BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pariodisasi dan Latar Belakang
Lahirnya Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Sejak awal dekade 1930-an telah muncul pemikiran
mengenai korporasi yang beradab. Tahun 1933, A. Berle dan G. Means meluncurkan
sebuah buku the Modern Corporations and Private
Property. Buku ini menyatakan bahwa seharusnya korporasi modern
mentransformasi diri menjadi institusi sosial dari pada institusi ekonomi yang
semata-mata hanya bertujuan untuk memaksimalkan laba. Pemikiran ini dipertajam
oleh Peter F. Druker pada tahun 1946 melalui buku yang ditulisnya “ the Concept of Corporations, yang
menyatakan secara tegas, bahwa manajemen harus memiliki tanggung jawab terhadap
profesinya, perusahaan dan karyawan serta tanggung jawab terhadap ekonomi dan masyarakatnya.
Pada tahun 1962 seorang ibu rumah tangga bernama Rachel Carson mengagetkan
dunia dengan buku legendaris berjudul Silent
Spring. Buku ini menunjukan bahwa betapa mematikannya pestisida bagi
lingkungan dan kehidupan. Buku ini menyadarkan bahwa tingkah laku korporasi
harus diluruskan sebelum semuanya mengalami kehancuran[1].
Dekade 1970-an dapat dikatakan sebagai dekade tarik
menarik seputar social responsibility
dari sebuah entitas bisnis, yaitu korporasi. Pada awal dekade ini seorang
ekomom terkemuka, Milton Friedman menyatakan pernyataan yang cukup
kontroversial pada saat itu, yaitu “there
is one only one social responsibility in business, to use its resources and
angage in activities designed to increase its profits”. Pernyataan ini
sangat kontroversial sebab tugas untuk sosial dan lingkungan pada hakekatnya
merupakan amanat milik pemerintah. Pernyataan itu seperti menantang kalangan
yang mulai resah dengan sepak terjang
korporasi yang semata-mata hanya memburu keuntungan. Pada tahun 1972,
para cendikiawan dunia yang tergabung dalam Club
Of Rome meluncurkan buku the Limits
to Growth, yang mengingatkan bahwa disatu sisi bumi memiliki keterbatasan
daya dukung, sementara pada sisi lain manusia bertumbuh secara eksponensial,
sehingga eksploitasi terhadap alam harus dilakukan dengan cermat agar
pembangunan dapat berkelanjutan[2].
Hingga dekade 1980-1990, perbincangan mengenai konsep
Corporate Social Responsibility terus
berlangsung. Pada dekade ini aktivitas kedermawanan perusahaan berjalan dengan
istilah filantropis dan Community Development. pada tahun 1992
diadakan KTT bumi di Rio, Pertemuan ini menegaskan konsep pembangunan
berkelanjutan (Sustainability
Development) sebagai konsep yang harus diperhatikan oleh negara dan juga
kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya semakin meluas[3].
Tekanan dari organisasi-organisasi pada tingkat global
agar kelestarian lingkungan, pemberantasan kemiskinan, serta upaya untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat dunia dalam upaya mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang mendorong berbagai elemen untuk ikut berperan serta,
termasuk sektor swasta dalam hal ini adalah pelaku bisnis. Hal tersebut dapat
kita lihat pada komitmen dari beberapa kali Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
yang membahas tentang lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan dan
perubahan iklim. Semua pembahasan tersebut merupakan bagian yang tak
terpisahkan dan merupakan latar “tanggung jawab sosial” suatu perusahaan.
Konferensi lingkungan hidup di Stockholm, Swedia pada tahun 1972 yang membentuk
badan khusus PBB untuk masalah lingkungan yaitu United Nations Environmental Programme (UNEP) yang bermarkas di
Nairobi, Kenya. PBB juga membentuk World
Commission on Environmental and Development (WCED) atas kesadaran akan
kerusakan lingkungan sebagai dampak dari pelaksanaan pembangunan selama ini. Pada tahun 1987 komisi ini
menerbitkan laporannya “Our Common Future”
dengan tema pembangunan berkelanjutan. Dalam laporan tersebut pembangunan
berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu upaya yang mendorong tercapainya kebutuhan generasi saat ini tanpa
mengorbankan kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya
pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan aspek lingkungan dan sosial[4].
Atas dasar Our
Common Future tersebut, diadakanlah berbagai konferensi internasional yang
membahas tentang konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, mulai dari KTT Bumi
(Earth Summith) di Rio de Jenerio,
Brasil pada tahun 1992 dan KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit On Sustainable Development) di Johannesburg, Afrika
Selatan pada tahun 2002. Dari konferensi tersebut disimpulkan bahwa pembangunan
berkelanjutan didasarkan atas tiga pilar utama yaitu aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan hidup.
Sebelum KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg
diadakan, PBB juga mengadakan COP 3 yang menghasilkan Protokol Kyoto pada
Desember 1997 dan KTT Millennium di New
York pada bulan September 2000. Protokol Kyoto
berkaitan dengan peran menjaga laju pemanasan global sebagai akibat peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) atau Green House Gases (GHGs) tersebut
disepakati dengan prinsip “Common but
Differentiated Responsibilities[5]”.
Sejumlah inisiatif tentang implementasi CSR juga
diusulkan oleh organisasi internasional independen seperti Global Reporting Initiative (GRI), International Standard
Organization (ISO) sebagai induk organisasi standarisasi internasional yang
menggagas panduan dan standarisasi CSR dengan nama ISO 26.000; Guidance standard on social responsibility,
lembaga pemerintah seperti Organisation
for Economic Cooperations and Development (OECD)
Semakin
meningkatnya kesadaran masyarakat global menjadikan alasan yang paling
rasional dicarinya alternatif-alternatif
tata kelola perusahaan yang baik, bertanggung jawab dan berlandaskan prinsip
etis dalam bisnis oleh berbagai kalangan, termasuk organisasi-organisasi
perusahaan itu sendiri. Tata kelola yang berlandaskan prinsip keberlanjutan (sustainability) mengedepankan
pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat disekitar perusahaan dalam mengelola
lingkungannya. kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan
sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya dalam operasionalisasi
perusahaan tersebut.
2.2. Definisi dan Teori-Teori Dominan
Terbentuknya Konsep CSR
Secara terminologis CSR
belum memiliki pengertian tunggal
yang dapat di generalisir, masih terdapatnya perbedaan pendapat tentang
pengertian maupun konsepsinya oleh para ahli. Chambers (2003)[6]
mendefinisikan CSR sebagai upaya perusahaan dalam melakukan tindakan sosial
termasuk lingkungan hidup lebih dari batas batas yang dituntut oleh peraturan
perundang-undangan. World Business
Council for Sustainable Development (WBSD) mengartikan CSR sebagai komitmen
berkelanjutan kalangan bisnis untuk berprilaku etis dan memberikan sumbangan
pada pembangunan ekonomi sekaligus memperbaiki mutu hidup angkatan kerja dan
keluarganya serta komunitas lokal dan masyarakat secara keseluruhan.
Definisi
CSR oleh Bank Dunia adalah Komitmen bisnis yang memberikan kontribusi bagi
pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para karyawan dan
perwakilan mereka, baik masyarakat setempat maupun umum, untuk meningkatkan kualitas
hidup dengan cara-cara yang bermanfaat baik bagi bisnis itu sendiri maupun
pembangunan[7]. Dengan nada yang sama Departemen Sosial
RI, memberikan batasan pengertian CSR sebagai komitmen dan kemampuan dunia usaha
untuk memberikan kepedulian, melaksanakan kewajiban sosial, membangun
kebersamaan, melakukan program/kegiatan kesejahteraan sosial, pembangunan sosial
kesejahteraan masyarakat sebagai wujud kesetiakawanan sosial dan menjaga
keseimbangan ekosistim di sekililingnya”[8]. Definisi yang lebih spesifik menurut
Dougherty (2003)[9],
tanggung jawab sosial itu merupakan perkembangan proses untuk mengevaluasi stakeholders dan tuntutan lingkungan
serta implementasi program-program untuk menangani isu-isu sosial. Tanggung
jawab sosial itu berkaitan dengan kode-kode etik, sumbangan perusahaan
program-program community relations
dan tindakan mematuhi hukum.
Perusahaan akan selalu mengalami perubahan yang
mengacu ke arah kebersamaan sebagai suatu sistem yang saling berfungsi. Hal ini
berkaitan dengan semakin mengglobalnya kepentingan perusahaan, sehingga
masing-masing perusahaan akan berkompetisi untuk dapat eksis dalam usahanya.
Untuk itu strategi yang diterapkan adalah menggalang keikut sertaan sebagai
pihak dalam mata rantai usaha yang dijalankannya. Dalam rangka berkompetisi
dengan perusahaan lain, maka perusahaan mau tidak mau harus menguatkan pondasi
eksisnya perusahaan itu sendiri. Usaha yang paling mendasar adalah melakukan
kerja sama dengan stakeholders yang berada di komunitas lokal.
