunyai hak-hak dasar sosialnya”. Maksud
dari hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas,
benar dan jujur. Hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan
kebutuhan dasar manusia (cukup pangan dan papan), hak untuk mendapatkan
lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk mendapatkan pendidikan
dasar.
Sementara itu,
permasalahan yang dihadapi oleh konsumen di Indonesia pada umumnya, seperti
juga dialami oleh konsumen di negara negara berkembang lainnya, tidak hanya
sekedar bagaimana memilih barang tetapi jauh lebih kompleks yaitu menyangkut
pada kultur dan pemahaman semua pihak baik pengusaha, pemerintah, maupun
konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen, yang tentunya untuk
merealisasikan pelaksanaan kepastian hukum terhadap konsumen.
Sebagaimana tercatat
dalam evaluasi yang dilakukan oleh
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menjelaskan bahwa terjadi peningkatan
pengaduan sampai tahun 2012, bidang pengaduan YLKI menerima 624 pengaduan kasus
oleh konsumen (melalui surat dan kontrol langsung). Dari banyaknya kasus
tersebut, kasus yang diadukan ke YLKI adalah masing-masing bidang perbankan 115 kasus pengaduan (18%), perumahan 74 pengaduan (12%)
telekomunikasi/multimedia 71 kasus pengaduan (17%) Transportasi 50 pengaduan (8%), ketenaga
listrikan 48 pengaduan (8%), pengaduan
lain yang juga cukup signifikan adalah leasing sepeda
motor yaitu sebesar 35 pengaduan (6%), pelayanan PDAM 26 pengaduan (4%) asuransi 23 pengaduan (4%),
makanan/minuman 24 kasus (4%) (www.ylki.or.id/16-01/2012). Dengan mencermati
data tersebut diatas, maka masyarakat sebagai konsumen harus sadar akan hak-hak
yang dipunyainya, yaitu dapat melakukan sosial control terhadap perbuatan dan
prilaku pengusaha dan pemerintah.
Peraturan perlindungan
konsumen dilakukan dengan :
a.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung akses informasi serta menjamin kepastian hukum.
b.
Melindungi kepentingan konsumen.
c.
Meningkatkan kualitas barang
d.
Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek
usaha yang menipu dan menyesatkan.
e.
Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan
perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang
lainnya (Imran, 2003:2)
Secara sederhana
permasalahan pokok terhadap masalah perlindungan konsumen adalah bahwa konsumen
dan produsen (pengedar produk atau pengusaha) saling membutuhkan. Produksi
tidak akan ada artinya kalau tidak ada yang akan mengkonsumsikannya, dan produk
yang dikonsumsi secara aman dan memuaskan
dengan sendirinya dapat berfungsi sebagai pendorong majunya perusahaan
dengan mendapatkan promosi dari konsumen dan pada gilirannya mendorong
peningkatan kemajuan perusahaan.
Namun masih banyak hal
yang dapat merugikan konsumen sebagaimana yang dapat kita lihat sehari-hari di
kota Ternate, antara lain masih
banyaknya produsen dalam berbagai skalitasnya seperti, pengecer, pertokoan,
ritel, grosir baik barang yang berkategori sembako ataupun barang-barang yang
bersifat kebutuhan sekunder, elektronik maupun produk-produk jasa yang membatasi
hak-hak konsumen. Contohnya klausul “bahwa konsumen tidak dapat mengembalikan,
menukar dan atau membatalkan barang atau jasa yang telah dibeli atau adanya
ketidak puasan terhadap pelayanan jasanya.
Hal ini tentunya
meletakkan posisi konsumen sebagai subordinasi dari produsen. Bentuk komitmen produsen secara sepihak ini
tentunya bertantangan dengan ketentuan UUPK yang meletakkan kesejajaran antara
penjual/ produsen dan pembeli/konsumen dalam posisi dan nilai tawar yang
seimbang dalam pemenuhan hak dan kewajibannya sebagai penjual dan pembeli dalam
perjanjian jual beli antara mereka. Pembeli berkewajiban untuk membayar
sejumlah uang sesuai dengan jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang
disepakati dan sebaliknya penjual yang menerima insentif tersebut yang
merupakan haknya berkewajiban untuk
memyerahkan barang dan/atau jasa dalam jumlah dan kualitas yang sesuai dengan kesepakatan.