Dalam diskursus hukum perusahaan (corporate law) teori dominan yang berperan dalam terbentuknya
konsep CSR ini yaitu, Other Constitusi
Theory. Epistimologi konsep CSR ditujukan
pada perlindungan terhadap other
constituencies. Argumentasi yang dibangun dalam teori ini, bahwa Perusahaan
sebagai institusi sosial yang tidak hanya mengakomudir kepentingan pemiliknya (shareholders), akan tetapi terhadap
multi konstituen (stakeholders). Pandangan
yang dikemukakan E. Merrick Dodd Jr. tersebut menjadi landasan filosofis
terhadap konsep CSR.[10]
Teori yang kedua yaitu Shareholder Primacy Theori, yang merupakan simpangan mendasar atas
OCT. yaitu shareholders primacy theory (SPT). Dalam teori ini penekanan utama perusahaan adalah kepentingan dan
pelayanan terhadap pemilik modal, yang
teraplikasi dalam struktur maupun operasional perusahaan. Kuatnya penetrasi teori ini dalam pemikiran
para ahli hukum menjadikannya semacam idiologi dogmatik utamanya pada
negara-negara yang menganut Common Law
System. SPT memiliki lima
karakter utama sebagai berikut. Pertama, Kontrol utama perusahaan harus
diberikan pada pemodal; kedua, menejemen perusahaan harus dibebani dengan
kewajiban untuk mengatur kepentingan pemodal; ketiga, kepentingan pihak-pihak
lainnya dilindungi melalui mekanisme kontraktual dan regulasi yang berada
diluar wilayah Corporate Governance;
pemegang saham minoritas juga harus
mendapatkan perlindungan dari eksploitasi pemodal besar; kelima, nilai jual
saham dipasar saham merupakan satu-satunya tolak ukur kepentingan pemilik modal
pada perusahaan publik.[11]
2.2.1. Pandangan Shareholder Teori Terhadap CSR
Sejak digulirkan konsep CSR langsung mendapat berbagai
tanggapan dari berbagai pakar, terutama pakar ekonomi. Salah satu tokoh yang
kontrofersial dalam menanggapi konsep CSR ini adalah ekonom besar amerika
serikat Milton Friedman’s. beliau adalah tokoh utama dari lahirnya
neo-liberalisme yang mengedepankan konsep pasar bebas yang didasarkan pada
doktrin ekonomi klasik Adam Smith yang terkenal dengan konsep “maximization profit” pada tahun 1976.
dalam perkembangan konsep ini justru mengarah pada doktrin “agama akumulasi
laba”.
Milton friedman’s[12]
berusaha mengeksplorasi pemikirannya sedemikian rupa oleh kritikannya terhadap
CSR dalam bukunya “Capitalism and
Freedom”. Kritikannya yang tajam tentang CSR yang dimuat dalam New York
Time Megazine, tanggal 13 September tahun 1970 yang berjudul “the Social Responsibility is Business in
Crease its Profits”. Artikel tersebut menekankan bahwa satu-satunya
tanggung jawab perusahaan adalah meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi
perusahaan. Tanggung jawab itu diletakkan pada bagian manajer yang sesuai
dengan aturan main yang berlaku dalam masyarakat, hukum maupun kebiasaan etis.
Tetapi manajer tidak mempunyai tujuan lain dan pasti tidak terikat dengan
tujuan-tujuan sosial yang asing terhadap tugasnya untuk menghasilkan keuntungan
sebesar mungkin untuk perusahaan.
Lebih lanjut Friedman’s menyatakan jika manajer
melaksanakan CSR atas nama perusahaan yang dituangkan dalam berbagai bentuk,
berarti manajer telah memungut pajak dari perusahaan dan sekaligus menentukan
bagaimana pajak itu digunakan. Memungut dan menggunakan uang pajak bukanlah
tugas manajer perusahaan tetapi adalah tugas pemerintah. Apabila manajer
mengimplementasikan CSR dalam aktivitas usahanya berarti manajer telah menyalah
gunakan posisinya. Dengan kata lain manajer telah melaksanakan tugas-tugas pemerintahan,
tetapi tugas itu dilakukan tanpa adanya kontrol demokrasi yang selayaknya
mengiringi setiap langkah tugas pemerintahan.
Selain itu Milton Friedman’s menegaskan bahwa doktrin
CSR telah merusak sistem ekonomi pasar bebas. CSR akan mengakibatkan sistem
ekonomi menuju kearah ekonomi berencana, seperti negara-negaa sosialis, dan doktrin
ini juga bersifat subversif terhadap masyarakat yang bebas dan demokrasi.
Friedman mengungkapkan bahwa dalam masyarakat bebas terdapat satu dan hanya
satu tanggung jawab sosial perusahaan, yakni memanfaatkan sumber dayanya yang
ada dan melibatkan seoptimal mungkin dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan
meningkatkan keuntungan, selama hal tersebut sejalan dengan aturan-aturan yang
ada. Dalam pengertian perusahaan harus melibatkan dirinya dalam kompetisi yang
bersifat terbuka dan bebas tanpa
penipuan dan kecurangan dalam upaya meningkatkan keuntungan perusahaan.[13]
Yang perlu dikritisi dari argumentasi yang dikemukakan
oleh Friedman”s tersebut yaitu berkaitan dengan penekanan tujuan dari
perusahaan yang hanya mementingkan kepentingan pemegang saham (shareholders)
dengan menghambakan diri pada doktrin “agama akumulasi laba”. Doktrin inilah
yang lebih dikenal dengan “shareholders
theory” sebagai wujud penolakannya terhadap konsep CSR.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa shareholder theory memandang bahwa fokus
CSR adalah pada manajer yang menjalankan tanggung jawab pokok perusahaan dan
tanggung jawab sebagai pihak fidusier untuk menghemat dan meningkatkan kekayaan
yang dipercayakan shareholders kepadanya
tanpa kecurangan. Sedangkan tanggung jawab lain yang dipikulkan kepadanya harus
berapa dibawah tanggung jawab tersebut.
Persoalan selanjutnya adalah indikator apa yang
digunakan untuk menyatakan etis tidaknya suatu tindakan CSR yang diambil oleh
manajer perusahaan. Berdasarkan teori ini, indikator yang digunakan untutuk
menentukan suatu tindakan manajer perusahaan dikatakan etis apabila mampu
menciptakan kekayaan dan atau keuntungan bagi shareholder dalam melakukan kegiatan usahanya. Jika indikator ini
tidak terpenuhi berarti manajer telah melakukan tindakan tidak etis, yang dalam
bahasa Friedmen’s disebut sebagai amoral[14].
Kritik atas teori ini oleh para pakar menyatakan
bahwa, shareholders theory tidak
mempresantasikan satu-satunya metode yang dapat digunakan untuk menentukan
etika CSR dengan berbagai alasan diantaranya berkaitan dengan tidak
komprehensif secara intelektual, memberikan ruang untuk korupsi, menyebabkan
manajemen bertindak tidak jujur, menciptakan rawan etika, melahirkan
pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab dan cenderung menghasilkan caos absolute atau kriminalitas dan
dengan merusak dasar kapitalisme yang praktis dan etis.
Lebih lanjut Frederick[15]
menjelaskan bahwa shareholders theori
telah memberikan legalitas dalam hubungan antara manajer dan direktur dengan shareholders. Mereka tidak hanya terikat
secara legalitas hukum negara, tetapi juga terikat atas dasar kontrak agensi.
Atas dasar hubungan ini tanggung jawab hukum disamakan dengan tanggung jawab
moral dan sosial. Sedangkan tanggung jawab minimalis muncul mengikuti tanggung
jawab minimum moral yang tertera dalam hukum. Sehingga Friedman’s menegaskan
bahwa dengan mengikuti dan mentaati hukum berarti telah melaksanakan tanggung
jawab sosial. Adapun argumentasi yang digunakan adalah hanya satu kewajiban
sosial yaitu menggunakan resources dan
terlibat dalam aktifitas yang direncanakan untuk meningkatkan profit sepanjang
sejalan dengan aturan yang ada.
Menyikapi hal tersebut, Frederick mengungkapkan tiga aspek yang
menjadi landasan pengambilan keputusan dalam aktivitas perusahaan sebagai
kritik terhadap teori tersebut, tiga aspek yaitu[16] :
1. Aspek Ekonomi
Berkaitan dengan sistem kapitalis yang dikembangkan oleh Adam Smith yang
telah terbukti sebagai mesin progres yang sukses sejak matinya rezim sosialis
pada dekade 1990-an. Kekuatan sistem kapitalis ini terdiri atas pasar bebas (free market) dengan
elemen-elemennya seperti profit
oriented, kebebasan konsumen, kompetisi antara penjual dan pembeli dan disiplin
pasar. Untuk itu pasar bebas harus dikawal dengan aturan hukum melalui
regulasi, terutama berkaitan dengan tanggung jawab sosial itu sendiri.
2. Aspek Legalitas
Merupakan aspek yang berperan sebagai “fasilitator” terutama berkaitan
dengan keselamatan dan perlindungan terhadap tenaga kerja, penyedia kredit atau
modal dan penyelesaian sengketa.
Meskipun demikian harus diakui bahwa hukum dan sistem hukum tidak pernah
sempurna mengikuti berbagai perkembangan dinamika masyarakat.
3. Aspek Etika
Aspek ini berkaitan
dengan nilai etis atau tidaknya suatu tindakan yang diambil oleh pihak
manajemen perusahaan. Sehingga aspek etika ini berusaha untuk tidak dijawab
oleh shareholders theory, karena
merupakan wujud dari suatu keputusan yang mencerminkan tanggung jawab sosial
perusahaan itu sendiri.
2.2.2. Pandangan
Stakeholders Theory terhadap CSR
Ramizes dalam bukunya Cultivating Peace, mengidentivikasi berbagai pendapat mengenai
stakeholder, beberapa defenisi yang penting dikemukakan para ahli seperti
freedman, yang mendefenisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang
dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu.
Sedangkan Biset secara singkat mendefinisikan stakeholder merupakan dengan
suatu kepentingan atau perhatian paa masalah tertentu.[17] Oleh
Carol dan Freeman,[18] stakeholder
didefinisikan sebagai beberapa individu atau group yang dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh tindakan-tindakan (action),
keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan, praktek-praktek atau tujuan dari
organisasi. Secara lebih luas Freeman mendefinisikan stakeholder merupakan
sekelompok individu yang berpengaruh
terhadap pencapaian tujuan perusahaan, sehingga secara eksplisit dapat
disimpulkan bahwa stakeholder dapat mempengaruhi kelangsungan hidup (goingconcern) perusahaan. Teori stakeholder merupakan sistem
eksplisit yang didasarkan pada pandangan
organisasi dan lingkungan yang mengalami proses dinamis dan kompleks dari
hubungan antara keduanya. Suatu organisasi terdiri dari beberapa stakeholders seperti karyawan, komunitas
(community), konsumen (costumer) dan lokasi/wilayah (state)
termasuk didalamnya seperti
supplier, pesaing, pemerintah lokal dan luar, pasar modal, industri, generasi
yang akan datang dan sebagainya.
Teori ini lahir bardasarkan kritikan
atas teori shareholders primacy theory dalam upaya meningkatkan tanggung
jawab sosial perusahaan. dalam teori ini memandang shareholders merupakan bagian dari stakeholder itu sendiri, atas
dasar pendekatan pada pihak yang terkait dengan perusahaan, maka stakeholders
ini dapat dikelompokkan atas dua, yaitu :
1. Kelompok primer
Kelompok ini terdiri atas pemilik modal atau saham (owners), kreditor, karyawan, pemasok,
konsumen, penyalur dan pesaing atau rekanan.
2. Kelompok sekunder
Sedangkan kelompok sekunder ini terdiri atas
pemerintah, pemerintah asing, kelompok sosial, media masa, kelompok pendukung,
masyarakat pada umumnya dan masyarakat setempat.
Kenneth Andrews[19]
menegaskan bahwa perubahan paradigma shareholders
menjadi paradigma stakeholders
terhadap perusahaan dalam tatakelolanya tidak terlepas dari tiga aspek, yaitu :
pertama, self-interest, adalah secara
personal akan memberikan stimulus kepada para eksekutif perusahaan yang akan
mengarahkan sumber daya bisnis untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Kedua,
moralitas adalah etika yang mengatur aktivitas kegiatan perusahaan dan ketiga,
nilai moral yang diyakini oleh perusahaan.
Dewasa
ini perusahaan dituntut untuk memiliki hubungan yang akrab dengan lingkungan,
komunitas-komunitas yang ada serta tidak mengejar keuntungan semata tetapi
lebih cenderung kearah, pemenuhan keuntungan yang sebagian keuntungannya
dialihkan dalam bentuk penanaman kepercayaan terhadap stakeholder lainnya. Peningkatan
paradikma ini telah menjadi suatu acuan perusahaan-perusahaan, sehingga dalam
mengimplementasikan konsep CSR masing-masing perusahaan akan berbeda-beda
tergantung pada bentuk lingkungan yang melingkupinya baik lingkungan alam
maupun komunitas sekitar serta bentuk-bentuk dan kepentingan-kepentingan stakeholder yang ada. Sedangkan bentuk
yang dapat ditarik dari kompetisi penerapan CSR oleh
perusahaan-perusahaan adalah bahwa perusahaan tidak lagi melakukan pemisahaan
antara dirinya sebagai suatu usaha dengan suatu komunitas disekitarnya, lebih
berhati-hati dan mengutamakan kepentingan masyarakat umum, tidak lagi mengejar
keuntungan semata tetapi berkecukupan, lebih mengarah ke kualitatif dan tidak
lagi kuantifikasi, mengutamakan kebutuhan, perusahaan dijalankan dalam kerangka
keberlangsungan jangka panjang, tidak bersandar pada aturan yang ketat tetapi
lebih mengarah kepada tanggung jawab serta mengubah bentuk dari pertumbuhan
menjadi keberlanjutan.
Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan konsep
tentang nilai dan standar yang dilakukan yang berkaitan dengan operasional
perusahaan. Dalam pelaksanaannya menimbulkan suatu pertanyaan, yaitu bagaimana
perusahaan besar berusaha untuk memenuhi kebutuhan modal dari para pemegang
saham sementara dipihak lain dalam waktu yang bersamaan perusahaan tersebut
harus meningkatkan kontribusinya kepada
masyarakat secara umum. Menurut World
Business Council For Sustainable Development (WBCSD) in fox. et.al (2002)[20]
mengungkapkan definisi Corporate Social
Resposibility atau tanggung jawab sosial perusahaan adalah komitmen bisnis
untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan
karyawan perusahaan, kekeluarga karyawan tersebut, berikut komunitas-komunitas
setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan
kualitas kehidupan. peningkatan kualitas kehidupan memiliki arti adanya
kemampuan manusia sebagai individu
anggota masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat
menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan yang
ada sekaligus memeliharanya. CSR merupakan proses penting dalam pengaturan
biaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis dari stakeholders baik secara internal maupun eksternal.
Wujud respon sosial yang dilakukan oleh perusahaan
tidaklah sederhana dan memiliki jalinan konflik yang relatif rumit, hal ini
karena stakeholder yang terlibat dalam pelayanan sosial yang dilakukan oleh
perusahaan cukup konpleks. Stakeholder dalam
CSR adalah negara, sektor privat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan
masyarakat, dalam program CSR keseluruhan entitas tersebut terlibat secara
bersama-sama.
Keterlibatan perusahaan dalam program CSR dilatar
belakangi oleh beberapa menfaat. dalam Focus
Report (2004)[21]mengemukakan
enam manfaat atas implementasi program CSR, yaitu :
1. Manajemen Reputasi
Agar sukses, semua bisnis yang bersandar pada hubungan dengan
stakeholders, tidak hanya fokus pada konsumen semata. Ketika hubungan
antara perusahaan dengan stakeholders
meningkat, dukungan potensial yang diberikan stakeholder kepada perusahaan dan
tujuan strategisnya akan meningkat. Untuk mengkomunikasikan aktivitas CSR
kepada stakeholder, beberapa perusahaan terkemuka membuat laporan tentang kinerja lingkungan,
sosial dan etika mereka. aktivitas tersebut akan meningkatkan hubungan dengan stakeholders, dan akan
mempermudah peningkatan nilai pasar.
2. Manajemen Resiko
Semua bisnis memiliki resiko dan membuat penilaian mengenai tingkat
resiko yang paling tepat atas resiko bisnis tersebut. manajemen resiko memiliki
pengaruh yang besar pada nilai pasar perusahaan jangka panjang. Beberapa perusahaan
mengadopsi definisi resiko secara luas termasuk istilah resiko yang menyatakan
masalah-masalah sosial dan lingkungan.
Perusahaan yang menyatukan resiko dan peluang dengan keberlanjutan dalam proses
penilaian resiko internal atau strategi mereka lebih mungkin untuk mengelola
resiko secara efektif
3. Kepuasan Kerja
Sumber daya manusia merupakan hal penting bagi seluruh aktifitas bisnis.
Perusahaan bergantung pada pekerjanya untuk menjalankan bisnis, dan bergantung
pada hubungan dengan stakeholder lainnya untuk menciptakan dan memberikan
nilai. Oleh karena itu, memahami dan menyesuaikan nilai-nilai pekerja denga
nilai-nilai perusahaan adalah hal yang penting bagi kesuksesan bisnis. Lebih
lanjut para pencari kerja mengevaluasi
perusahaan berdasarkan pada kinerja CSR-nya selain kinerja keuangan. Jadi
kinerja CSR perusahaan dapat membantu mempekerjakan tenaga kerja yang terbaik
dan cemerlang untuk menjamin kesuksesan perusahaan
4. Inovasi dan Pembelajaran
Inovasi dan pembelajaran merupakan hal kritis bagi kesuksesan perusahaan
jangka panjang. Kualitas memungkinkan perusahaan untuk mengidentivikasi peluang pasar baru dan
membangun operasi yang efisien. Bukti terbaru menyebutkan bahwa perusahaan yang
terkenal dengan CSR-nya menggunakan inovasi dan pembelajaran sebagai alat untuk
mengubah hambatan lingkungan dan tekanan sosial menjadi peluang bisnis yang
signifikan. Adanya masalah-masalah sosial dan lingkungan yang dihadapi dunia
saat ini, akan menjadikan inovator dan wirausahawan memiliki keunggulan
kompetitif.
5. Akses kepada modal
Invsestor percaya bahwa manajemen resiko memberi pengaruh posistif secara signifikan pada nilai pasar perusahaan
jangka panjang. Sebagai hasilnya CSR seringkali dianggap sebagai indikator
kualitas manajemen perusahaan. Akses kepada modal dapat membantu perusahaan
memperoleh keuntungan atas munculnya peluang. Sebagai contoh investor
tradisional, Bank serta lembaga keuangan lainnya mengembangkan alat untuk
mengidentifikasi resiko sosial dan lingkungan yang terkait dengan investasi
potensial.