Kedudukan seimbang
seperti ini adalah bentuk ideal dalam perjanjian jual beli karena terpenuhi dan
unsur dan hak keperdataan serta aspek kepatutan antara subjek-subjek hukum
tersebut. Upaya ini dapat kita identifikasi dalam sasaran yang ingin dicapai
oleh UUPK sebagai sarana pencapaian keseimbangan kedudukan konsumen dan
produsen yang tidak saling mensubordinasikan salah satu pihak, yang dalam praktiknya
masih ketidak seimbangan tersebut masih didominasi oleh produsen sehingga tanpa
disadari produsen telah mengeksploitasi hak-hak keperdataan konsumen dan dalam
hukum hal ini disebut “perbuatan melawan hukum”.
Contoh yang dapat kita lihat pada umumnya,
adalah Masalah yang menyangkut mutu barang, harga barang, persaingan curang,
pemalsuan, penipuan, periklanan yang menyesatkan, hal-hal yang telah merugikan
harta atau kesehatan, bahkan dapat menimbulkan kematian, disamping dapat
menimbulkan pola konsumtif yang tinggi yang tidak sesuai dengan pendapatan dan
pendidikan masyarakat yang relative masih rendah merupakan masalah lainnya yang
cukup kompleks. Hal ini tentunya dibutuhkan instrument hukum dan konsitensi
penerapan, pengawasan yang intensif dari pemerintah yang dapat melindungi
hak-hak normative konsumen secara keseluruhan.
Berdasarkan hipotesis di atas penulis menganggap
perlu untuk mengkaji lebih jauh tentang perlindungan konsumen ini dalam
proposal kajian Karya ilmiah yang diberi judul
Penerapan Prinsip Product Liability Sebagai Salah Satu Instrumen Perlindungan
Terhadap Konsumen (Studi kasus di Kota Ternate)
II. Rumusan Masalah
Bedasarkan
uraian latar belakang dan hipotesis diatas, penulis mengkristalkan permasalahan
tersebut secara sederhana dalam dua permasalahan pokok yaitu :
1. Bagaimana aspek
hukum perlindungan konsumen di Kota Ternate terhadap “pertanggung jawaban
produk” yang dibeli tetapi cacat produknya?
2. Sejauhmanakah
kebijakan-kebijakan pemerintah kota dalam melaksanakan amanat UU dalam
kaitannya dengan perlindungan terhadap konsumen di Kota Ternate?
III.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui aspek hukum perlindungan
terhadap konsumen di Kota Ternate terhadap
pertanggungjawaban produk yang dibeli tetapi cacat produk tersebut? yang kedua
;
2. Untuk
mengetahui sejauh mana peran pemerintah kota dalam mengimplementasikan dan
mengawasi berjalannya mekanisme
perlindungan terhadap konsumen
IV.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan
disiplin keilmuan dibidang ilmu hukum utamanya umumnya dan hukum perlindungan
konsumen dalam pelaksanaan prinsip produk
liability khususnya.
2. Manfaat praktis
Diharapkan
dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait dalam menentukan
kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi konsumen di Kota
Ternate
B. KAJIAN PUSTAKA
I. Hukum Perlindungan Konsumen
1.
Pengertian
Secara yuridis formal
istilah konsumen dinyatakan dalam pasal 1 ayat (2) UU no 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen (selanjutnya disingkat (UUPK) yaitu “setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Hal yang sama juga ditentukan dalam Undang-undang nomor 5 tahun
1999 tentang larangan praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat istilah
konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik
untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk orang lain.
Posisi konsumen
dipandang masih lemah, maka harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat
sekaligus tujuan hukum adalam memberikan perlindungan (pengayoman) kepada
masyarakat. Bentuk pengayoman tersebut denga perlindungan hukum (Nasution,
2001:5) perlindungan konsumen diatur pada pasal 1 ayat (1) UUPK yaitu segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
Menurut Purwodarminto (1989:458) yang dimaksud dengan Hukum Perlindungan
Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan
melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para pengusaha
penyedia bang da/atau jasa konsumen. Pengusaha yang dimaksud diatas adalah
“pelaku usaha”. Pelaku usaha dinyatakan pada pasal 1 ayat (3) UUPK adalah
setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara Repoblik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.