6. Kinerja keuangan
Aktivitas CSR membantu perusahaan memperbaiki bottom line dengan beberapa cara; membantu perusahaan memahami
bagaimana material digunakan dalam proses; mengurangi biaya operasional dengan
secara aktif mengelola energi dan limbah; mengintegrasikan spesifikasi
lingkungan kedalam aset-aset baru untuk mengurangi biaya daur ulang dan
memperbaiki efisiensi.
Porter dan Kremer[22]
berpendapat bahwa CSR dapat lebih dari sekedar biaya, hambatan atau pembuatan
amal, CSR dapat menjadi sumber peluang, inovasi dan keunggulan kompetitif.
Lebih lanjut, porter dan kremer mengungkapkan bahwa, ketika dilihat secara
strategik, CSR dapat menjadi sumber kemajuan sosial yang sangat hebat, seperti
layaknya bisnis yang mengaplikasikan sumber daya-sumber daya, ahli dan
pengetahuan yang pantas dipertimbangkan pada aktifitas-aktivitas yang
bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, saat ini seharusnya perusahaan
menginvestasikan program CSR yang berkelanjutan sebagai bagian dari strategi
bisnis serta mengeksploitasinya dengan benar agar menjadi lebih unggul.
Tanggung
Jawab Sosial (social resposibility)
diperlukan untuk menciptakan keseimbangan dan keberlanjutan hidup dan hubungan
kemitraan yang timbal balik antara perusahaan dan rekanannya. Tanpa dukungan
dan jalinan kemitraan dengan stakeholder lainnya, perusahaan akan dapat
mengalami kerugian secara sosial dan
ekonomi. Hal ini diakibatkan adanya berbagai tekanan dan claim yang menyudutkan keberadaan perusahaan tersebut, bahkan dapat
mempengaruhi reputasi perusahaan tersebut.
2.3. Bentuk dan Perkembangan Konsep Corporate
Social Resposibility
Mark Goider[23]
membagi bentuk tindakan korporate atas program yang diberikan terhadap komunitas
dan nilai yang menjadi acuan dari CSR[24] yaitu :
1.
Bentuk atau Wujud Abstrak
Bentuk CSR ini mengarah pada bagaimana sebuah perusahaan menerapkan dan
atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan komunitas di sekitarnya. Bentuk abstrak dari
CSR dikaitkan dengan tindakan terhadap lingkungan diluar perusahaan seperti
masyarakat dan lingkungan alam.
2.
Bentuk dan Wujud Konkrit
Bentuk CSR ini lebih
cenderung mengarah pada tipe ideal yang berupa nilai pada perusahaan yang
dipakai untuk menerapkan atau mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan
keadaan sosial terhadap komunitas atau masyarakat sekitarnya.
Menurut Goyder, interpretasi yang benar dari CSR
adalah ekspresi dari tujuan perusahaan dan nilai-nilai dalam seluruh hubungan
yang telah dibangun oleh seluruh perusahaan. Nilai-nilai yang ada diartikan
berbeda dengan norma yang ada dalam perusahaan. Wujud abstrak dari nilai
perusahaan dijadikan acuan dalam memahami dan menginterpretasikan lingkungan
sosial perusahaan. Sedangkan wujud kongkrit dari hasil interpretasi tersebut
dalam bentuk tindakan-tindakan dan aktivitas perusahaan dalam kenyataan
objektif yang berhubungan dengan masing-masing stakeholder.
Tanggung jawab sosial perusahaan pada
era tahun 1970-an dan 1980-an pada dasarnya tidak begitu peduli terhadap
sebagian besar komunitas di wilayah sekitar perusahaan. Hal ini banyak
disebabkan oleh perusahaan lebih menggunakan aturan-aturan nasional dan
menganggap aturan-aturan yang ada dalam komunitas lokal harus mengikuti
aturan-aturan nasional.
Perusahaan dalam aktivitasnya pada
masa lalu lebih banyak bergerak dalam konteks mengupayakan keuntungan bagi
perusahaan itu sendiri dan lebih banyak mewajibkan untuk melakukan recovery terhadap lingkungan. Hal ini
berkaitan dengan keberadaan perusahaan di remote
area, sehingga tanggung jawab sosial
yang diberikan oleh perusahaan terhadap komunitas yang ada disekitarnya lebih banyak bersifat charity dan kecenderungan pola pemukiman
bagi karyawan dan kerabatnya terlepas sama sekali dengan komunitas lokal yang
ada di sekitarnya. Hal tersebut memperlihatkan adanya kantung-kantung pemukiman
atau enclave di dalam pemukiman
masyarakat lokal. Kecenderungan pemisahan pola pemukiman ditunjang oleh adanya
pola hidup yang berbeda antara komunitas perusahaan dengan komunitas lokal,
sehingga kondisi ini memunculkan terjadinya kecemburuan sosial dari komunitas
lokal terhadap komunitas perusahaan. Kecemburuan ini dapat memuncak dalam
bentuk konflik apabila terdapat kesalahan pengelolaan dari komunitas perusahaan
terhadap lingkungannya pada komunitas lokal.
Seringkali komunitas lokal yang ada
di sekitar wilayah perusahaan diperhatikan secara minimal. Pengeluaran untuk
pembangunan masyarakat terkadang hanya bersifat formalitas tanpa dilandasi
semangat untuk memandirikan masyarakat dan berderma dengan memberikan
sumbangan-sumbangan pada perayaan-perayaan tertentu di lingkungan masyarakat
sekitar perusahaan.
Pada perkembangan selanjutnya setelah
era tahun 1990-an sampai saat ini, mulai tampak adanya kepedulian terhadap
komunitas sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh adanya tekanan dari
komunitas-komunitas disekitar perusahaan. Perusahaan diwajibkan untuk selalu
mengikuti perkembangan sosial komunitas disekitarnya. Pembangunan yang
merupakan perhatian untuk mengatasi tuntutan dengan memperhatikan nilai-nilai
yang berkembang di masyarakat dan hak-hak komunitas lokal. Pada masa sekarang
keberhasilan suatu perusahaan ditentukan oleh
adanya perhatian terhadap lingkungan sosial terhadap komunitas di daerah
beroperasinya perusahaan.
Perkembangan
atas pelaksanaan prinsip Corporate Social
Responsibility ini yaitu Corporate
Social Audit [25], dimana audit perusahaan seharusnya diperluas
untuk melibatkan tidak hanya audit kesehatan finansial perusahaan tetapi juga
kesehatan moral. Audit ini menguji bagaimana karyawan taat pada kode etik
perusahaan dan bagaimana perusahaan bertanggung jawab secara sosial, konsep ini
yang kemudian melandasi berkembangnya ide mengenai akuntansi social (social accounting), yang diterapkan
pada perusahaan sehingga dituntut adanya regulasi kebijakan dari pemerintah. Hasil-hasil
penelitian empiris juga membuktikan bahwa urgensi dari CSR mendorong
perusahaan-perusahaan yang ada didunia seperti Amerika (USA& Canada), Eropa
(Denmark,
Belanda, Ingris, Prancis Swiss) dan Asia (Australia)
untuk melakukan pengukuran (measurement),
pengakuan (recognize) dan pengungkapan
(disclosure). Salah satu studi yang
dilakukan oleh Adam et al,[26]
di enam negara Eropa yaitu Denmark, Belanda, Inggris, Jerman, Prancis dan Swiss
menunjukkan bahwa praktek pengungkapan social merupakan hal yang lazim dalam
laporan tahunan perusahaan.
Lebih rinci lagi, pelaporan tanggung jawab sosial (social responsibility reporting)
berkaitan dengan usaha untuk memberikan gambaran menyeluruh (comprehensive) mengenai interaksi
perusahaan dengan lingkungannya, beberapa negara dan organisasi tertentu
membuat peraturan khusus mengenai perlindungan lingkungan dan membuat rating
bagi perusahaan yang sesuai dengan ketentuan baik dan buruk, selain itu rating
dan rangking yang dibuat berkaitan juga deangan emisi dan litigation juga
memperluas cakupannya dengan memasukan etika sebagai dasar dari tanggung jawab
lingkungan.
Isu mengenai CSR dalam hubungannya dengan kinerja
perusahaan dan pasar semakin meningkat setelah Markowitz[27]
menggunakan reputasi untuk menilai tanggung jawab sosial bagi perusahaan.
Tetapi sampai sekarang masih terdapat hasil yang berbeda, beberapa penelitian
menunjukan hubungan yang positif tetapi sebagian yang lain menunjukan hubungan
yang negatif. Selain itu juga terdapat penelitian yang menunjukan tidak adanya
hubungan antara tanggung jawab sosial perusahaan dan kinerja ekonomi, sebagian
hasil penelitian lainnya mengindikasikan bahwa pengungkapan informasi mengenai
catatan pengendalian polusi mendorong investor untuk bereaksi seperti yang
direfleksikan dalam pergerakan harga saham.
Spicer[28]menyatakan
bahwa perusahaan mulai mempertimbangkan tanggung jawab sosial karena dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap tanggung jawab sosial mempengaruhi
persepsi dan keputusan investor. Perhatian perusahaan pada tanggung jawab
sosialnya dianggap dapat meningkatkan kepercayaan investor karena dapat
mengurangi investasi.
Argumentasi lain yang melandasi aplikasi CSR yaitu
konsep corporate citizenship yaitu
bahwa pelaku bisnis atau pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk “beritikad
baik”. Yakni, pelaku usaha yang notabene keberadaannya berinteraksi langsung
dengan lingkungan dan masyarakat bertanggung jawab untuk membantu menyelesaikan
masalah sosial walaupun itu permasalahan sederhana. Sebagai contoh, berdasarkan
teori ini perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mensubsidi sekolah dan
pendidikan anak-anak. Perusahaan memiliki kewajiban untuk mempromosikan
kewajiban-kewajiban sosial pada masyarakatnya. Anjuran untuk “berbuat baik”
pada konsep konsep ini adalah perusahaan memiliki tanggung jawab sosial kepada
masyarakat untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik. Tanggung jawab
ini timbul karena kekuatan sosial yang dianugerahkan pada mereka berupa
perusahaan yang dikelolanya. Kekuatan sosial pemberian ini dari masyarakat dan
harus digunakan untuk tujuan yang baik (public
interest) [29].
Berkaitan dengan perkembangan konsep
CSR yang semakin baik, maka terdapat lima
dasar Corporate Social Responsibility
Management System Standards (CSR MSSs) yang lahir dari costumer protections dalam Global Market Working Group Report sebagai dasar untuk penerapan yang efektif pada setiap prinsip CSR[30].
Yaitu :
1.
Mengidentifikasi dan menyeleksi substansi dari norma
dan prinsip yang relevan oleh sebuah perusahaan;
2.
Cara-cara untuk mendekatkan jarak antara stakeholder
oleh aktivitas perusahaan dalam rangka peningkatan tanggung jawab sosial
perusahaan dan pendekatan dalam implementasi ;
3.
Proses dan sistem untuk menjamin efektifitas
operasional dari komitmen dari Corporate;
4.
Teknik-teknik untuk verifikasi kemajuan dari komitmen
CSR;
5.
Teknik-teknik untuk stakeholder dan laporan publik serta komunikasi.
Pendekatan efektif bagi Corporate Social Responsibility akan
berhubungan dengan kelima elemen tersebut juga akan menjaga fleksibilitas dan
kepraktisan dalam implementasinya. Jadi sangat berguna bagi perusahaan dalam
rangka memperluas lingkungan usaha yang ada tanpa mengesampingkan pengertian
dan pemahamannya terhadap komunitas lokal dan komunitas lain dalam lingkup
masyarakat.
Apabila dirunut secara geneologis, CSR adalah konsep yang
berevolusi dan akan terus mencari jati dirinya. Namun, sejatinya tentang
bagaimana sebenarnya wajah praktek CSR di Indonesia tetap menjadi pertanyaan.
Survei mengenai CSR yang bersifat komprehensif di Indonesia dapat dikatakan belum
ada. Hal ini disebabkan sifat CSR yang sangat Corporate Side, artinya hanya perusahaan yang bersangkutan atau
masyarakat sekitarnya yang menjadi penerima manfaat yang mengetahuinya.
Komunikasi program CSR masih lemah karena kultur memberitahukan kedermawanan
masih dipandang tabu di Indonesia.
2.4. Konsepsi Yuridis Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan (CSR) di Indonesia
Pasal 33 ayat 3 dan pasal 18 UUD 1945 dapat menjadi
landasan bagi konsep pembangunan masyarakat berkelanjutan, karena pasal ini
menggambarkan mendukung dan dapat
diintegrasikan sebagai landasan paradigma pembangunan. Prinsip dasar dari pasal
ini adalah mengamanatkan pemanfaatan
sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat (public
purpose). Tujun pemanfaatan sumberdaya mineral bukan sekedar untuk
pertumbuhan ekonomi, tetapi untuk kesejahteraan umat manusia dari generasi
kegenerasi (public interest).
Penafsiran ini sejalan dengan makna pembangunan manusia berkelanjutan.
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang
Perseroan Terbatas No. 40 serta Undang-Undang Penanaman Modal No. 25 tahun 2007
beberapa perusahaan di Indonesia sudah menerapkan CSR, akan tetapi karena belum
adanya regulasi pemerintah yang secara tegas mengatur tentang ketentuan yang
bersifat preskriptif mengenai
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, hingga sulit untuk mengukur
seberapa jauh penerapannya. Merupakan hal yang positif ketika pemerintah
memberikan perhatian yang besar mengenai
tanggung jawab sosial perusahan dengan membuat Peraturan Pemerintah dan
Undang-Undang Mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),
Perlindungan Karyawan, Perlindungan Produk dan PROPER, yang kemudian
diberlakukannya Undang-undang No. 40 Tahun 2007 yang memuat tentang CSR tersebut.
Keputusan Presiden RI. No.23 tahun 1990 yang
direalisasikan dengan dibentuknya Badan Pengendali Dampak Lingkungan dan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1993
mengenai analisis dampak lingkungan yang merupakan suatu Studi Kelayakan
Lingkungan yang disyaratkan untuk mendapatkan perijinan selain Studi Kelayakan
Ekonomis. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan tanggung jawab yang
harus diselenggarakan dan dibiayai oleh pembuat proyek agar pembuat
proyeknya dapat berjalan sesuai dengan
kebijakan pemerintah yang berlaku. Asas pencemar pembayar menyatakan bahwa
siapa yang merusak atau mencemarkan lingkungan hidup harus memikul tanggung
jawab dengan membayar ganti rugi pada penderita
yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
dan atau membayar biaya-biaya pemulihan lingkungan hidup kepada negara yang tercantum
dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1982. Pemerintah juga membuat peraturan pekerja
yang tertuang dalam dalam Undang-Undang Perburuan No.23 1948 mengenai
keselamatan pekerja selain itu juga Peraturan Mengenai Jaminan Sosial Tenaga
Kerja serta Program Penilaian Kinerja Perusahaan (PROPER).
Dengan adanya regulasi yang mengatur perusahaan agar
melaksanakan program CSR terutama yang
termuat dalam ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas pada pasal 74 tahun
2007 tersebut, bila ditinjau dari aspek teoritis merupakan jenis perikatan yang
lahir karena adanya perundang-undangan[31],
dimana perikatan tersebut melahirkan kewajiban atas perusahaan. Pelaksanaan
prinsip CSR sebelumnya merupakan program perusahaan yang bersifat “sukarela” (foluntary), hingga arah untuk
mengoptimalkan kinerja perusahaan dalam hubungannya dengan stakeholder
membutuhkan hubungan yang bersinergi. Perusahaan dalam hal ini membutuhkan
regulasi yang jelas dalam pelaksanaan program CSR-nya disamping dukungan dari masyarakat.
2.5. Perseroan Terbatas dan Konsep Tanggung
Jawab Dalam Makna Voluntary dan Liability
Kata “perseroan” yang berada dalam
teks CSR yang termuat dalam pasal 74 UUPT Tahun 2007 adalah dalam arti badan
hukum, atau yang lebih dikenal dengan Perseroan terbatas. PT adalah badan hukum
yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi atas saham, dan memenuhi persaratan yang
ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaanya”. Badan hukum (rechtpersoon, legal persons, persona
moralis) adalah subjek hukum. Badan hukum adalah salah satu jenis
perkumpulan dalam arti luas. Badan hukum adalah kumpulan manusia yang oleh
hukum diberi status “persoon” yang
memiliki hak dan kewajiban seperti
manusia[32].
Badan-badan dan perkumpulan yang merupakan kumpulan manusia itu diberi status persoon, memiliki kekayaan sendiri, dan
dapat turut serta dalam lalu lintas hukum melalui perantaraan pengurusnya,
badan tersebut dapat menggugat dan digugat dimuka pengadilan.
Menurut Utrecht[33],
badan hukum (rechtpersoon) yaitu
badan hukum yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak yang
tidak berjiwa, atau yang lebih tepat yang bukan manusia. Badan hukum sebagai
gejala kemasyarakatan adalah suatu
gejala yang riil, merupakan fakta dalam pergaulan hukum biarpun tidak berwujud
manusia atau benda. Yang menjadi penting bagi pergaulan hukum ialah hal badan
hukum itu mempunyai kekayaan (vemogen)
yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum
itu berupa korporasi. Hak dan kewajiban badan hukum sama sekali terpisah dari
hak dan kewajiban anggotanya.
Menurut Subekti badan hukum pada
pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan
melakukan perbuatan, seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri,
dapat digugat dan menggugat didepan hakim. Badan hukum adalah suatu bentuk
hukum dari suatu perusahaan, yang merupakan salah satu pengertian ekonomi yang
juga masuk kedalam ruang lingkup hukum perdata, khususnya dalam hukum dagang[34].
Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara tidak
terputus-putus, terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari
laba (bagi diri sendiri). perkembangan dunia usaha membawa dampak pada
pengertian perusahaan yang menyangkut bentuk bidang kegiatan usaha dan
sebagainya. Dalam perkembangan itu munculah sebutan hukum perusahaan (Corporate Law). Dilihat dari objek pengaturannya, maka hukum perusahan itu
diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Hukum perusahaan merupakan hukum yang
khusus (lex specialis) dari hukum perdata (lex
generalis). hukum perusahaan itu merupakan pengkhususan
lebih lanjut dari hukum dagang. Atau dengan kata lain hukum perusahaan adalah
hukum yang secara khusus mengatur
tentang bentuk-bentuk perusahaan serta segala aktifitas kegiatan yang
berkaitan dengan jalannya suatu
perusahaaan[35].