Pendapat lain yang
berkaitan dengan hal tersebut diatas, dikemukakan oleh Az Nasution dalam
Sidharta (2006:11) bahwa hukum perlindungan Konsumen adalah bagian dari Hukum
konsumen yang memuat asas-asas atau kaida-kaida yang bersifat mengatur dan juga
mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen
diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan dan masalah antara pihak satu sama lain berkaitan dengan barang
dan/atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup.
2.
Hak-hak Konsumen
Istilah perlindungan konsumen
berkaitan dengan perlindungan hukum. Dengan kata lain perlindungan konsumen
sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak
konsumen. Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen (Sidharta: 2006:19)
yaitu hak untuk mendapatkan keamanan (the
right to safety); hak untuk mendapatkan informasi (the right to informed); hak untuk memilih (the right to choose) dan hak untuk didenganr (the right to heard).
Selain empat hak tersebut ada beberapa
hak untuk melengkapi hak-hak yang telah ada yaitu hak yang secara eksplisit
diatur dalam Pasal 4 UUPK, sementara satu hak terakhir dirumuskan secara
terbuka. Hak-hak konsumen itu sebagai berikut:
a. Hak atas
kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa:
b. Hak untuk
memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang da/atau jasa sersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa
d. Hak untuk
didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak utnuk
mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen
f. Hak untuk
mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk
diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
h. Hak untuk
mendapatkan dispensasi ganti rugi dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
Hak-lhak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lain.
Disamping hak-hak dalam Pasal 4
UUPK juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal
berikutnya, khusnya Pasal 7 UUPK yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha.
Kewajiban dan hak merupakan antinomy dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku
usaha dapat dilihat sebagai konsumen.
3.
Prinsip-Prinsip
Hukum Perlindungan Konsumen
a.
Prinsip
Tanggung Jawab Terhadap Konsumen
Prinsip tanggung jawab merupakan
hal yang sentral dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Dalam kasus pelanggaran hak
konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang bertanggung
jawab dan seberapa jauh tanggung jawab yang dapat dibebankan kepada pihak-pihak
yang terkait.
Secara umum prinsip tanggung jawab
dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut
a)
Kesalahan (liability
based on fault)
Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan
pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kessalahannya yang
dilakukannya. Ketentuan pada Pasal 1365 KUHPerdata mengharuskan terpenuhinya
empat unsur pokok yaitu: adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya
kerugian yang diderita serta adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan
kerugian. Makna kesalahan adalah unsur yang bertantangan dengan hukum, yang
tidak hanya secara legal juridis tapi juga meliputi kepatutan dan kesusilaan
masyarakat. Jadi dalam penerapan prinsip
ini, seandainya konsumen mengalami mendapatkan produk cacat atau rusak yang
dibeli atau yang diberikan oleh produsen maka produsen bertanggungjawab untuk memulihkan kerugian yang dialami oleh
konsumen tersebut
b)
Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability)
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap
bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentunya bertantangan
dengan prinsip praduga tidak bersalah (
presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun jika
diterapkan dalam hukum perlindungan Konsumen akan tampak asas tersebut cukup
relefan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban membuktikan kesalahan
itu ada pada pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti
yang menyatakan bahwa dia tidak bersalah.
c)
Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability)
Penerapanpan prinsip ini hanya diterapkan pada transaksi
konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh
penerapan prinsip ini yaitu pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan
pada bagasi kabin/bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh konsumen
adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini produsen tidak dapat
dimintakan pertanggung jawabannya.
d)
Tanggung jawab mutlak (absolute liability)
Prinsip ini adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan
tidak ada pengecualiannya. Prinsip ini dalam Hukum perlindungan Konsumen secara
umum digunakan untuk menjerat pelaku yang merugikan konsumennya. Asas ini
dikenal dengan prinsip product liability.
Menurut asas ini, produsen harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan
berdasarkan tiga hal yaitu: pertama,
melanggar jaminan, misalnya khasiat atau manfaat yang timbul tidak sesuai
dengan janji yang tertera dalam kemasan produk, kedua, adanya unsur kelalaian, yaitu produsen lalai dalam memenuhi
standar yang ditetapkan pada produknya, dan yang ketiga, menerapkan prinsip strict
liability
e)
Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability)
Pelaksanaan
prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan dalam klausula
eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip ini sangat
merugikan konsumen bila diterapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.