Ruang lingkup hukum perusahaan ada
pada hukum perdata (khususnya hukum dagang)
dan sebagian pada hukum administrasi negara, yang tercermin dari
peraturan perundang-undangan diluar hukum perdata dan hukum dagang. Selain itu, hukum
perusahaan juga termasuk dalam cakupan hukum ekonomi, sehingga dapat dikatakan
bahwa perusahaan mempunyai tiga aspek yaitu pertama, Hukum ekonomi perusahaan
hukum dagang/perdata (privat) dan hukum administrasi negara (publik).
Dari uraian tersebut diatas dapat
diketahui bahwa yang dimaksud dengan dasar hukum perusahaan, terutama
perusahaan yang berbentuk PT itu adalah badan hukum yang diatur dalam hukum
perdata dan kitab Undang-undang hukum dagang serta peraturan-peraturan diluar
kedua kitab tersebut, misalnya PT yang diatur dalam UUPT dan perusahaan (negara) perseroan (persero)
yang diatur dalam undang-undang tersendiri sebagai badan hukum perdata. Oleh
karena itu, diketahui bahwa yang dimaksud dalam
pasal 74 UUPT sebagai pelaksana dari tanggung jawab sosial adalah badan
hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas yang merupakan organisasi ekonomi yang
lebih di khususkan pada perseroan yang bidang usahanya berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya alam.
Pemaknaan umum atas tanggung jawab dalam perusahaan
adalah suatu tanggung jawab perusahaan yang bersifat kesukarelaan (voluntary) dan tidak ada sanksi yang
bersifat memaksa bagi para pihak yang tidak melaksanakannya. Bahkan dengan
adanya tambahan kata sosial maka persepsi kita justru terfokus pada aktivitas
perusahaan yang dilakukan secara suka rela yang dituangkan dalam berbagai
aktivitas sosial, seperti kedermawanan (philanthropy),
kemurahan hati (charity), bantuan
terhadap bencana alam, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Dengan kata lain CSR
tidak lebih dari “morality” saja. Pada hal CSR tidak sesederhana makna yang
timbul dari persepsi yang terbentuk dalam mainstream
kita selama ini. Untuk itu, sub bab ini akan menjelaskan beberapa hal yang
terkait dengan CSR dan ruang lingkupnya dalam aras pemikiran hukum.
Secara
teoritis, konsep CSR dihadapkan paling kurang dua pemaknaan tanggung jawab itu
sendiri; pertama, tanggung jawab dalam makna responsibility atau tanggung jawab moral atau etis. Kedua, tanggung
jawab dalam makna “liability” atau
tanggung jawab yuridis atau hukum. Lebih lanjut mengenai perbedaan kedua
tanggung jawab dibahas pada sub bab berikut.
2.5.1.Tanggung jawab dalam makna voluntary
Menurut Burhanudin Salam[36]
dalam bukunya “Etika Sosial” menyatakan bahwa tanggung jawab yaitu “resposibilitty is having the character of a
free moral agent : capable of the determining one’s acts; capable detered by
the considerations of sanctions or consequences.” berdasarkan pengertian
tersebut dapat dicatat dua hal yaitu :
1.
Harus ada kesanggupan untuk menetapkan suatu perbuatan
2.
Harus ada kesanggupan untuk memikul resiko dari
suatu perbuatan.
Lebih jauh lagi dalam memaknai kata “having the character”, dimana terdapat “suatu
keharusan atau kewajiban” di dalamnya sekaligus mengandung makna pertanggung
jawaban moral atau karakter. Karakter disini merupakan sesuatu yang
mencerminkan nilai dari suatu perbuatan. Sementara konsekuensi dari suatu
perbuatan dapat dimaknai suatu perbuatan yang hanya terdapat dua alternatif
penilaian, yaitu, tahu bertanggung jawab atau tidak tahu bertanggung jawab.
Sementara makna tanggung jawab itu sendiri dalam filsafat hidup dijadikan
sebagai salah satu kriteria kepribadian (personality)
“seseorang”
Bila kata tanggung jawab ini dilihat dari aspek
filosofisnya, terdapat tiga unsur yang harus dipahami yaitu : pertama,
kesadaran (awareness). Berarti tahu,
kenal, mengerti, dapat memperhitungkan arti, guna sampai kepada soal akibat
perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Dengan kata lain bahwa seseorang baru
dapat diminta pertanggung jawaban, bila yang bersangkutan sadar tentang apa
yang dilakukannya. Kedua, kecintaan atau kesukaan (affiction). Berarti suka, menimbulkan kepatuhan, kerelaan dan kesediaan
berkorban. Rasa cinta timbul atas dasar kesadaran, apabila tidak ada kesadaran
berarti rasa kecintaan untuk bertanggung jawab ini tidak akan muncul.
Ketiga, keberanian (bravery).
Berarti suatu rasa yang didorong keikhlasan, tidak ragu-ragu dan tidak takut
dengan segala rintangan. Suatu keberanian harus disertai dengan suatu
perhitungan, pertimbangan dan kewaspadaan atas segala kemungkinan. Dengan
demikian keberanian itu timbul atas dasar tanggung jawab. Pada sisi lain kata “responsibility” ditujukan bagi adanya
indikator penentu atas lahirnya suatu tanggung jawab, yakni suatu standar yang
telah ditentukan terlebih dahulu dalam suatu kewajiban yang harus ditaati.
Jadi
prinsipnya tanggung jawab dalam arti voluntary
resposibility lebih menekankan pada
suatu perbuatan yang harus atau wajib dilakukan secara sadar dan siap untuk
menanggung segala resiko dan atau konsekuensi apapun dari perbuatan yang
didasarkan atas moral tersebut. dengan kata lain resposibility merupakan tanggung jawab dalam arti sempit yaitu
tanggung jawab yang hanya disertai sanksi moral, sehingga tidak salah apabila
pemahaman sebagian pelaku usaha dan atau perusahaan terhadap CSR hanya sebatas
tanggung jawab moral yang mereka wujudkan dalam bentuk charity maupun philanthropy.
2.5.2. Tanggung Jawab Dalam Makna Liability
Tanggung jawab dalam makna liability merupakan tanggung jawab dalam
pengertian hukum. Pada tataran praktis diwujudkan dalam bentuk tanggung
jawab keperdataan. Menurut Pinto liabiliti menunjukan kepada akibat yang
timbul kegagalan untuk memenuhi standar tersebut. sedangkan bentuk tanggung
jawabnya dinyatakan dalam bentuk ganti rugi dan pemulihan sebagai akibat dari
terjadinya kerusakan atau kerugian.
Dalam hukum keperdataan
prinsip-prinsip tanggung jawab dapat dibedakan sebagai berikut :
a.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya unsur
kesalahan (liability based on fault)
Sejarah lahirnya prinsip tanggung jawab berdasarkan
kesalahan pada awalnya dikenal dalam budaya Babylonia kuno, kemudian
dikembangkan pada masa Romawi dalam doktrin “culpa” dalam “lex equila”, dimana
setiap kerugian baik sengaja maupun tidak sengaja harus selalu diberikan
santunan. Kemudian prinsip ini menjadi hukum Romawi moderen sebagaimana dapat
dilihat pada pasal 1382 Code Civil Prancis yang berbunyi “any act whatever done by a man
which cause demage to anather obliges
him by whose fault the demage was cause to repair it”.
Belanda mengadopsi pasal tersebut dari Prancis sebagai
bekas jajahannya. Hal ini dapat terlihat pada pasal 1401 BW yang berbunyi “elke onrechtmatige daad, waardoor aan een
order schade wordr toegebracht, stelt dangenen door wins schuld de schade
veroorzaakt isi n de verpligheid veroorzaakt heeft”. Sedangkan pasal
tersebut di Indonesia
diberlakukan prinsip tanggung jawab
berdasarkan kesalahan adalah atas asas kongkordansi. Ketentuan tanggung
jawab atas kesalahan yang dituangkan dalam pasal 1365 KUHPer yang berbunyi
“tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang, karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut”[37].
Pasal 1365 KUHper ini tidak merumuskan perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad),
tetapi hanya mengemukakan unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan
dapat dikuantifikasikan sebagai “perbuatan melawan hukum”. Adapun unsur-unsur
perbuatan melawan hukum itu adalah sebagai berikut[38] :
1.
Adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat;
2.
Perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya;
3.
Adanya kerugian yang diderita penggugat sebagai akibat
kesalahan tersebut.
Makna perbuatan melawan hukum disini,
bukan hanya dalam arti positif tapi juga negatif yaitu meliputi tidak berbuat
sesuatu yang seharusnya menurut hukum orang harus berbuat. Sedangkan makna
kesalahan disini adalah dalam pengertian umum yaitu, baik karena kesengejaan
maupun karena kelalaian. Dalam penerapan pasal 1356 KUHPer ini adanya keharusan
dimana penggugat membuktikan adanya kerugian tersebut, sebagai akibat dari
perbuatan tergugat.
Sehubungan telah keluarnya New BW di
Belanda pada tahun 1992, maka rumusan tentang onrechtmatige daad juga turut berubah. Sebagaimana yang tercantum
dalam pasal 6.162.2 yang merumuskan bahwa perbuatan melawan hukum adalah
perbuatan yang melanggar hak (subjektif ) orang lain atau perbuatan yang
bertantangan dengan kewajiban menurut Undang-undang atau bertantangan dengan
apa yang menurut hukum tidak tertulis seharusnya dijalankan oleh seseorang
dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya
alasan pembenaran menurut hukum[39].
Rumusan onrechtmatige daad dalam BW ini dalam arti luas, karena perbuatan
melawan hukum yang dimaksud tidak hanya harus bertantangan dengan Undang-undang
tetapi juga kebiasaan dalam suatu komunitas masyarakat tertentu. Namun
demikian, rumusan tersebut masih mencantumkan persyaratan yaitu adanya alasan
pembenaran menurut hukum. Berarti makna dalam arti luas itu tidak akan berbeda
akhirnya dengan prinsip yang bertantangan dengan undang-undang. Hal ini juga
didukung oleh sistem hukum di Belanda yang bersifat legisme dalam arti yuridis
formal.
b. Prinsip
tanggung jawab berdasarkan praduga (presumptions
of liability)
Menurut prinsip ini, tergugat dianggap bertanggung
jawab atas segala kerugian yang timbul, tetapi tergugat dapat membebaskan diri
dari tanggung jawabnya apabila ia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah (absence
of fault). Sebenarnya prinsip
tanggung jawab berdasarkan praduga adalah prinsip tanggung jawab yang juga
didasarkan atas adanya kesalahan (liabilyti
based on fault) tetapi dengan menekankan pada pembalikan beban pembuktian (shifting of the burden of proof) kepada
pihak tergugat.
Apabila prinsip ini ditarik pada tanggung jawab
perusahaan, bilamana ada masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu
perusahaan, baik sebagai akibat aktivitas perusahaan ataupun karena
keberadaannya, dalam hal ini masyarakat bisa langsung menggugat perusahaan dan
pihak perusahaanlah nantinya yang dibebankan untuk membuktikan bahwa kerugian
yang dialami masyarakat bukanlah kesalahan pihak perusahaan yang dimaksud.
c. Prinsip
tanggung jawab mutlak (absolut liability
atau strict libility)
Pada prinsipnya, lahirnya tanggung
jawab mutlak tidak terlepas dari doktrin “onrechtmatige
daad” sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1365 yang mengedepankan adanya
unsur kesalahan (fault). Dengan kata
lain, harus ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Pada
fakta empiris, tidak semua unsur fault
dapat dibuktikan, bahkan ada yang tidak dapat dibuktikan sama sekali untuk
mengatasi keterbatasan fault based
liability tersebut. dikembangkanlah asas pertanggung jawaban mutlak (strict liability).
Strict
liability merupakan bentuk pertanggung jawaban perdata yang tidak
memerlukan unsur fault, sebagai unsur
utama dalam pertanggung jawaban perdata. Dalam hal terjadinya fault based (perbuatan melawan hukum).
Dengan demikian beban pembuktian penggugat menjadi ringan karena tidak dibebani
pembuktian adanya unsur fault. Namun
demikian pihak penggugat tetap dibebaani untuk membuktikan kerugian (injured party) yang dialaminya sebagai
akibat dari aktivitas pihak sitergugat. Hal ini diistilahkan dengan pembuktian
kausalitas (causal link). Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam Green Paper
on Remedying Enviromental Damage yaitu”strict
libility, or liability without fault, eases the burden of establishing
liability because fault need not be established. However, the injured
party maust still prove that the demage
was caused by some one’s act…”[40].
Perkembangan pertanggung jawaban
mutlak, selain dalam bentuk strict
liability juga dikenal terminologi absolute
liability. Para pakar sendiri dalam
menggunakan kedua terminologi ini sering bolak balik, malah ada yang membedakan
sekaligus menyamakannya. Namun demikian menurut Bin Chang menegaskan perbedaan
keduanya. Dalam strict liability
tuntutan atas perbuatan yang menyebabkan kerugian itu harus dilakukan oleh
orang yang bertanggung jawab. Dengan kata lain dalam strict liability harus terdapat causa
link antara orang (perusahaan) yang benar-benar bertanggung jawab dengan
kerugian tersebut, selain itu dalam strict
liability semua hal yang biasanya dapat membebaskan tanggung jawab (usual defence) tetap diakui, kecuali
hal-hal yang diarahkan pada pernyataan tidak bersalah (asence of faulty) karena unsur kesalahan tidak diperlukan lagi[41].
Lain lagi halnya dengan absolute liability, dimana tanggung
jawab akan timbul kapan saja tanpa mempermasalahkan oleh siapa dan bagaimana
terjadinya kerugian tersebut. dengan demikian dalam absolut liability tidak diperlukan adanya kausalitas dan hal-hal
yang dapat membebaskan tanggung jawab sepanjang dinyatakan secara tegas.
Selain konsep tanggung jawab dalam hukum keperdataan
sebagaimana dijelaskan diatas, khusus dalam gugatan keperdataan yang berkaitan
dengan hukum lingkungan ada beberapa teori tanggung jawab lainnya yaitu[42]
:
a. Market
Share Liability
Teori ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengantisipasi persoalan dimana
penggugat menderita kerugian akibat pencemaran atau aktivitas sejumlah
industri. Dalam teori ini penggugat diharuskan menghadirkan sejumlah industri
sebagai pihak yang diduga sebagai kontributor substansial (subtantial share) terhadap timbulnya zat-zat pencemar. Beban
pembuktian dalam teori ini berpindah pada tergugat untuk membuktikan bahwa
tergugat tidak melepaskan zat-zat pencemar seperti yang dituduhkan penggugat.
b.
Risk Contribution
Tujuan pengembangan teori ini tidak berbeda dengan maksud dan tujuan dari
pengembangan teori market share liability
yaitu mengatasi permasalahan, dimana penggugat mengalami kerugian yang
disebabkan pencemaran, tetapi tidak dapat diidentivikasi secara pasti penyebab kerugian tersebut.
penggugat hanya berhasil mengidentifikasi zat-zat pencemar serta kadar yang
dikonsumsi penggugat. Dalam hal ini, penggugat dapat mengajukan gugatan pada
suatu industri/produsen dari bahan kimia berbahaya tersebut. kemudian tergugat
bertanggung jawab memasukan pihak ketiga lainnya yang dianggap sebagai
konributor terhadap timbulnya kerugian penggugat.
c.
Concert of Actions
Teori ini muncul dan berkembang sebagai jawaban terhadap kemungkinan
terlibatnya pihak-pihak lain yang membantu dan bekerja sama dengan pencemar,
sehingga perbuatan pencemaran dapat dilaksanakan dengan sempurna. Melalui teori
ini pihak konsultan yang memberikan advis untuk tidak mengoperasika alat
pembuangan limbah dapat dituntut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami
penggugat. Berdasarkan teori ini pemerintah dapat juga dituntut sebagai pihak
yang memberikan persetujuan atas kerugian yang dialami penggugat.
d.
Alternative Liability
Teori ini muncul didasarkan atas prinsip bahwa sangat tidak adil apabila
tergugat harus dibebaskan hanya karena penggugat tidak dapat membuktikan secara
pasti satu dari sekian banyak pihak yang bertanggung jawab atas perbuatan yang
menimbulkan kerugian terhadap orang lain.
e.
Enterprise
Liability
Teori pertanggung jawab ini merupakan perluasan
pengertian dari teori market share
liability. Teori ini diterapkan pada situasi dimana penggugat tidak dapat
secara spesifik menunjuk pelaku pencemaran dari sekian banyak
perusahaan-perusahaan yang potensial menjadi penyebab ternyata telah memenuhi
standar dan petunjuk yang telah ditetapkan. Dalam teori ini penggugat
diperbolehkan melibatkan seluruh perusahaan yang dianggap potensial menyebabkan
kerugian penggugat, serta pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian
Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL) serta perizinan. Tanggung jawab atas kerugian
penggugat diletakkan secara tanggung renteng (jointly liable for injuries caused by pollution).
Perlu disadari bahwa dari sekian banyak konsep dan teori tentang tanggung jawab dalam konteks
hukum keperdataan, ternyata masih belum dapat mengatasi persoalan pertanggungjawaban
(liability) suatu perusahaan atas
dampak aktivitas yang dilakukannya. Salah satu penyebabnya adalah sistem
pembuktian dalam hukum acara perdata di Indonesia tidak mengenal pembuktian
terbalik. Sedangkan Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup hanya
mengenal strict liability dimana penggugat tidak perlu lagi membuktikan unsur
kesalahan (fault) tergugat.
Selain konsep dan atau teori tentang tanggung jawab
sebagaimana telah diuraikan diatas, tidak salah pula kiranya melihat
pertanggung jawaban dalam konteks keperdataan yang didasarkan atas perjanjian
atau kontrak. Hal ini didasari bahwa
sebagian besar aktivitas dunia usaha didasarkan atas kontrak, dan tidak
sedikit pula permasalahan yang timbul karena para pihak tidak mengindahkan
kontrak yang telah dibuat, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya,
termasuk juga masyarakat.