Sebagaimana yang diatur dalam UUPK bahwa seharusnya pelaku usaha tidak boleh
secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi
maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang jelas.
b.
Kedudukan
Konsumen
Ada beberapa doktrin dan teori yang
dikenal dalam hukum perlindungan konsumen, termasuk dalam kelompok ini adalah :
a) Let the buyer
bawere
Asas ini berasumsi, bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah
dua pihak yang memiliki kedudukan yang seimbang sehingga tidak perlu adanya
proteksi bagi konsumen. Artinya seimbang antara konsumen dan pelaku usaha dalam
melakukan transaksi keperdataan (jual beli) untuk wajib berhati-hati (prudential principle).
b) The due care theory
Teori ini menyatakan, bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban
untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa.
Selama berhati-hati dengan produknya maka sipelaku usaha tidak dapat
dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario,
maka untuk mempersalahkan pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan, bahwa
pelaku usaha itu melanggar prinsip-prinsip kehati-hatian.
Hukum pembuktian di Indonesia pada umumnya menganut pembagian beban pembuktian kepada
penggugat. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1865 KUHPer yang mengatur “barang
siapa yang mendalilkan mempunyai suatu
hak atau untuk meneguhkan hak nya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk
pada suatu peristiwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa
tersebut.
c) The Privacy of Contract
Prinsip ini menyatakan, bahwa pelaku usaha mempunyai
kewajiban untuk melindungi konsumen, terapi hal itu baru dapat dilakukan jika
diantara mereka telah terjalin hubungan kontraktual
Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal diluar yang
diperjanjikan. Artinya, konsumen dapat menggugat berdasarkan wanprestasi (Contractual Liability)
d)
Kontrak bukan syarat
Seiring dengan bertambahnya kompleksnya transaksi consumen, (Mariam,
1994:50) maka prinsip the privacy of
contract tidak lagi dipertahankan secara Mutlak untuk mengatur hubungan
antara pelaku usaha dan konsumen. Hal ini dikarenakan kontrak bukan lagi
merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.
4. Proses Beracara
Sengketa konsumen adalah sengketa yang berkenan
dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik
keperdataan, pidana maupun tata usaha Negara.
Proses beracara dalam
sengketa konsummen itu diatur dalam UUPK, walaupun UUPK hanya mengatur beberapa
pasal ketentuan beracara, maka secara umum ketentuan beracara seperti herziene
indoneshiche reghlement (HIR) dan Kitab Undang-undang hukum acara Pidana tetap
berlaku.
Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan “setiap konsumen yang
dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaiakan sengketa antara konsumen pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada dilingkungan Peradilan Umum” ayat (2) menyatakan “penyelesaian
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela para pihak yang bersengketa”.
Dalam kaitan dengan karakteristik
ini, maka proses beracara dalam hukum perlindungan konsumen mengenal adanya:
a)
Small Claim
Small claim adalah
jenis gugatan yang dapat diajukan oleh konsumen, sekalipun dilihat secara
ekonomis, nilai gugatannya sangat kecil. Ada alasan jenis gugatan ini diizinkan
dalam perkara konsumen, yaitu pertama, kepentingan dari pihak penggugat
(konsumen) tidak dapat diukur semata-mata dari nilai uang kerugiannya, kedua,
ada keyakinan bahwa pintu keadaan seharusnya terbuka bagi siapa saja, termasuk
para konsumen kecil dan miskin, dan ketiga, untuk menjaga integritas
badan-badan peradilan.
b)
Class
action
UUPK mengakomudasikan gugatan kelompok (class action) ini
dalam Pasal 46 ayat (1) huruf (b) yang menyatakan “gugatan atas pelanggaran
pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan
yang sama”. Hal ini dimaksudkan, bahwa gugatan kelompok tersebut harus diajukan
oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum,
salah satunya dengan adanya bukti transaksi.