Buku ke-III dalam Kitab Undang-undang Hukum perdata
yang mengatur tentang perjanjian, dari sekian
banyak dari pengaturan tersebut ada beberapa pasal yang dapat menjadi
dasar diwajibkannya CSR pada perusahaan dalam setiap aktivitas bisnisnya. pada
pasal 1233 yang menentukan tentang perikatan (van verbintenissen). Dimana disebutkan bahwa perikatan dapat
timbul dari perjanjian dan oleh karena adanya Undang-undang. selanjutnya pada
pasal 1234 menjelaskan bahwa perikatan yang dibuat tersebut ditujukan untuk
memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Dalam konteks penerapan
prinsip CSR pada perusahaan dapat dapat kita asumsikan bahwa dengan
diregulasikannya prinsip ini dalam UUPT, maka prinsip CSR termasuk dalam makna
perikatan yang timbul oleh karena adanya Undang-undang dan sekaligus sebagai
landasan liability terhadap
pelaksanaannya pada perusahaan.
Selanjutnya dalam ketentuan pasal 1338 yang menjadi
aturan hukum atau dasar kekuatan mengikat adalah perjanjian. dimana jika para
pihak melakukan perikatan dan telah memenuhi segala persyaratan untuk syahnya
suatu perjanjian. Pasal tersebut menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya dimana
dalam klausul tersebut terkandung asas konsensualisme, yaitu kekuatan
mengikatnya suatu perjanjian berlaku sebagai liability bagi para pihak yang mengikat perjanjian tersebut. Selanjutnya
persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Dalam pasal
tersebut juga memuat asas itikad baik sebagai syarat putusnya perjanjian atau
dengan kata lain, perjanjian dianggap tidak sah secara hukum bilamana
didasarkan atas suatu perbuatan melawan hukum dan atau itikad buruk oleh salah
satu atau kedua belah pihak.
Berdasarkan ketentuan pasal 1338 KUHPer ini tidak ada
alasan bagi para pihak untuk tidak melaksanakan apa yang telah mereka sepakati.
Ketentuan ini dikenal sebagai asas “pacta
sunt servanda” (perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak).
bagi pihak yang tidak melaksanakan isi perjanjian tersebut disebut melakukan
wanprestasi. Setiap pihak yang melakukan wanprestasi dapat diminta pertanggung
jawaban sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian. Dengan
demikian tanggung jawab yang lahir atas dasar perjanjian dapat disebut tanggung
jawab hukum, karena apa yang telah disepakati oleh para pihak sepanjang
memenuhi syarat syahnya perjanjian
merupakan hukum bagi para pihak itu sendiri.
Masalahnya sekarang adalah berkaitan dengan “perjanjian
atau kontrak sosial” (social contract)
antara pihak perusahaan dengan masyarakat. Dalam terminologi kontrak sosial ini
antara perusahaan dengan masyarakat tidak pernah ada perjanjian secara
langsung, lalu apa yang menjadi dasar masyarakat menggugat perusahaan untuk
bertanggung jawab?. Berkaitan dengan hal tersebut, Tom Canon[43]
menyatakan bahwa pada saat suatu perusahaan melakukan suatu aktivitas usahanya
maka pada saat yang bersamaan itu pula lahirnya kontrak sosial antara
perusahaan dengan masyarakat.
Suatu pembuktian jika hanya dilihat dari aspek
pembuktiannya, dalam hal ini kontrak dalam bentuk tertulis, tentu kontrak
sosial tidak memenuhi kriteria tersebut. namun demikian perlu dimaknai bahwa
kontrak sosial itu pada prinsipnya mendeskripsikan bahwa akan tanggung jawab
moral dan etis suatu perusahaan terhadap stakeholders-nya,
baik itu berkaitan dengan segala aktivitas bisnisnya maupun dampak yang
ditimbulkan perusahaan. Secara eksplisit kontrak sosial ini tidak pernah ada,
akan tetapi ada dalam “fictions”
perusahaan dan masyarakat saja. Dengan kata lain kontrak sosial itu hanya
“dianggap ada” dalam pemikiran para pihak. Berdasarkan makna tersebut,
masyarakat “menuntut” atau “menggugat” pihak perusahaan untuk bertanggung jawab
atas segala sesuatu yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berkaitan
dengan aktivitas perusahaan.
Berdasarkan
uraian diatas dapat diasumsikan bahwa perbedaan antara tanggung jawab dalam
makna responsibility dengan tanggung
jawab dalam makna liability pada
prinsipnya hanya terletak pada sumber pengaturannya. Jika tanggung jawab itu
belum ada pengaturannya secara eksplisit dalam suatu norma hukum, maka termasuk
dalam makna voluntary dan sebaliknya
jika tanggung jawab itu telah diatur dalam norma hukum maka termasuk dalam makna
liability.
[1]
Wibisono, Yusuf, 2007, Membedah konsep
CSR; Seri Menejemen Berkelanjutan, CV. Ashkaf Media Grafika, Surabaya. Hal 24-26
[2]
Iriantara, Yosal ; 2004, Community
Relations ; Konsep dan aplikasinya, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, hal ; 49-51
[3] Wahyudi,
Isa loc.cit, hal 103
[4]
Wibisono, Yusuf.2007. Membedah konsep CSR;
Seri Menejemen Berkelanjutan. CV. Ashkaf Media Grafika Surabaya. Hal 23-25
[5] ibid
[6] Chambers
dalam Iriantara, Yosal ; 2004, Community
Relations ; Konsep dan aplikasinya, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, hal ; 49.
[7] Ibid.
[8] Majalah
Bisnis & CSR, 2007, Reference for Decision Maker, Vol. I. La
Tofi Interprise, Jakarta
. hal : 67.
[9]
Dougherty dalam Iriantara, yosal. Op.cit
[10]
Syafrani, Andi, 2007, Paradoks Regulasi CSR, <www.multiply.inc.com>,
diakses 15 April 2008.
[11]
Syafrani, ibid.
[12]
Milton Friedman’s dalam Wibisono, Yusuf. 2007. Membedah konsep CSR; Seri Menejemen Berkelanjutan. CV. Ashkaf Media
Grafika Surabaya.
hal : 17
[13] ibid,
hal:18
[14]
Wibisono, Ibid, hal : 18 lihat juga dalam Yosal Iriantara, Hal 42
[15] Frederick dalam Wahyudi,
Isa, Loc.cit, hal : 21
[16] opcit
[17] ibid
[18] Freeman, R . Edward., 1984. Strategi Menegement: A strategi approach , Boston., Fithman : hal.
15. bandingkan dengan Henry R. Cheeseman dalam business law. hal 10
[19] ibid
hal 25
[20]lihat dalam Budimanta, F.E., 1999, Fundamentals Of Financials Management Eight
Edition, the Dryden Press, USA. Hal : 89
[21]
Hutagol, Ibid
[22] Porter
dan Kremer dalam Hutagol hal : 34
[23]
Budimanta, ibid
[24]Budimanta, A., Prasatijo, A. & Rudito, B., 2004, Corporate Social Resposibility : Jawaban
Bagi Model Pembangunan Indonesia
Masa Kini, Indonesia Center For Sustainable Development, Jakarta. Hal : 73
[25]
Hendry R. Cheeseman. 1992. Business
Law;the Legal Ethical and International Environment. Prentice Hall, Englewood cliffs, New Jersey. hal : 12
[26] Adams C., at all., 1996, Accounting & Accountability; Changes and Challenge in Corporate
Sosial and Environment Reporting, Prentice Hall, hal : 64.
[27]
Markowitz, M. R. 1972. Choosing Socially
Responsible Stock, Business and Society Review hal : 71-75.
[28] Spicer,
B. H. 1978. Investor, Corporate Sosial
Performance and Information Disclosure :an Empirical Study, Accounting
Revieu. hal : 94-111
[29] Hendry
R. Cheesemant.loc.cit..
[30] Kotler, P & Lee, N., 2005, Corporate Social Responsibility : Doing The Most Good For Your Company
And Your Cause, John Whiley & Sons, inc. Hoboken, New jersey.
[31]
Muljadi, K.&Gunawan W. 2004. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal.
1-2. lihat juga KUHPer pasal 1233 dan 1234
[32]
Kansil C.S.T& Cristina S.T.K, 2002, Pokok-Pokok
Badan Hukum, pustaka sinar harapan, jakarta.
Hal : 9
[33] Utrecht, dalam Sumantoro,
1986, Hukum Ekonomi, UI Press
Jakarta. Hal 8
[34]
Sumantoro, ibid . Hal 8
[35] ibid
hal 10
[36] Salam,
Burhanuddin, 1997, Etika Moral, Asas
Moral Dalam Kehidupan Sosial Manusia, Renika Cipta, Jakarta, hal : 28
[37]
Khairandy, Ridwan, 2006, Pengantar Hukum Dagang, UII Press, Yogyakarta,
hal : 186-187
[38] lihat
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1365
[39]
Agustina, Rosa, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, program pasca sarjana UI, Jakarta, hal. 11
[40]
Sentosa, Mas Ahmad, 2001, Good Governance
& Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta
hal 301-305
[41] ibid
[42]
Wahyudi, isa loc.cit, hal 8-14
[43] Canon,
Tom dalam isa wahyudi & azheri, B. loc.cit. hal. 12-13