Class
action secara umum wajib memenuhi empat syarat. Keempat syarat itu
(sidharta, 2006: 67) sebagai berikut :
1)
Numerousity, maksudnya
jumlah penggugat harus cukup banyak, yang jika diajukan secara sendiri-sendiri
tidak lagi mencerminkan proses beracara yang efisien
2)
Communality, ada kesaman soal hukum dan fakta antara pihak
yang diwakilkaan (class members) dan pihakyang mewakilinya (class representative)
3)
Tipicality yaitu
adanya kesamaan jenis tuyaitu ketentutan hukum dan dasar pembelaan yang
digunakan antara class members dan class representative
4)
Adequacy of
representative, yaitu kelayakan class class representative dalam mewakili
kepentingan class members. Ukuran kelayakan ini diserahkan kepada kelayakan
hakim
c)
Legal
Standing menurut Yusuf Sofie (2003: 33), untuk lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan
pada Pasal 46 ayat (1) huruf (c) : “lembaga perlindungan Konsumen swadaya
masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang
dalam anggaran menyebutkan dengan tegas tujuan didirikannya organisasi tersebut
untuk kepentingan perlindungan konsumen melaksanakan kegiatan sesuai dengan
anggaran dasarnya”.
II. Perlindungan Konsumen dengan Product Liability
1.
Product
liability
Menurut
Natalie O’Connor dalam Imran (2003:3): “Product
Liability, these were design to protect the consumer from faulty or devective
goods by imposing strict liability upon manufactures” dari definisi
tersebut dapat dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan tanggung jawab produk
adalah suatu konsepsi huku,m yang
intinya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
Product liability diartikan sebagai tanggung
jawab atas kerugian yang diakibaatkan oleh pemakaian atau penggunaan suatu
produk, atau yang berkaitan dengan barang konsumsi (Sabarrudin, 2003:3)
tanggung jawab produk , barang dan jasa meletakkan beban tanggung jawab
pembuktian produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk/produsen itu (strict
liability) hal ini dapat dilihat pada ketentuan pasal 22 UUPK yang menjyatakan
bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam perkara ini,
menmjadi beband an tanggung jawab pelaku usaha.
Kerugian
yang diderita oleh seorang pemakai produk yang cacat atau membahayakan, bahkan
juga pemakai yang turut menjadi korban,
merupakan tanggung jawab mutlak pelaku usaha pelaku usaha pembuat produk itu
(Pasal 19 UUPK). Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku usaha
pembuat produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas
terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali pelaku usaha tersebut
dapat membuktikan keadaan sebaliknya, bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat
dipersalahkan kepadanya.
Ketentuan
yang mengatur hal tersebut, yaitu perbuatan-perbuatan pelaku usaha yang
berakibat menimbulkan kerugian dan/atau membahayakan konsumen diatur pada Pasal
4,5,7-17, 19-21 dan pasal 24 sampai dengan pasal 28 UUPK.
a.
Pelanggaran jaminan (breach of n warranty) pelanggaran ini berkaitan dengan jaminan
pelaku usaha (khususnya produsen) bahwa barang-barang yang dihasilkan atau
dijual tidak mengandung cacat. Pengertian cacat
bisa terjadinya dalam konstruksi (construction
defect) desain (design defect)
dan atau pelabelan (lebeling defect).
Maksud jaminan (warranty) atas
kualitas produk ini adalah suatu jaminan atau garansi bahwa barang-barang yang
dibeli akan sesuai dengan standar kualitas produk tertentu. Jika standar itu
tidak dipenuhi, maka pembeli/konsumen dapat memperoleh ganti rugi dari pihak
produsen/penjual. Menurut Sabarrudin (2003:4) jaminan atas kualitas produk
dapat dibedakan atas dua macam, yaitu : pertama express warranty (jaminan secara tegas) adalah suatu jaminan
atas kualitas produk, baik dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dengan expres warranty ini maka
produsen/penjual yang telah menyalurkan barang atau produk bertanggung jawab
jika kekurangan atau kerusakan dalam produk yang dipasarkannya. Kedua implied warranty adalah suatu jaminan
yang dipaksakan oleh undang-undang atau hukum, sebagai akikbat otomatis dari
penjualan barang-barang dalam keadaan tertentu. Dengan implied warranty, dianggap
bahwa jaminan ini selalu mengikuti barang yang dijual, kecuali dinyatakan lain.
Misal, kewajiban penjual untuk menanggung
adanya cacat tersebut, kecuali ia dalam keadaan demikian telah minta
diperjanjikan bahwa dia diwajibkan menanggung suatu apapun (Pasal 1506 KUHPer)
b.
Kelalaian (negligence)
adalah apabila sipelaku usaha yang digugar itu gagal menunjukkan, ia cukup
berhati-hati (reasonable care) dalam
membuat, menyimpan mengawasi, memperbaiki, memasang label atau mendistribukan
suatu barang.
c.
Strict liability adalah
prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai factor yang menentukan. Namun ada
pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung
jawab, yaitu force majeure.
Pada Pasal 19 ayat (1) UUPK secara
tegas merumuskan tanggung Jawab Produk ini dengan menyatakan “pelaku usaha
bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan /atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan”. Maka, pihak korban/konsumen (Emmy Saragih, 2009:35) yang akan
menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal :
a)
Produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh
produsen;
b)
Cacat tersebut telah menyebabkan atau turut
menyebabkan kerugian/kecelakaan:
c)
Adanya kerugian. Namun juga diakui secara umum bahwa
pihak korban/konsumen harus menunjukkan pada waktu terjadinya kerugian, produk
tersebut prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen
(tidak ada modifikasi-modifikasi)
2.
Penerapan Prinsip
Strict Liability
Dalam
prinsip ini adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak
sebagai factor yang menentukan, namun ada pengecualian-pengecualian yang
memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majure Dengan diterapkannya tanggung
jawab mutlak (strict liability) ini,
maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang cacat atau
tidak dengan sendirinya dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan
ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Menurut Imran (2003:9)
alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah : Pertama, Diatara korban/konsumen di satu
pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung
oleh pihak yang memproduksi/ mengeluarkan barang-barang cacat tersebut
dipasaran. Kedua, Dengan
menempatkan/mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin
bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan dan bilamana
terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab; ketiga dengan atau tanpa menerapkan strict liability, produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat
dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang
eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada
agen, agen kepada produsen. Penerapan strict
liability ini dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang.
3.
Kewenangan Meminta
Pertanggung Jawaban Pelaku Usaha
Pada Pasal 46 butir (a) UUPK
mentukan bahwa seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya dapat meminta
pertanggung jawaban dari pelaku usaha. Pasal 46 butir (b) menyatakan bahwa
sekelompok konsumen yang memiliki kepentingan yang sama dapat meminta
pertanggung jawaban dari pelaku usaha, Pasal 46 butir (d) menentukan bahwa
pemerintah da/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi dan atau dimanfaatkan
mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/korban yang tidak sedikit
dapat meminta pertanggung jawaban dari pelaku usaha.
Pada Pasal 46 ayat (2) menyatakan
bahwa gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huru b, c dan d diajukan kepada peradilan umum. Dari pernyatan dalam ketentuan
tersebut UUPK mengakui gugatan kelompok atau class action. pada penjelasannya class action harus diajukan oleh
konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah
satu diantaranya adanya bukti transaksi.
Dengan demikian, kewenangan dalam miminta pertanggung jawaban
produsen dapat dilakukan oelh empat subjek hukum yaitu : pertama, konsumen itu
sendiri atau ahli warisnya secara pribadi, kedua, sekelompok konsumen yang
memiliki kepentingan yang sama, ketiga, lembaga perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat dan keempat, pemerintah atau instansi terkait, apabila akibat dari
pemanfaatan/konsumsi produk tersebut mengakibatkan kerugian materi yang besar
dan atau korban yang tidak sedikit.
C. METODE PENELITIAN
I.
Tipe Penelitian.
Penelitian ini menggunakan tipe
penelitian yuridis empiris, yaitu penelitian dengan cara menganalisa ketentuan
perundang-undangan kemudian membandingkan dengan kenyataan yang terjadi di
lapangan.
II.
Lokasi Penelitian.
Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di
Kota Ternate, yang sasarannya untuk menjawab permasalahan pertama penulis
menetapkan responden dan atau nara sumbernya adalah produsen barang dan atau
jasa di kota Ternate, sementara untuk menjawab permasalahan yang kedua penulis
tetapkan pada instansi-instansi yang terkait secara langsung dengan objek yang
diteliti
III.
Populasi dan Sampel
Penelitian hukum empiris yang menggunakan data
lapangan penulis menggunakan pendekatan random
sampling, dengan tujuan untuk
mendapatkan informasi, data yang objektif dari pelaku serta memudahkan penulis
dalam menkonstatitir permasalahan yang dihadapi konsumen dan mensistimatisirnya
sehingga dapat menulis deskripsikan dan mendapatkan kongklusi yang benar.
IV.
Tehnik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini meliputi:
1.
Studi Kepustakaan
Dalam
studi kepustakaan alat pengumpulan data digunakan adalah studi documenter
meliputi:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer);
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen;
c. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD);
d. Undang-Undang Otonomi Daerah;
e. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan perlindungan konsumen, serta
f. Ketentuan-ketentuan yang berlaku
secara sektoral mengenai hukum konsumen.
2.
Studi Lapangan
Dalam studi lapangan alat penggunaan data dipergunakan adalah
quisioner dan wawancara terhadap narasumber dan responden yang merupakan
representatif dari populasi secara menyeluruh, secara sederhana kongklusi
apapun yang didapatkan penulis diharapkan dapat mewakili penyimpulan terhadap
populasi secara menyeluruh.
Sedangkan, wawancara dilakukan terhadap sumber informasi yang
telah ditentukan sebelumnya dengan berdasarkan kepada pedoman wawancara,
sehingga wawancara yang dilakukan dapat diarahkan pada tujuan penelitian ini.
Responden yang diwawancarai mempunyai pengalaman tertentu
pada objek tertentu yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Dari
wawancara ini diharapkan dapat memberikan gambaran dari realitas yang
sebenarnya.
V.
Tehnik Analisis Data
Data yang telah disusun secara sistematik
dengan menggunakan metode analisis normatife kualitatif. Analisis normatif
maksudnya adalah melakukan analisis kualitatif. Analisis normatife ialah melakukan analisis terhadap
peraturan perlindungan hukum bagi konsumen PDAM. Norma hukum itu akan
dihubungkan dalam praktek perlindungan hukum bagi konsumen PDAM. Sedangkan
analisis kualitatif adalah melakukan analisis secara deskriptif dari informasi
yang disampaikan oleh narasumber maupun informan, artinya analisis digunakan
tidak menggunakan data yang bersifat perhitungan angka, atau secara
kuantitatif. Penggunaan metode kualitatif tidak terlepas dari sifat penelitian
hukuum yang holistic. Dengan metode ini juga dapat menjangkau analisis terhadap
kasus-kasus yang ada (case study)
secara menyeluruh terhadap factor-factor yang mempengaruhi di dalamnya. Hal
tersebut juga tidak terlepas dari arah penelitian hukum yang bersifat
kualitatif deskriptif.
D. DAFTAR PUSTAKA
AZ. Nasution, 1995, Konsumen Dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Badrulzaman Mariam Darus, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.
Badrulzaman, Mariam
Darus, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung
Fuadi, Munir, 1997, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
-------------------, 1999, Hukum Kontrak (dari sudut pandang hukum
bisnis), Binarupa Aksara, Jakarta.
Hadjon, Philipus M, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
J. Satrio, 1992, Hukum
Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Citra Aditia Bakti, Bandung.
Munir Fuadi, 1984, Perlindungan Konsumen Dalam Berbagai
Peraturan dan Perundang-undangan dan Pelaksanaannya di Indonesia,
Universitas Indonesia, Jakarta.
Muhammad, A, Kadir, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditia Bakti,
Bandung.
Setiawan, 1976, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Citra,
Bandung.
Sidharta, 2000, Hukum
Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo Jakarta.
Subekti, R, 1993, Aneka Perjanjian, Alumni Bandung.
Nasution, 2001, Hukum
Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Yogyakarta, Diedit Media
Poerdarminta, 1989, Kamus Besar Bahasa Indoensia, Jakarta
Balai pustaka
Sofie, Yusuf, 2003, Perlindungan Konsumen dan
Instrumen-instrumen Hukumnya, Citra Aditia Bhakti, Bandung
Sabarudin, 2003, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan
Konsumen, Medan, Fakultas Hukum USU
Sidharta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta,
Grasindo
Peraturan Perundang-undangan
Kitab undang-undang
Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 5
tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat
Undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar